Kapal tongkang batu bara terlihat mengantre untuk ditarik di sepanjang sungai Mahakam di Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia, 31 Agustus 2019.
Energi

Perlunya Peran Masyarakat dalam Strategi Transisi Energi di Wilayah Penghasil Batu Bara

  • Riset IESR menjelaskan partisipasi aktif masyarakat terdampak transisi energi adalah kunci untuk beralih dari ekonomi berbasis fosil ke model berkelanjutan.
Energi
Alvin Pasza Bagaskara

Alvin Pasza Bagaskara

Author

JAKARTA – Lembaga riset think tank Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan saran kepada pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan dampak mitigasi transisi energi utamanya di daerah penghasil batu bara. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyarankan agar pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap fenomena transisi energi di wilayah produsen batu bara. Hal ini bertujuan untuk mengelola dampak secara efektif dan mencegah ancaman terhadap kedaulatan ekonomi masyarakat lokal. 

Fabby menegaskan bahwa dalam konteks transisi energi yang adil, partisipasi masyarakat yang terdampak menjadi kunci, sehingga mereka dapat memiliki keterlibatan aktif dan beralih dari sistem ekonomi berbasis fosil ke model ekonomi yang berkelanjutan.

“Saat ini Indonesia masih memiliki waktu untuk mempersiapkan proses transisi energi, namun waktunya tidak cukup lama. Jangan sampai saat industri batu bara berakhir, daerah tidak siap untuk melakukan transformasi,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Rabu, 22 November 2023. 

Febby menjelaskan pihaknya belum lama ini merilis hasil penelitian mengenai dampak transisi energi, dengan fokus pada dua wilayah produsen batu bara, yaitu Kabupaten Paser di Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim di Provinsi Sumatera Selatan.

Dalam penelitian di kedua wilayah tersebut, ditemukan bahwa daerah penghasil batu bara memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi dalam peralihan ekonomi menuju energi bersih.

Meskipun punya potensinya besar, kata Febby, pemanfaatan optimal masih terhambat oleh sejumlah faktor, termasuk keterbatasan wewenang pemerintah daerah, keterbatasan kapasitas keuangan, serta kurangnya infrastruktur kesehatan dan pendidikan.

Dalam riset yang berjudul "Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim," IESR juga mendapati kurangnya upaya diversifikasi ekonomi dan pembangunan industri di daerah-daerah produsen batu bara tersebut.

Ia menjelaskan bahwa pemerintah pusat harus memiliki pemahaman yang cermat mengenai konteks transisi energi di wilayah tersebut agar dapat melakukan campur tangan yang efektif di daerah produsen batu bara. 

Hasil penelitian IESR menunjukkan bahwa mayoritas batu bara yang dihasilkan di Paser dan Muara Enim diekspor ke wilayah lain dan belum menggerakkan pertumbuhan industri di daerah setempat.

Untuk diketahui, pertumbuhan industri di kedua wilayah juga berjalan lambat, terutama di Paser, di mana Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor manufaktur masih tertinggal dibandingkan dengan sektor pertanian. 

Ia mencontohkan, di Muara Enim, kurangnya peluang ekonomi yang berkelanjutan juga disebabkan oleh keterbatasan lahan pertanian, khususnya lahan untuk perkebunan karet, akibat perubahan penggunaan lahan dari perkebunan menjadi kawasan kontraksi pertambangan.

Memilah Sektor Unggulan 

Menurut Analis Sosial dan Ekonomi IESR Martha Jesica keterlibtan mpemerintah pusat dan daerah dalam transisi energi bertujuan untuk menentukkan sektor ungggulan di setiap daerah penghasil batu bara. 

“Misalnya saja sektor unggulan di Kabupaten Paser yakni pendidikan dan jasa keuangan. Sementara itu, sektor unggulan di Kabupaten Muara Enim, yakni akomodasi dan jasa makanan karena kinerjanya yang lebih baik dibandingkan dengan daerah sekitarnya,” terang Martha.

Selaras hasil riset, Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Paser Rusdian Noor berharap agar akselerasi transisi energi di daerah penghasil batu bara diiringi dengan dukungan dari pemerintah pusat untuk investasi dan inovasi teknologi.

Ia menjabarkan bahwa pada 2022 saja, PDRB Kabupaten Paser untuk membiayai pembangunan daerah sekitar 75% dari pendapatan itu mayoritas diperoleh oleh hasil pertambangan. 

“Transisi energi dengan diversifikasi sektor ekonomi harus mampu memenuhi 75 persen PDR sehingga kami tidak kehilangan daya dalam melaksanakan pembangunan,” papar Rusdian.

Senada, Kepala Bappeda Muara Enim Mat Kasrun meminta agar pihaknya dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan terkait transisi energi dan kewenangan pengembangan energi baru dan terbarukan. 

Selain itu, ia juga berharap hal ini mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat, seperti memberikan keleluasaan dalam wewenang atau perizinan terkait pengembangan sektor ekonomi baru di wilayah tersebut.