<p>Pemerintah berencana mencetak ratusan ribu hektare sawah baru di lahan gambut. / Facebook @kementanRI</p>
Nasional

Petani Gurem Terancam, Serikat Protes UU Cipta Kerja

  • UU Cipta Kerja menghapus beberapa ketentuan dalam UU yang sudah lebih dulu ada, yang mana dianggap telah berpihak kepada petani kecil.

Nasional
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR RI mengancam petani sebagai aktor utama pembangunan pertanian di Indonesia.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih mengatakan, UU Cipta Kerja dapat mengabaikan petani yang menjadi tulang punggung sektor pertanian dalam negeri. Terlebih kepada para petani gurem atau skala kecil, dengan rata-rata luas usaha tani kurang dari 0,5 hektare serta petani penggarap.

“Bentuk ancaman tersebut dapat dilihat dari dihapusnya beberapa ketentuan yang selama ini mengutamakan petani Indonesia sebagai produsen utama pangan di Indonesia dan proteksi terhadap impor pangan yang merugikan petani,” ujarnya melalui keterangan resmi, Kamis 8 Oktober 2020.

Ia protes, pasalnya UU Cipta Kerja menghapus beberapa ketentuan dalam UU yang sudah lebih dulu ada, yang mana dianggap telah berpihak kepada petani kecil.

Henry memaparkan, aturan yang dihapus dalam UU Cipta Kerja adalah UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan). Ia menyampaikan beberapa pasal yang ditiadakan didalamnya.

“Pasal 15 ayat (2) dalam UU Perlintan dihapus. Sehingga tidak ada lagi ketentuan yang mewajibkan mengutamakan produksi pertanian dalam negeri,” imbuhnya.

Selain itu, ia bilang Pasal 30 UU Perlintan diubah sehingga tidak ada ketentuan yang melarang impor komoditas pertanian pada saat ketersediaan pangan dalam negeri sudah mencukupi.

Pasal 101 UU Perlintan dihapus sehingga tidak ada sanksi bagi orang/pihak yang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan pangan dalam negeri sudah mencukupi.

UU Pangan

Selanjutnya Henry menyatakan, terdapat perubahan pada UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang juga berpotensi merugikan petani.

“Pasal 1 angka 7 dalam UU Pangan diubah sehingga frasa impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan dihapuskan dan diganti menjadi ‘impor pangan’ saja,” ucap Henry.

Ia menambahkan, Pasal 14 ayat (1) ditambahkan frasa impor pangan dalam UU Cipta Kerja. Hal ini membuat sumber penyediaan pangan dapat berasal dari impor pangan.

Baginya hal tersebut berimplikasi pada ayat (2) di pasal yang sama, di mana ketentuan impor pangan yang sebelumnya diperbolehkan hanya apabila sumber penyediaan pangan (produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional) dihapuskan.

Masih di UU yang sama, kata Henry, Pasal 15 ayat (1) juga mengalami perubahan. UU Cipta Kerja menghapuskan frasa mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan.

Ia menilai kalimat yang tidak berdampak negatif dalam Pasal 39 yang berbunyi pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil diubah dalam UU Cipta Kerja.

“Bunyinya menjadi Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, Peningkatan kesejahteraan petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil,” paparnya.

UU Hortikultura

Lebih lanjut, ia menyoroti UU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Hortikultura. Ia menyebut Pasal 63 UU Hortikultura dihapus UU Cipta Kerja. Sehingga tidak lagi diatur pemasukan dan pengeluaran benih ke dan dari wilayah negara Republik Indonesia wajib mendapatkan izin.

“Hal ini berarti benih komersial dari luar bebas masuk dan beredar di wilayah Republik Indonesia,” sebut Henry.

Di Pasal 92 UU Hortikultura, katanya, juga diubah dengan memasukkan frasa asal impor dalam pasal tersebut. Akibatnya ketentuan yang mengikat penyelenggara pasar dan tempat lain untuk mengutamakan penjualan produk hortikultura lokal tidak berlaku lagi.

“Hal ini dikhawatirkan akan membuat tertindasnya nasib petani dengan tanaman hortikultura di Indonesia. Mengingat data NTP Indonesia pada tahun 2020 menunjukkan NTP subsektor Hortikultura terus menurun,” tukas Henry.

Terakhir yakni Pasal 100 UU Hortikultura disederhanakan. Sehingga menurut dia berpotensi menabrak Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 2140/20/PUU/2014 tentang Uji Materi UU 13/2010 Hortikultura.

Putusan MK tersebut menyebutkan besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30%. Sedangkan, UU Cipta Kerja tidak mencantumkan lagi pembatasan terkait modal asing yang diperbolehkan. Modal asing baru akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Henry menegaskan, SPI akan selalu berada di garda terdepan dalam hal ini. Ketika ada peraturan yang semakin memiskinkan, menyengsarakan, menghilangkan keberlangsungan petani kecil, maka pihaknya akan bertindak.

“Petani tolak UU Cipta Kerja”, pungkasnya. (SKO)