<p>Salah satu proyek konstruksi PT Acset Indonusa Tbk. / Astra.co.id</p>
Industri

Perusahaan Konstruksi Skala Menengah Babak Belur Selama Pandemi

  • Pandemi bukan hanya menghantam perusahaan konstruksi bermodal besar tetapi juga perusahaan skala kecil hingga menengah.

Industri
Reza Pahlevi

Reza Pahlevi

Author

JAKARTA – Pandemi bukan hanya menghantam perusahaan konstruksi bermodal besar tetapi juga perusahaan skala kecil hingga menengah. Ketua Umum Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional Taufik Widjoyono mengatakan dampak pandemi COVID-19 ini justru lebih terasa untuk perusahaan-perusahaan tersebut.

Banyaknya proyek-proyek infrastruktur yang ditunda selama pandemi jadi alasan utama. Bahkan, pemerintah sempat merevisi anggaran infrastruktur di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari yang sebelumnya Rp423,3 triliun menjadi Rp281 triliun di tahun 2020. Revisi anggaran ini dilakukan sebagai realokasi anggaran penanganan pandemi COVID-19.

“Kalau (kontraktor) besar relatif sudah punya pasar yang lebih stabil dan manajemen lebih kuat. Tapi kalau yang kecil itu kan begitu kena masalah sedikit saja dengan struktur modal yang terbatas ya berat,” ujar Taufik, kepada TrenAsia.com, belum lama ini.

Tidak tanggung-tanggung, Gabungan Pelaksana Konstruksi (Gapensi) mencatat hampir separuh dari anggotanya yang berjumlah sekitar 42.000 tidak memperbarui kartu tanda anggota (KTA) mereka. Padahal, KTA ini harusnya diperbarui tiap tahun agar perusahaan konstruksi dapat mengikuti tender-tender proyek.

Dengan tidak diperbaruinya KTA tersebut, anggota Gapensi praktis menyusut menjadi sekitar 28 ribu anggota di tahun 2020. Sebagai catatan, 78% dari anggota Gapensi adalah perusahaan jasa konstruksi kecil kelas K.

Asa baru 2021

Di tahun 2021 ini, pemerintah pun menaikkan kembali anggaran infrastruktur dalam APBN menjadi Rp414 triliun, lebih tinggi dari tahun lalu yang hanya Rp281 triliun. Secara persentase, porsi anggaran juga naik menjadi 3,34% dari 2,44% di tahun lalu.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan kenaikan anggaran ini dilakukan akibat banyaknya proyek yang ditunda tahun lalu. Pada 2021, pemerintah memulai momentum pemulihan ekonomi nasional dan Menkeu berharap proyek infrastruktur dapat mendorong kinerja perekonomian.

“Anggaran infrastruktur cukup besar untuk menampung yang selama ini tertunda,” ujar Bendahara Negara di akhir tahun lalu.

Selanjutnya, pemerintah juga sedang merancang pemotongan pajak penghasilan (PPh) final jasa konstruksi. Rencana ini tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang perubahan kedua atas PP nomor 51 tahun 2008 tentang pajak penghasilan dari penghasilan usaha jasa konstruksi.

Dalam RPP ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan menurunkan tiga dari lima jenis tarif PPh final jasa konstruksi.

Perubahan pertama adalah tarif PPh final atas pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa dengan kualifikasi usaha perseorangan dan kualifikasi usaha kecil menjadi 1,75% dari yang sebelumnya 2%.

Lalu, perubahan kedua adalah tarif PPh final menjadi 2,65% dari yang sebelumnya 3% untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha atau usaha orang perorangan dan kualifikasi usaha kecil.

Perubahan ketiga adalah tarif PPh final untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha menjadi 3,5% dari yang sebelumnya 4%.

Sementara itu, tarif PPh final lama tetap berlaku untuk pekerjaan dan konsultasi konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha. Rinciannya, tarif PPh final sebesar 4% untuk pekerjaan konstruksi dan 6% untuk konsultasi konstruksi.

Usaha-usaha ini pun diapresiasi oleh pihak penyedia jasa konstruksi yang selama setahun belakangan mengalami kesulitan karena pandemi. “Tentu ini akan meringankan jika pajaknya berkurang,” ujar Taufik.

Taufik juga menyebut penurunan PPh final jasa konstruksi juga dapat meningkatkan produktivitas penyedia jasa konstruksi. Menurutnya, dengan adanya penurunan ini, pendapatan kontraktor bisa dipakai untuk pengembangan jasa konstruksi.

Meski begitu, Taufik masih menyayangkan suku bunga bank yang masih tinggi untuk peminjaman usaha. “Bunga di bank itu kan 9% kira-kira, cost of money-nya itu lumayan 9%. Tambah lagi dulu PPh final 3%, jadi sebenarnya keuntungan kontraktor itu relatif berat jika dibandingkan total 12% bunga bank dan pajak tersebut,” tambahnya.

Wakil Ketua Umum IX Gapensi Didi Iskandar Aulia juga mengamini hal tersebut. Dirinya mengatakan sewajarnya suku bunga sektor jasa konstruksi seharusnya 3% di atas suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Namun, nyatanya suku bunga komersial sektor konstruksi masih berada di atas 10% per tahun.

“Bunga perbankan di sektor konstruksi itu tidak manusiawi saya pikir dari bank pemerintah. Pemerintah butuh menunjuk bank pelaksana untuk satu bank pemerintah siapa, dan ini nilai bunganya terlalu tinggi menurut kami,” ujarnya.