<p>Gedung PT Pertamina (Persero). / Pertamina.com</p>
Korporasi

Pertamina Terbitkan Surat Utang Global Rp26,6 Triliun

  • Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas PT Pertamina (Persero) menerbitkan obligasi global (global bond) senilai US$1,9 miliar atau Rp26,6 triliun (asumsi kurs Rp14.000 per dolar Amerika Serikat).

Korporasi

Aprilia Ciptaning

JAKARTA – Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas PT Pertamina (Persero) menerbitkan obligasi global (global bond) senilai US$1,9 miliar atau Rp26,6 triliun (asumsi kurs Rp14.000 per dolar Amerika Serikat).

Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengungkapkan, obligasi yang diterbitkan pada pekan lalu ini terdiri dari dua seri. Nantinya, dana tersebut akan digunakan untuk memenuhi belanja modal (capital expenditure/capex) dan investasi perseroan.

“Pertama, senilai US$1 miliar atau Rp14 triliun dengan tenor lima tahun dan kupon 1,4 persen,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Selasa, 9 Februari 2021.

Sementara itu yang kedua, obligasi senilai US$900 juta atau setara Rp12,6 triliun denan tenor 10 tahun dan kupon 2,3%. Menurutnya, penerbitan ini berbarengan dengan kondisi imbal hasil (yield) yang tinggi dan tenor yang singkat. Hal ini dinilai akan membantu mengurangi beban keuangan perseroan.

Kinerja Melesat di Tahun Pandemi

Meskipun demikian, perusahaan pelat merah ini nyatanya masih ampuh dalam mencatatkan laporan kinerja pada periode 2020. Laba perseroan yang berhasil diperoleh sebesar US$1 miliar atau setara Rp14 triliun.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, keberhasilan ini tidak lepas dari strategi bisnis yang tepat.

“Apa yang telah dicapai oleh Pertamina memperoleh laba hingga Rp14 triliun merupakan suatu hal yang luar biasa, dengan strategis bisnis yang tepat. Strategi Pertamina dalam rangka menghadapi tripple shocks saat pandemi bisa berbuah manis,” kata dia di Jakarta dilansir Antara, Minggu, 7 Februari 2021.

Padahal pada semester I-2020, keuntungan Pertamina sempat anjlok dengan kerugian hingga Rp11 triliun. Penyebabnya, menurut dia, BUMN Migas ini mengalami tripple shocks yakni menurunnya harga minyak dunia, menurunnya permintaan, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Akan tetapi dengan strategi bisnis yang tepat, kinerja Pertamina berhasil rebound sehingga akhir 2020 bisa membukukan keuntungan. Faktor pendorongnya tak lain adalah efisiensi dengan memangkas biaya produksi.

“Pertamina berhasil melakukan pekerjaan skala prioritas dengan pekerjaan mana saya yang bisa dikerjakan dan pekerjaan yang bisa bisa ditunda sementara waktu,” ujarnya.

Kemudian, perusahaan Migas dalam negeri ini berhasil meningkatkan produksi di tengah harga minyak mentah (crude oil) dunia terkoreksi. Kondisi ini berbanding terbalik dengan produksi minyak di semester sebelumnya. Selanjutnya, konsumsi BBM di dalam negeri mengalami peningkatan dibandingkan dengan semester I.

“Terakhir, Pertamina berhasil meningkatkan pendapatannya dari luar core bisnisnya sektor migas. Ini sangat membantu Pertamina,” ujarnya. (SKO)