Perlu Komitmen Pendanaan untuk Menekan Kenaikan Suhu
- Peneliti Ekonomi Lingkungan dan Pendiri Think Policy, menyebutkan dengan komitmen dan kepemimpinan yang tepat, dunia memiliki potensi untuk mencapai target pendanaan iklim yang telah disepakati.
Nasional
JAKARTA - Dalam kekhawatiran yang semakin meningkat akan perubahan iklim, perhatian global semakin terarah pada upaya tindakan nyata jika dunia ingin mencapai tujuan perubahan iklim dan menjalani transisi yang efektif.
Hal tersebut akan menjadi perhatian utama dalam Conference of the Parties ke-28 (COP28) yang akan dihelat di Uni Emirat Arab pada tanggal 30 November hingga 12 Desember mendatang, di mana sejumlah keputusan penting diharapkan akan diambil untuk membentuk komitmen global terkait perubahan iklim di masa mendatang.
Evaluasi teknis global menegaskan dunia belum mencapai kemajuan untuk mencapai tujuan kesepakatan Paris. Kesenjangan emisi yang harus diatasi hingga tahun 2030 untuk penurunan suhu sebesar 1,5°C sangat besar dan terus bertambah.
Diperlukan implementasi tindakan selama tujuh tahun ke depan untuk mencapai target suhu 1,5°C yang mengharuskan penurunan emisi global sebesar 43% pada tahun 2030.
- Dukung Asosiasi Wanita Pengusaha Makanan Ringan, BRI Life Dongkrak Potensi UMKM
- Muhadjir: Sikap Indonesia Tidak Akan Berubah Soal Palestina
- Menilik Evolusi Pembiayaan Luar Negeri China
Salah satu aspek penting yang semakin ditekankan adalah peran sektor swasta dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Melansir keterangan resmi pada 7 November 2023, peneliti ekonomi lingkungan dan pendiri Think Policy, Andhyta Firselly Utami menyebutkan dengan komitmen dan kepemimpinan yang tepat, dunia memiliki potensi untuk mencapai target pendanaan iklim yang telah disepakati. Termasuk komitmen negara maju untuk menyediakan US$100 miliar atau sekitar Rp1.565,10 triliun (kurs Rp15.651) per tahun dalam pendanaan iklim kepada negara-negara berkembang.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan dan hambatan terkait pendanaan iklim, Andhyta meyakini target tersebut dapat dicapai dalam jangka menengah dengan syarat pemimpin dunia harus menanggapi isu tersebut dengan serius.
Andhyta menyebutkan salah satu tantangan utama dalam upaya mengatasi perubahan iklim adalah masalah pendanaan. Hal tersebut karena transisi agar lebih berkelanjutan memerlukan biaya yang sangat besar.
Di Indonesia, saat ini terdapat dua inisiatif keuangan yang relevan dengan perubahan energi dan kebijakan iklim global, yaitu Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM).
JETP merupakan inisiatif yang bertujuan untuk mendukung peralihan ke energi bersih dan berkelanjutan dengan penekanan pada aspek keadilan sosial. Program tersebut memiliki tujuan untuk memastikan peralihan ke energi bersih tidak hanya efisien dari segi ekonomi, tetapi juga adil dari segi sosial.
Dampak pada Masyarakat
JETP menekankan pentingnya memperhatikan dampak perubahan iklim pada masyarakat yang paling rentan termasuk pekerja di sektor energi konvensional yang mungkin terpengaruh oleh perubahan kebijakan.
Inisiatif tersebut mendukung transformasi ke sektor energi yang lebih berkelanjutan, sambil mempertimbangkan dampaknya pada lapangan kerja, kehidupan masyarakat lokal, dan keadilan sosial. GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero) Indonesia bertujuan untuk memobilisasi dan memfasilitasi pendanaan publik dan swasta senilai US$20 miliar (Rp313,02 triliun) dalam waktu lima tahun mendukung JETP di Indonesia.
- Kemnaker Minta Kemenkes Cabut Pasal di RPP Kesehatan yang Bisa Berdampak PHK
- Rekayasa Keuangan Tetap Ancam Sektor Perbankan dan Industri Keuangan
- Boikot Produk Israel Bisa Jadi Momentum Perkuat Konsumsi Produk dalam Negeri
Di sisi lain, ETM merupakan mekanisme yang memberikan dukungan secara teknis, finansial, dan peningkatan kapasitas yang dirancang untuk membantu negara-negara mempercepat transisi ke energi bersih.
ETM hadir untuk membantu negara-negara merancang dan melaksanakan kebijakan, mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan, dan meningkatkan kapasitas teknis yang diperlukan untuk mengatasi hambatan dalam transisi energi.
ETM dianggap penting karena banyak negara menghadapi kesulitan dalam mencapai tujuan iklim mereka, dan program ini hadir untuk mendukung sehingga negara-negara tersebut dapat menghadapi perubahan dengan lebih efektif. Program ETM juga meliputi proyek-proyek infrastruktur, pembangkit listrik terbarukan, dan proyek energi hijau lainnya yang mendukung transisi energi.
“Saat ini, Indonesia sedang bergerak menuju pembiayaan berkelanjutan dengan berbagai inisiatif pemerintah dan perusahaan swasta. Beberapa bank dan lembaga keuangan di Indonesia telah mulai mengadopsi praktik keuangan berkelanjutan. Mereka mendukung proyek-proyek seperti pembangkit listrik tenaga surya, restorasi hutan, dan infrastruktur ramah lingkungan. Baik JETP maupun ETM berperan penting dalam memfasilitasi implementasi finansial proyek-proyek energi bersih di Indonesia tersebut,” sebut Andhyta.