Aktivitas warga di perkampungan kumuh kawasan pesisir Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa, 11 Januari 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia.com
Nasional

Perlu Intervensi untuk Tekan Perokok di Kalangan Remaja dan Masyarakat Miskin

  • Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan kelompok usia 15-19 tahun adalah kelompok dengan prevalensi perokok tertinggi, mencapai 56,5%. Kelompok usia 10-14 tahun mengikuti dengan angka 18,4%

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Jumlah perokok aktif di Indonesia terus meningkat. Jumlah perokok diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya berasal dari kalangan usia 10-18 tahun. Anak-anak dan remaja merupakan kelompok yang mengalami peningkatan jumlah perokok paling signifikan.

Data itu mencuat dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Data Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019, prevalensi perokok di kalangan siswa berusia 13-15 tahun meningkat dari 18,3% pada 2016 menjadi 19,2% pada 2019.

Sementara, Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan kelompok usia 15-19 tahun adalah kelompok dengan prevalensi perokok tertinggi, mencapai 56,5%. Kelompok usia 10-14 tahun mengikuti dengan angka 18,4%

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eva Susanti mengatakan, pertumbuhan perokok aktif di Indonesia tidak lepas dari industri produk tembakau yang gencar memasarkan produknya ke masyarakat, terutama anak-anak dan remaja melalui platform media sosial.

“Upaya pemasaran dilakukan dengan memanfaatkan berbagai cara di antaranya jangkauan merek multinasional, influencer, topik yang sedang tren, popularitas, dan pengenalan merek tembakau serta nikotin di media sosial,” tutur Eva dalam keterangan resmi, dikutip Senin, 21 Oktober 2024.

Data Tobacco Enforcement and Reporting Movement (TERM) edisi Mei-Agustus 2023, lebih dari dua pertiga aktivitas pemasaran produk tembakau dilakukan melalui media sosial, dengan 68% diunggah di Instagram, 16% di Facebook, dan 14% di X. 

Selain itu, industri produk tembakau juga berupaya menarik perhatian anak muda dengan membuka gerai di berbagai festival musik dan olahraga. World Health Organization (WHO) mengungkapkan, lebih dari 40% perokok meninggal akibat penyakit paru-paru.

Selain itu, direktur departemen WHO juga menjelaskan kerugian ekonomi global mencapai US$1,4 triliun akibat penggunaan tembakau. Dilansir dari Antara, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, beban kesehatan yang ditanggung negara akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok jauh lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh.

Ia mengungkapkan, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang disebabkan asap rokok, menghabiskan anggaran kesehatan yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melebihi Rp10 triliun pada tahun lalu.

Sebelumnya Eva Susanti menyatakan hal serupa, kerugian yang timbul akibat konsumsi rokok lebih besar dibandingkan dengan penerimaan negara dari cukai rokok. “Biaya perawatan untuk penyakit akibat merokok tiga kali lipat lebih tinggi daripada cukai yang diterima negara,” paparnya.

Eva mengutip hasil studi tentang biaya kesehatan untuk menangani penyakit akibat rokok pada tahun 2020, yang menunjukkan bahwa pada tahun 2017, penerimaan dari cukai hasil tembakau mencapai Rp147,7 triliun. Namun, kerugian ekonomi makro akibat konsumsi rokok diperkirakan mencapai Rp431,8 triliun.

Menurut studi tersebut, ada 4,9 juta kasus penyakit akibat rokok dengan 209.429 kematian pada 2017. Selain itu terdapat 21 jenis penyakit yang disebabkan penggunaan produk tembakau dan 11 di antaranya merupakan penyakit kanker.

Masyarakat Miskin yang Merokok

Rata-rata pengeluaran untuk rokok dan tembakau mencapai Rp76.583 per kapita per bulan pada Maret 2021. Konsumsi rokok tersebut naik sebesar 4,3% dari Rp73.442 per kapita per bulan pada Maret 2020. Selain itu, konsumsi rokok menempati urutan kedua tertinggi di antara kelompok pengeluaran lainnya.

Berdasarkan data BPS, dalam sebulan, pengeluaran masyarakat Indonesia untuk rokok setara dengan total pengeluaran untuk susu, telur, ayam, dan sayuran. Pengeluaran untuk rokok di Indonesia masih menjadi salah satu komoditas yang memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap kemiskinan, setelah makanan.

Berdasarkan hasil survey GATS 2021 yang dirilis Kementrian Kesehatan RI pada Juni 2022, dapat dihitung total pengeluaran rokok masyarakat Indonesia yang berjumlah 69,1 juta orang diperkirakan mencapai sekitar 64 triliun rupiah per tahun. 

Atlas Tembakau Indonesia melaporkan pada tahun 2020, semakin rendah tingkat kesejahteraan masyarakat, semakin tinggi pula tingkat konsumsi rokok mereka. Konsumsi rokok laki-laki tertinggi terdapat di kuintil kalangan bawah, dengan persentase mencapai 82%. 

Selanjutnya, kuintil menengah bawah mencatat 77,1%, diikuti kuintil menengah sebesar 73,3%, dan menengah atas sebesar 70,2%. Sementara, konsumsi rokok di kalangan masyarakat dari kuintil atas mencapai 58,4%.

Tidak bisa dipungkiri, rokok masih menjadi salah satu komoditas utama yang dikonsumsi masyarakat miskin di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI mencatat sepuluh jenis komoditas dengan pengeluaran terbesar di wilayah pedesaan maupun perkotaan di Indonesia, dan salah satu komoditas yang berada di urutan kedua tertinggi adalah rokok.

Rokok menjadi salah satu penyebab kemiskinan akibat tingkat konsumsinya yang tinggi. Harga rokok diketahui berkontribusi terhadap kemiskinan sebesar 11,38% di daerah pedesaan dan 12,22% di daerah perkotaan. 

Rata-rata, rumah tangga miskin mengeluarkan Rp286.000 per bulan untuk rokok, yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli bahan makanan bergizi bagi anak.