Pertumbuhan Ekonomi 7 Tahun Terakhir Selalu Meleset, Pemerintah Diminta Fokus
- Pertumbuhan ekonomi pada 2021 mencapai 3,69% yoy. Angka ini meleset dari target APBN 2021 5% dan menambah daftar rendahnya capaian kinerja ekonomi dalam tujuh terakhir.
Nasional
JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 mencapai 3,69% year on year (yoy). Angka ini meleset dari target dalam asumsi makro APBN 2021 sebesar 5% dan menambah daftar rendahnya capaian kinerja ekonomi dalam tujuh terakhir.
Wakil Direktur Institute for Development Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mendorong pemerintah lebih fokus dalam mengeksekusi kebijakan terutama dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,2% tahun ini.
"Caranya ini benar-benar harus fokus untuk mengakseslerasi perekonomian," katanya dalam konferensi pers Indef yang digelar virtual, Selasa, 8 Februari 2022.
Sebagai gambaran, sejak tahun 2015, capaian pertumbuhan ekonomi selalu meleset dari target APBN. Realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2015 hanya tumbuh 4,88% dari target APBN sebesar 5,7%.
- Bank BTN Raup Laba Bersih Rp2,37 Triliun, Melesat 48 Persen Sepanjang 2021
- Perluas Digitalisasi, ASDP Terapkan Pembayaran Cashless di 17 Pelabuhan Penyeberangan pada 2022
- Adhi Persada Gedung Jadi Kontraktor Proyek Cibinong City Mall 2 dan Hotel Harris
Berlanjut ke tahun 2016, capaian ekonomi mencapai 5,02% dari target 5,2%. Kemudian di tahun 2017, realisasi ekonomi mencapai 5,07% dari target 5,2%. Selanjutnya pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17% dari target 5,4%.
Kinerja pertumbuhan yang rendah terjadi kembali pada tahun 2019 yang mencapai 5,02% dari target 5,3%. Buntut pandemi COVID-19, pertumbuhan ekonomi tahun 2020 menjadi yang terburuk dimana terkontraksi 2,07% dari target 5,3%.
Eko menilai bahwa ada yang keliru dalam eksekusi kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam tujuh tahun terakhir. Jika tidak benar-benar fokus, akan sulit untuk mencapai kinerja yang lebih bagus tahun ini. Apalagi ketika dana APBN telah dibagi-bagi untuk membiayai sejumlah proyek yang dinilai belum perlu diekseksusi saat ini.
"Kayaknya susah kita capai tahun ini kalau amunisi yang disediakan untuk terutama dari sisi fiskal tidak fokus pada pemulihan ekonomi, belok sana belok sini, karena tahun depan itu tahun politik. Kesempatan untuk membuktikan kita bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi sesuai asumsi makro adalah tahun ini," katanya.
Dalam proyeksi Indef, pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya naik menjadi 4,3%, lebih rendah dari asumsi makro APBN 2022 sebesar 5,2%. Sementara, tingkat inflasi menurut proyeksi Indef akan lebih tinggi menjadi 3,5% dari asumsi makro 3,0%.
Suku bunga Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun juga diprediksi lebih tinggi dari asumsi makro APBN 2022 sebesar 6,82% menjadi 7%. Sementara nilai berada di level Rp14.500/US$, lebih tinggi dari asumsi makro Rp14.350/US$.
"Dengan gambaran-gambaran ini, memang perlu fokus," pungkas Eko.
Dia menandaskan bahwa pemerintah perlu hati-hati dan teliti dan mengeksekusi kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi. Apalagi ketika dana APBN tahun 2022-204 telah dialokasikan untuk membiayai pembangunan ibu kota negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.
Pasalnya, secara global Dana Moneter Internasional (IMF) telah memproyeksikan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini hingga tahun depan.
Dalam "World Economic Outlook January 2022", IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di angka 4,4%, menurun dari tahun lalu yang mencapai 5,9%.
Tahun depan, IMF kembali memangkas capaian pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,8%. Sementara untuk negara berkembang seperti Indonesia, ekonomi diproyeksi tumbuh pada level 4,8% tahun ini dan melambat ke 4,7% tahun depan.
Hal yang sama juga terjadi pada negara-neagra maju dimana realisasi pertumbuhan ekonomi diprediksi hanya mencapai 3,9% tahun ini dan merosot ke 2,6% tahun depan.
"Harus fokus anggarannya, dimana harus benar-benar untuk pemulihan ekonomi. Tentu saja kebijakan pemulihan ekonomi syarat utamanya kan mengatasi pandemi, kemudian bansos dan UMKM yang nggak optimal. Kalau pemindahan ibu kota pun saya rasa bisa ditunda," tukas Eko.
Sejumlah Tantangan
Eko kembali menegaskan bahwa salah satu tantangan utama dunia tahun ini adalah penyebaran varian Omicron yang begitu cepat. Sejumlah negara telah melakukan pembatasan yang diperkirakan bisa mempengaruhi mobilitas barang dan menekan pemulihan ekonomi domestik.
"Kalau dalam tiga bulan ke depan terjadi lonjakan, maka pada triwulan pertama probability untuk mencapai di atas 5 persen sudah agak sulit kalau melihat kasusnya semakin tinggi," papar Eko.
Selain itu, harga minyak melonjak akibat geopolitik yang bergejolak seiring memanasnya isu Rusia-Ukraina yang kemudian melibatkan negara-negara dengan perekonomian dominan di dunia.
Ujung situasi ini adalah harga minyak mentah global yang sebelumnya sudah mengalami tren meningkat seiring mulai pulihnya ekonomi, semakin melesat menuju US$100 per barrel.
Bagi Indonesia situasi ini tentu tidak mudah mengingat kebutuhan minyak yang harus dipenuhi dari impor juga akan meningkat seiring pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, harga yang meningkat akan membuat biaya produksi energi naik dan akhirnya terefleksikan melalui inflasi barang dan jasa yang diatur pemerintah.
"Kalau ini terus-terusan naik, implikasinya nggak mudah untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi," imbuhnya.
Tantangan lain, lanjut Eko, adalah peningkatan permintaan komoditas di pasar global. Di sisi lain, suplai tidak secara cepat mengimbangi naiknya permintaan.
Akibatnya harga komoditas mengalami peningkatan dan pada akhirnya juga mendorong inflasi yang bersumber dari barang bergejolak dan impor.
"Indonesia situasi ini menjadi simalakama, di satu sisi ekspor komoditas mendorong surplus negara perdagangan, namun di sisi lain akibat harga komoditas naik maka harga barang (terutama bahan pokok) juga semakin mahal," papar Eko.
Tantangan terakhir adalah kebijakan tapering-off yang akan dikeluarkan bank sentral Amerika Serikat tahun ini setelah diundur dari November 2021 lalu.
Hal itu karena inflasi AS yang sudah berada di atas target The Federal Reseve (The Fed) yaitu 7%. Tidak ragu-ragu lagi, bank sentral AS ini akan mengurangi pembelian surat utang pemerintah, yang implikasi selanjutnya adalah kemungkinan naiknya bunga acuan.
Menurut Eko, kondisi ini dari sisi makro dapat diantisipasi, namun kewaspadaan dan kesiapan kebijakan tetap perlu dilakukan. Hal ini karena pada moment-moment tertentu tetap saja spekulasi bisa terjadi, yang dapat membuat fluktuasi ekonomi.
"Kita akan bergejolak tapi tidak bertahan lama. Tapi ini harus disiapkan skenario supaya kita bisa mengendalikan dampak dari tappering ini," ungkapnya.
Dia mendorong pemerintah mengoptimalisasi kebijakan fiskal dengan fokus pada pemulihan ekonomi untuk memastikan akselerasi ekonomi terjadi di 2022 di tengah ketidakpastian global saat ini.
"Yang penting adalah mitigasi harus disiapkan dari daftar risiko yang ada saat ini, termasuk soal anggaran," ungkapnya.