Perlu Dukungan Pemerintah untuk Maksimalkan Potensi Lapangan Kerja di Industri HPTL
JAKARTA – Rencana pemerintah untuk membantu masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19 disambut positif oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), yang tergabung dalam Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI). Ketua APVI , Aryo Andrianto mengatakan pihaknya siap mendukung langkah pemerintah tersebut karena industri HPTL merupakan industri baru […]
Industri
JAKARTA – Rencana pemerintah untuk membantu masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19 disambut positif oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), yang tergabung dalam Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI).
Ketua APVI , Aryo Andrianto mengatakan pihaknya siap mendukung langkah pemerintah tersebut karena industri HPTL merupakan industri baru yang didominasi oleh pelaku UMKM. Selain itu, jika perkembangan industri ini didukung penuh, maka dapat berpotensi menyerap tenaga kerja.
“Sebagai industri yang baru berkembang dua tahun terakhir, industri HPTL telah memberikan kontribusi bagi negara melalui penerimaan cukai serta potensi penciptaan lapangan pekerjaan baru,” kata Aryo.
Berdasarkan data APVI, industri HPTL, khususnya rokok elektrik, telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 50.000 orang. Angka ini belum termasuk tenaga kerja yang ada di toko retailer rokok elektrik, yang jumlahnya mencapai 3.500 toko di seluruh Indonesia.
Toko retailer tersebut mayoritas terpusat di Jawa dengan jumlah 2.300 toko, sementara sisanya berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali.
Aryo melanjutkan bahwa salah satu bentuk dukungan yang diharapkan dari pemerintah adalah regulasi yang mendukung dan memperkuat keberlangsungan industri HPTL.
“Kami berharap pemerintah dapat menyusun dan menetapkan aturan khusus yang akomodatif bagi industri HPTL. Idealnya, aturan untuk HTPL berbeda dan terpisah dari regulasi rokok. Regulasi tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi pelaku usaha dan mendorong kontribusi bagi negara dan masyarakat luas,” ujarnya.
Menurut Aryo, pemerintah atau pembuat kebijakan dapat menggandeng pelaku usaha dalam membentuk regulasi khusus bagi industri HPTL. Dengan begitu, produk hukum yang dihasilkan akan bermanfaat bagi pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
“Regulasi tersebut harus mencakup standar produk bagi industri, peringatan kesehatan yang berbeda dengan rokok, akses informasi yang akurat, serta tata cara pemasaran yang tidak menargetkan anak-anak di bawah usia 18 tahun,” tegasnya.
Regulasi Pendukung
Saat ini, peraturan yang mengatur industri HPTL hanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/2018 yang merupakan perubahaan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Aturan tersebut mengatur besaran tarif cukai untuk HPTL sebesar 57 persen. Menurut Aryo, regulasi tersebut hanya mengatur tentang ketentuan cukai dan belum mengatur mengenai produk dan cakupan industri HPTL yang lebih luas.
“Saat ini, pemerintah baru memperhatikan aspek penerimaan cukai bagi negara dari industri HPTL. Akan tetapi, untuk kelangsungan industri belum menjadi perhatian, meskipun tergolong industri baru dan mayoritas usaha kecil,” ujarnya.
Aryo melanjutkan industri HPTL dapat berkontribusi secara optimal jika pemerintah tidak menaikkan besaran tarif cukai HPTL. Saat ini, pengenaan cukai terhadap produk HPTL terlampau tinggi sehingga dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan industri.
“Dengan kondisi pandemi saat ini, kami memohon kepada pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dan Dirjen Bea Cukai untuk tidak menaikkan besaran cukai dan harga jual eceran produk HPTL. Kondisi saat ini sudah cukup berat untuk mayoritas pelaku usaha yang mayoritas UMKM untuk dapat mempertahankan usahanya,” pintanya.
Pemerintah juga disarankan mengubah sistem tarif cukai HPTL menjadi sistem nominal. Sistem tersebut akan memberikan kemudahan dari sisi administrasi, baik untuk pemerintah maupun pelaku usaha.
Dengan sistem tarif cukai prosentase yang diterapkan saat ini, Dirjen Bea Cukai sebagai pengawas akan kesulitan dalam memantau dan menghitung cukai HPTL. Aryo juga meyakini sistem yang diterapkan saat ini berpotensi memberi ruang untuk produk HPTL ilegal berkembang.
“Perubahan sistem tarif cukai ini untuk menghindari adanya kecurangan atau penghindaran pajak. Melalui sistem cukai nominal, produk HPTL ilegal atau yang tidak membayar cukai juga bisa ditekan,” jelasnya.
Senada dengan Aryo, Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) Ariyo Bimmo mengatakan bahwa regulasi khusus HPTL, penurunan tarif cukai, dan perubahan sistem tarif cukai HPTL merupakan tiga poin penting yang dibutuhkan industri ini. Apabila pemerintah mengakomodasi ketiga poin tersebut, Bimmo optimis industri HPTL akan semakin berkembang.
“Bagi konsumen dewasa, terutama perokok dewasa, mereka akan lebih mudah mengakses produk HPTL yang dapat menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan terus merokok, serta terlindungi dari produk ilegal.
Harapan terbesarnya adalah terciptanya peralihan dari perokok dewasa ke produk HPTL, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, yang memiliki risiko lebih rendah, sehingga dapat menurunkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dalam jangka panjang dan menurunkan jumlah perokok di Indonesia,” tutup Bimmo.