PHRI: Bonus Pekerja di Omnibus Law Bebani Perusahaan
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai kewajiban pemberian bonus bagi karyawan yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja memberatkan pengusaha. Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran menegaskan pemerintah dan DPR seharusnya memperhatikan semua sisi, tidak hanya sektor hulu, tetapi juga hilir dengan memperhatikan aspirasi juga partisipasi publik yang termasuk di dalamnya adalah […]
Industri
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai kewajiban pemberian bonus bagi karyawan yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja memberatkan pengusaha.
Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran menegaskan pemerintah dan DPR seharusnya memperhatikan semua sisi, tidak hanya sektor hulu, tetapi juga hilir dengan memperhatikan aspirasi juga partisipasi publik yang termasuk di dalamnya adalah para pelaku industri saat menetapkan berbagai klausul dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Salah satu yang dinilai akan membebani adalah ketentuan mengenai kewajiban perusahaan memberikan bonus hingga 5 kali upah bagi mereka yang telah bekerja minimal 12 tahun. PHRI menilai kewajiban ini akan memberikan beban operasional perusahaan yang sangat besar. Padahal, situasi bisnis saat ini dan ke depan masih akan sulit.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
“Bonus pekerja yang dinilai sebagai pemanis (sweetener) ini arahnya ke mana? Dalam kondisi sekarang bisnis susah bersaing dan tumbuh di Indonesia karena adanya aturan upah minimum dan sebagainya,” kata Maulana saat dihubungi wartawan di Jakarta, Senin, 1 Juni 2020.
Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, ketentuan mengenai bonus terdapat dalam klaster ketenagakerjaan. DPR dan Pemerintah memang sepakat menunda pembahasan klaster ini. Oleh karenanya, PHRI menyarankan pemerintah dan DPR melakukan berbagai penyesuaian.
Di industri perhotelan, misalnya, komponen upah pekerja bisa mencapai 25% dari total beban perusahaan. Oleh karenanya, kewajiban bonus hingga 5 kali upah akan sangat membebani perusahaan, khususnya di sektor pariwisata. Demikian pula dengan sektor-sektor lain yang bersifat padat karya dengan beban operasional pekerja yang tinggi.
Dia menjelaskan, pada industri pariwisata upah atau gaji bukan tolok ukur utama dalam penghargaan terhadap pekerja. Sebab, mereka memiliki parameter lain seperti insentif pelayanan atau service.
“Hotel yang masih beroperasi itu upahnya hanya upah gaji saja, sementara service-nya bisa dua kali lipat dari gajinya. Di situ kelihatan kalau sektor ini tidak mengutamakan gaji, karena uang service itu tolak ukurnya dari pelayanan. Artinya okupansi tinggi uang service-nya juga tinggi,” katanya lagi. Pada beberapa pelaku usaha, bonus berbasis kinerja ini juga dilakukan guna menjaga performa perlayanan.
PHRI pun meminta pemerintah dan DPR tidak hanya mengambil kebijakan populis, namun lebih mengarahkannya kepada penciptaan daya saing dan investasi. Peningkatan upah/kompensasi yang tinggi dan berlebihan dinilai akan sia-sia karena dapat berpengaruh langsung pada investasi. Sebab, penciptaan lapangan kerja tetap tidak akan terjadi.
Menurut Maulana, jika pemberi kerja masih dibebani dengan kewajiban bonus pekerja, potensi perusahaan merekrut tenaga kerja baru akan berkurang. Biaya ketenagakerjaan pun menjadi tidak kompetitif. Akibatnya, hal ini akan mengurangi minat pemodal untuk berinvestasi di Indonesia.
“Kalau begini daya saing jadi berkurang, dan perusahaan banyak yang tutup. Jadi pemutusan hubungan kerja bisa jadi lebih besar,” katanya. Padahal, saat ini angka pengangguran di Indonesia cukup besar.
Data Badan Pusat Statistik mencatat tingkat pengangguran terbuka per Februari 2020 mencapai 6,88 juta orang atau 4,99% dari total angkatan kerja (usia 15-64 tahun) sebesar 137,91 juta orang.
Angka ini dipastikan akan bertambah seiring merebaknya wabah Coronavirus Disease (COVID-19). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahkan memprediksi akan ada tambahan 4,22 juta orang pengangguran setelah dirumahkan atau terkena PHK karena tempatnya bekerja terimbas wabah COVID-19.
Maulana mengatakan PHRI berharap pemerintah bisa mencari titik tengah dalam kebijakan ini dengan mengutamakan solusi untuk pertumbuhan bisnis, penyerapan tenaga kerja yang maksimal, dan jaminan kesehatan dan sosial bagi pekerja, terutama bagi industri padat karya. Pelaku usaha yang bertahan menjaga angka pegawainya membutuhkan dukungan dari Pemerintah menjalani masa sulit ini bukannya memberikan beban tambahan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dilakukan untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal. Hal ini kemudian direspons positif sejumlah pihak apalagi saat ini Indonesia masih menghadapi krisis akibat penyebaran COVID-19. (SKO)