<p>Ilustrasi mena</p>
Industri

Perusahaan Negara Hingga Orang Terkaya, Berebut Takhta Raja Menara

  • Anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), yakni PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) disebut-sebut bakal menjadi penantang kuat bagi PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).

Industri

Fajar Yusuf Rasdianto

JAKARTA – Persaingan emiten-emiten menara pemancar (base transceiver station/BTS) agaknya bakal semakin seru dengan hadirnya calon pendatang baru di lantai bursa. Anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), yakni PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) disebut-sebut bakal menjadi penantang kuat bagi emiten-emiten menara yang sudah ada.

Hingga saat ini, tercatat baru ada dua emiten menara berkapitalisasi pasar kakap yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pertama, ada nama PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), entitas usaha Grup Djarum yang mencatatkan penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) pada 10 Maret 2010.

Kala itu, perusahaan menara BTS milik konglomerat paling tajir di RI, Michael dan Robert Budi Hartono ini melepas setidaknya 112.232.500 saham ke lantai bursa dengan harga Rp1.050 per lembar. Sepanjang 10 tahun berjalan, saham TOWR tidak banyak mengalami perubahan, bahkan cenderung stagnan. Hingga Senin, 19 Oktober 2020, saham TOWR ditutup melemah 20 poin atau turun 1,95% ke level Rp1.005 per lembar.

Kendati demikian, TOWR masih menjadi raja menara—setidaknya untuk saat ini—dengan kapitalisasi pasar Rp51,27 triliun. Dengan PT Sapta Andhika Investama masih menjadi pemegang saham pengendali dengan proporsi kepemilikan 51,71%.

Gedung XL Axiata. / Xlaxiata.co.id
Borong Menara XL

Pada semester I-2020, TOWR berhasil mencatatkan laba bersih senilai Rp1,31 triliun. Jumlah itu naik 31% dibandingkan dengan perolehan laba pada periode yang sama tahun sebelumnya Rp993,81 miliar.

Dinukil dari keterbukaan informasi BEI, aksi korporasi terakhir TOWR dilakukan pada 2 Oktober 2020. Saat itu perseroan melakukan penyelesaian akuisisi 12 dari 1.646 menara telekomunikasi milik PT XL Axiata Tbk (EXCL). Pembelian dilakukan melalui anak usaha TOWR, yakni PT Professional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo).

Dengan pembelian ini, maka TOWR bersama anak-anak usahanya pun kini memiliki total 21.283 menara. Ke depan, tidak menutup kemungkinan jika TOWR pun akan melakukan pembelian menara lagi untuk kian memantapkan posisinya sebagai penguasa tower telekomunikasi di Tanah Air.

“Kami juga terbuka untuk mengakuisisi menara baru jika ada pihak yang menawarkan,” terang Wakil Direktur Sarana Menara Nusantara Adam Ghifari dalam paparan publik Agustus lalu.

Ilustrasi bisnis PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. / Tower-bersama.com
Posisi Dua

Emiten menara dengan aset terbesar kedua ditempati oleh PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG). Emiten yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh konglomerat Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Salahuddin Uno ini melantai di pasar modal sejak 26 Oktober 2010.

Sebanyak 551.111.000 saham dilepas kala itu. Harganya dipatok Rp2.025 per lembar. Sepanjang 10 tahun berjalan, nilai saham TBIG mulai menyusut hingga pada perdagangan Senin 19 Oktober 2020, ditutup pada level Rp1.450 per lembar.

TBIG masih menjadi emiten menara dengan kapitalisasi pasar paling jumbo kedua dengan nilai Rp32,85 triliun. Sebagian besar dari nilai itu dimiliki secara tidak langsung oleh Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya melalui entitas usahanya.

PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) yang dimiliki konglomerat ini memiliki anak usaha bernama PT Wahana Anugerah Sejahtera dan PT Provident Capital Indonesia. Nah, kedua anak usaha inilah yang menjadi penguasa saham TBIG. Provident Capital memiliki 30,62% saham TBIG. Sedangkan Wahana Anugerah memiliki 24,95%.

Pada semester I-2020 lalu, TBIG berhasil membukukan laba bersih senilai Rp1,26 triliun. Melesat dari laba bersih periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp291,6 miliar.

Tidak ada kabar aksi pembelian menara BTS oleh TBIG selama beberapa bulan belakangan ini. Total menara yang dimiliki TBIG masih berada di angka 15.893. Namun CFO Tower Bersama Infrastucture Helmy Yusman Santoso mengungkapkan, pihaknya masih membuka peluang untuk membeli menara baru jika ada yang pas dengan kriteria TBIG.

“Kesempatan akuisisi menara baru selalu ada. Hanya kita selalu menilai apakah menara tersebut menarik dari segi lokasi (atau tidak),” tutur Henry dalam paparan publik September lalu.

Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko (kedua dari kiri) dan Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro (kedua dari kanan) menunjukkan naskah akta Perjanjian Jual Beli (Sale and Purchase Agreement/SPA) tahap I untuk pengalihan kepemilikan sebanyak 1.911 dari total 6.050 menara telekomunikasi Telkomsel ke Mitratel disaksikan Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo (tengah), Komisaris Utama Telkom Rhenald Kasali (paling kanan), dan Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah (paling kiri) di Jakarta, Selasa (20/10). / Dok. Telkom
Calon Raja Baru

Kini, kedua emiten menara ini perlu berhati-hati dengan adanya calon raja baru yang sedikit lagi melantai di pasar modal. Calon raja baru itu adalah Mitratel. Kabar IPO Mitratel semakin santer terendus semenjak anak usaha Telkom ini mengambil alih 6.050 menara milik PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) pekan lalu.

Waktu itu penandatanganan akuisisinya dilakukan oleh Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko dan Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro dengan nilai Rp10,3 triliun. Dengan tambahan tower baru itu, maka kini Mitratel telah memiliki total 22.000 menara di seluruh Indonesia. Terbanyak dibandingkan dengan perusahaan menara lain di Bumi Nusantara.

Direktur Utama Mitratel, Theodorus Ardi Hartoko menyampaikan aksi korporasi tersebut merupakan strategi bisnis untuk meningkatkan kapabilitas perusahaan dari sisi aspek infrastruktur telekomunikasi.

“Kami yakin bahwa pengalihan kepemilikan 6.050 menara telekomunikasi milik Telkomsel akan memperkuat bisnis Mitratel secara fundamental. Ini menjadi potensi yang baik dan menciptakan nilai tambah bagi Mitratel yang akan berdampak positif pada penguatan industri telekomunikasi nasional, khususnya sektor menara telekomunikasi,” ujar Theodorus dalam keterangan resmi, 18 Oktober 2020.

Tak pelak setelah itu, banyak analis yang mengait-ngaitkan aksi korporasi tersebut sebagai persiapan Telkom untuk mematangkan rencana IPO Mitratel.

Jika dilihat dari penuturan sejumlah analis, maka Mitratel agaknya tidak kekurangan satu apapun untuk bisa segera go public. Apalagi, langkah ini juga dinilai bakal memberi dampak positif bagi sang induk.

Gedung Merah Putih milik PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. / Telkomsat.co.id
Valuasi Mitratel

CGS-CIMB Sekuritas Indonesia menyebut, IPO Mitratel bisa berdampak pada peningkatan ekuitas Telkom sebanyak 4%-5%. Mitratel bakal menjadi penyumbang sebagian besar pendapatan konsolidasi TLKM pada 2021. Dengan asumsi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Telkom tetap menjadi pemegang saham mayoritas Mitratel.

“Kami percaya bahwa tujuan utama dari IPO Mitratel adalah untuk memaksimalkan valuasi aset menara TLKM dengan TLKM tetap sebagai pemegang saham mayoritas pasca-IPO,” tulis riset CGS-CIMB Sekuritas Indonesia yang diterima TrenAsia.com, Senin 19 Oktober 2020.

Tidak jauh berbeda, UBS Sekuritas Indonesia juga memperkirakan bahwa rencana IPO Mitratel setelah pengambilalihan menara ini juga bakal membuat valuasi TLKM terkerek naik. Dalam kalkulasinya, UBS Sekuritas Indonesia menyebut bahwa akuisisi menara ini bakal menambah harga sewa menara Mitratel menjadi Rp12 juta-Rp13 juta per bulan dengan margin EBITDA 70%-80%.

UBS meyakini, aset menara gabungan ini bakal mencapai US$1,7 juta – US$3,5 juta atau setara Rp25,12 miliar – Rp51,73 miliar (kurs Jisdor Rp14.780 per dolar AS). Nilai IPO atau monetisasinya diyakini bakal tembus ke level US$300 juta – US$1,4 miliar atau setara Rp4,43 triliun – Rp20,69 triliun.

“Kami meyakini setiap potensi perubahan ini bakal membuat investor asing di sektor menara mencari berbagai cara supaya Telkom bisa memonetisasi menaranya,” tulis UBS Sekuritas Indonesia secara terpisah.

Menteri BUMN Erick Thohir dan Wamen BUMN Kartika Widjoatmodjo serta Budi Gunadi Sadikin / Dok. Kementerian BUMN
Pimpin Pasar

Sementara itu Mandiri Sekuritas menilai bahwa aksi korporasi dari Telkom ini bakal kian mempertegas posisi Mitratel sebagai pemimpin pasar di bisnis menara. Aksi ini telah menjadi pembuka jalan bagi Mitratel untuk melakukan inisiatif-inisiatif di masa mendatang, termasuk IPO.

Mitratel, sambung Mandiri Sekuritas, bakal memiliki peran penting dalam pasar menara BTS di Tanah Air. Terlebih, setelah disahkannya Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang punya kecenderungan untuk melenggangkan ekonomi digital di Indonesia. Salah satunya soal upaya pemerintah untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur 5G.

“Dalam kerangka regulasi ini, Mitratel memiliki potensi menjadi penyedia layanan infrastruktur telekomunikasi terbesar dan tercanggih,” jelas Mandiri Sekuritas dalam risetnya.

Rencana IPO Mitratel yang dicetuskan sejak 2021 itu memang sudah diumumkan secara resmi oleh Telkom dan pemerintah. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo yang pertama menyebut rencana IPO anak usaha Telkom.

“Ke depan juga dalam berbagai klaster yang ada kita akan lakukan IPO dan strategic partnership. Seperti contoh di PT Pertamina (Persero). Di Telkom, di menara yaitu di Mitratel itu akan IPO,” ucapnya pada medio September lalu.

Sebagai induk pada perdagangan 19 Oktober 2020, saham TLKM ditutup turun 1,45% sebesar 40 poin ke level Rp2.710 per lembar. Kapitalisasi pasar saham TLKM mencapai Rp268,45 triliun dengan imbal hasil negatif 32,06% dalam setahun terakhir. (SKO)