Pertumbuhan Investor Aset Kripto Melambat, Ini Alasannya
- Meskipun jumlah investor kripto terus bertambah, namun pertumbuhannya terus mengalami perlambatan sejak 2022.
Fintech
JAKARTA - Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat pertumbuhan jumlah investor aset kripto sebesar 0,74% dari Juni ke Juli 2023, melambat dari 0,8% yang tercatat pada bulan sebelumnya.
Dengan kenaikan tersebut, jumlah investor aset kripto mencapai 17,67 juta orang hingga Juli 2023, bertambah dari 17,54 juta.
Meskipun jumlah investor kripto terus bertambah, namun pertumbuhannya terus mengalami perlambatan sejak 2022.
- Golden Energy Mines (GEMS) Siap Bagikan Dividen Interim Rp846,93 Per Saham
- Pertamina EP Sukses Produksi Minyak 71.485 Barel Per Hari, Ini Faktornya
- Setelah F-15EX, Prabowo Borong 24 Helikopter Black Hawk
Pertumbuhan investor kripto sempat meningkat pada awal tahun 2023 ketika pelaku pasar melihat potensi masa depan cryptocurrency yang lebih cerah karena adanya proyeksi penurunan suku bunga dari The Federal Reserve (The Fed) di tahun ini.
Akan tetapi, dengan level inflasi di Amerika Serikat (AS) yang belum mencapai target bank sentral, The Fed pun masih melakukan pengerekan suku bunga dan kemungkinan masih akan mempertahankannya di level yang tinggi hinga akhir tahun.
Dengan demikian, memasuki pertengahan 2023, pertumbuhan jumlah investor kripto pun cenderung melambat, bahkan pertumbuhannya pernah hanya tercatat sebesar 0,64% pada bulan April.
Chief Executive Officer (CEO) PT Crypto Indonesia Berkat (Tokocrypto) Yudhono Rawis memberikan pendapatnya atas pertumbuhan investor kripto yang terus mengalami perlambatan ini.
Dikatakan olehnya, penurunan pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh menyusutnya tren perdagangan kripto di skala global.
Penurunan nilai aset kripto dalam beberapa waktu terakhir menjadi tekanan bagi pasar kripto global dan kapitalisasi pasar pun terus menciut.
"Saat ini, kapitalisasi pasar aset kripto global belum mengalami lonjakan yang signifikan sejak awal tahun 2023. Terdapat faktor lain yang turut berperan, seperti ketidakpastian ekonomi global dan tingginya tingkat inflasi di beberapa negara," kata Yudho kepada TrenAsia, dikutip Jumat, 25 Agustus 2023.
Yudho menambahkan, dengan kondisi-kondisi yang telah dipaparkan di atas, para investor pun ragu-ragu untuk menentukan keputusan dalam investasinya, dan bahkan bisa jadi sampai meninggalkan pasar.
Kendati demikian Yudho melihat adanya harapan pertumbuhan jumlah investor kripto di Indonesia dengan adanya stimulus dari pendirian bursa kripto, lembaga kliring, dan lembaga penyimpanan kustodian.
Yudho mengatakan, aset kripto disoroti pemerintah sebagai salah satu komponen utama dalam ekosistem digital nasional.
Oleh karaena itu, dikondisikannya tiga lembaga yang disebutkan di atas untuk pasar kripto domestik ini pun merupakan langkah untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan di industri cryptocurrency ini.
"Dengan ekosistem yang lengkap, diharapkan bahwa para investor akan merasa lebih percaya diri dan aman dalam menjalankan aktivitas perdagangan kripto," lanjut Yudho.
- Berencana Pindah ke Bali? Berikut 5 Rekomendasi Kawasan Terbaik untuk Tinggal
- 6 Rekomendasi Wisata Populer di Magelang
- Kelola Limbah Pertanian, Pabrik Biogas (CBG) Mulai Dibangun di Lombok
Sentimen Negatif Pasar Kripto
Dalam beberapa waktu terakhir, pasar kripto memang tengah mengalami penurunan performa yang cukup drastis.
Bitcoin menurut pantauan Coin Market Cap, Jumat, 25 Agustus 2023 pukul 10.00 WIB, berada di harga US$26.121 atau setara dengan Rp398,4 juta dalam asumsi kurs Rp15.253 per-dolar AS.
Padahal, di bulan Maret 2023, Bitcoin sudah sempat menyentuh harga di kisaran US$31.000 (Rp472,84 juta).
Bitcoin Fear and Greed Index pun masih berada di posisi 34 yang mana angka tersebut menunjukkan bahwa pelaku pasar masih ragu-ragu untuk berinvestasi di BTC.
Berikut ini TrenAsia telah merangkum beberapa sentimen negatif yang mendorong pasar kripto untuk terus melemah dalam sepekan ke belakang.
1. Suku Bunga The Federal Reserve (The Fed)
Kekhawatiran pelaku pasar masih didorong oleh peluang The Fed untuk mempertahankan pengetatan kebijakan moneter yang lebih panjang karena inflasi yang belum mencapai target.
Pada Juli 2023, inflasi AS tercatat naik lagi ke level 3,2% secara tahunan setelah sebelumnya tercatat di angka 3% pada bulan Juni.
Kenaikan inflasi ini terjadi untuk pertama kalinya dalam 13 bulan terakhir dan memunculkan kekhawatiran pengerekan suku bunga lebih lanjut dari The Fed.
Sebagian besar analis pun memperkirakan The Fed baru akan menurunkan suku bunganya tahun depan.
2. Default Perusahaan Properti Raksasa di China
Kegagalan bayar utang alias default yang dialami oleh perusahaan properti raksasa di China juga menjadi sentimen negatif untuk aset berisiko seperti kripto.
Perusahaan properti Evergrande dan Country Garden di China dilaporkan telah mengalami gagal bayar utang, bahkan Evergrande telah mengumumkan kebangkrutan pada hari Kamis, 17 Agustus 2023.
Evergrande telah gagal membayar utang yang nilainya mencapai kisaran Rp4,4 kuadriliun. Sementara itu, jumlah utang yang gagal dibayar oleh Country Garden mencapai Rp2,87 kuadriliun.
3. Elon Musk Menjual Bitcoin Senilai US$373 juta
Wall Street Journal melaporkan perusahaan milik Elon Musk, SpaceX, menjual Bitcoin dengan nilai US$373 juta atau setara dengan Rp5,7 triliun.
Berita terkait menyusutnya kepemilikan Bitcoin di SpaceX ini menyeruak setelah sebelumnya Tesla Motor Inc, perusahaan Elon Musk lainnya, dilaporkan hanya memiliki sisa Bitcoin senilai US$184 juta (Rp2,8 triliun).
Padahal, di awal akumulasi aset kripto ini, Tesla dilaporkan memiliki Bitcoin senilai US$1,5 miliar (Rp22,96 triliun) dan bahkan sempat mengakumulasi BTC hingga US$2 miliar (Rp30,61 triliun).
4. Tingginya Imbal Hasil Obligasi Pemerintah AS
Imbal hasil obligasi pemerintah AS mengalami peningkatan ke level 4,3% yang merupakan tingkat tertinggi sejak tahun 2007.
Peningkatan imbal hasil ini mengindikasikan permintaan terhadap obligasi yang menurun karena masih tingginya potensi The Fed untuk menaikkan suku bunga.
Dengan demikian, pelaku pasar pun tampaknya masih ragu untuk keluar dari aset-aset safe haven dan menahan untuk masuk ke pasar pendapatan tetap.
Tingginya imbal hasil ini pun diikuti oleh melemahnya aset-aset berisiko, termasuk Bitcoin dan kripto-kripto lainnya dengan kapitalisasi pasar terbesar.