<p>Ilustrasi uang rupiah di bank / Shutterstock</p>
Nasional

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Cukup Baik di Tengah Kemelut Global, Analis: Jangan Senang Dulu!

  • "Indonesia jangan senang dulu atas perkiraan ekonomi yang bagus, namun ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah agar bekerja lebih keras dan bisa membuktikan bahwa apa yang diprediksi oleh IMF, Bank Dunia, dan ADB bisa terealisasi dan terbukti," ujar Ibrahim.
Nasional
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA - Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengingatkan Republik Indonesia (RI) agar tidak semerta-merta merasa senang dan puas atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik di tengah kemelut makroekonomi global.

"Indonesia jangan senang dulu atas perkiraan ekonomi yang bagus, namun ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah agar bekerja lebih keras dan bisa membuktikan bahwa apa yang diprediksi oleh IMF, Bank Dunia, dan ADB bisa terealisasi dan terbukti," ujar Ibrahim dikutip dari riset harian yang diterima TrenAsia, Jumat, 29 Juli 2022.

Untuk diketahui, International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB) memperkirakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5,2% pada tahun 2022.

Perkiraan itu pun secara tidak langsung merepresentasikan kemunculan Indonesia sebagai kekuatan baru saat negara-negara di dunia sedang menghadapi permasalahan ekonomi yang pada gilirannya mendorong potensi resesi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercermin di antaranya dari besaran cadangan devisa di atas standar IMF dalam kurun waktu tiga bulan ke depan.

Per akhir Juni 2022, Indonesia memiliki devisa sebesar US$136,4 miliar atau setara dengan Rp2,02 kuadriliun dalam asumsi kurs Rp14.860 perdolar Amerika Serikat (AS), naik dari bulan Mei sebesar US$135,6 miliar (Rp2,01 kuadriliun).

Kemudian, stabilitas keuangan domestik juga dinilai Ibrahim masih relatif terjaga hingga kuartal II-2022, tercermin dari rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) perbankan yang masih tinggi di akhir Mei 2022, yakni 24,67%.

Rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan terjaga di level 3,04% bruto. Sentimen positif pun didukung oleh saluran kredit perbankan yang tumbuh 10,6% secara year-on-year (yoy) per Juni 2022.

Kemudian, pemerintah juga menyampaikan bahwa pada periode April-Juni 2022, realisasi investasi mencapai Rp302,2 triliun, meningkat 7% jika dibandingkan periode sebelumnya. Capaian ini pun mengindikasikan pemulihan investasi sejak pandemi COVID-19 melanda.

Menurut data realisasi investasi yang dipublikasikan Kementerian Investasi (Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM), data realisasi investasi secara kumulatif sepanjang semester I-2022 mencapai Rp584,6 triliun atau meningkat 32% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2021.

Sementara itu, catatan surplus pada neraca perdagangan pun mengindikasikan kinerja ekspor Indonesia yang masih cukup kuat, didorong oleh lonjakan harga komoditas global.

Pada semester I-2022, neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan mencatat surplus sebesar US$24,89 miliar (Rp396,86 triliun).

Selain data-data di atas, keputusan Bank Indonesia (BI) dalam mempertahankan suku bunga di level 3,5% pun dinilai Ibrahim dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi global yang masih dipenuhi ketidakpastian, Indonesia masih mencatat kinerja positif dalam memulihkan kondisi ekonomi pascapandemi COVID-19.

Ibrahim pun berpendapat bahwa keputusan BI dalam mempertahankan suku bunganya merupakan langkah yang tepat untuk mengendalikan inflasi sesuai dengan skema BI, dan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Ibrahim pun mengemukakan bahwa meskipun ekonomi Indonesia terus bergerak menanjak, tapi kondisi ekonomi global tidak sedang baik-baik saja.

Inflasi melonjak di sejumlah negara di tahun 2022, dan resesi pun menjadi ancaman yang membayang-bayangi. Kondisi itu diperparah oleh konflik Rusia-Ukraina.

"Krisis pangan dan krisis energi terjadi karena Rusia merupakan produsen energi terbesar di dunia. Bukan hanya energi, Rusia dan Ukraina juga merupakan produsen pangan terbesar di dunia, termasuk pupuk," tutur Ibrahim.

Menurut Ibrahim, risiko perekonomian Indonesia cenderung berasal dari kondisi eksternal ketimbang internal. Krisis yang terjadi di sejumlah negara pada gilirannya dapat turut berdampak pada pemulihan ekonomi Indonesia, misalnya inflasi yang merangkak karena krisis pasokan.  

Oleh karena itu, semua pihak-pihak terkait diharapkan bisa terus mewaspadai risiko yang dapat terjadi pada tanah air tatkala pertumbuhan masih berlangsung dengan baik.