Pilgub Jakarta Selalu Paling Panas, Tetapi Nasib Orang Betawi Semakin Tersingkir
- Pada tahun 1967, Lance Castles menerbitkan penelitiannya berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” yang menyebutkan bahwa suku Betawi adalah hasil dari percampuran berbagai etnis dan merupakan keturunan dari para budak yang dibawa ke Batavia oleh Belanda. Namun, pada 1990-an, teori ini memicu kontroversi.
Nasional
JAKARTA - Pilkada DKI Jakarta mau tidak mau menyinggung Suku Betawi. Penduduk asli daerah wilayah ini.
Hampir semua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mencoba untuk tampil se-Betawi mungkin untuk meraih dukungan. Pertanyaannya, siapa sebenarnya Suku Betawi?
Suku Betawi, merupakan salah satu kelompok etnis yang menjadi ikon dari Jakarta. Suku Betawi telah mengalami perjalanan panjang dalam sejarah, baik dari sisi asal usulnya maupun dinamika sosial yang mereka hadapi di kota metropolitan ini.
Seiring perkembangan Jakarta menjadi kota global, masyarakat Betawi kerap dianggap semakin terpinggirkan. Nama "Betawi" sendiri berasal dari "Batavia," sebutan yang diberikan Belanda kepada kota ini selama masa kolonial. Dalam perkembangannya, pelafalan setempat mengubah "Batavia" menjadi "Batawi," dan akhirnya menjadi "Betawi."
Meskipun asal-usul nama ini tampak jelas, ada teori lain yang dikemukakan sejarawan asli Betawi, Ridwan Saidi yang menyebutkan. nama Betawi mungkin terinspirasi dari nama tumbuhan, mengikuti pola penamaan wilayah di Jakarta yang sering menggunakan nama flora, seperti Gambir, Bintaro, dan Krukut.
- Harga Minyak Dunia Merosot, ICP Agustus 2024 Dipatok US$78,51 per Barel
- Deviden BUMN Membaik, Tetapi Masih Kalah Jauh Dibanding Swasta
- Menguat Rp5.000, Harga Emas Antam Hari Ini Jadi Segini
Sejarah Betawi Menurut Ridwan Saidi
Ridwan Saidi menyebutkan bahwa masyarakat Betawi terbentuk dari percampuran berbagai etnis yang tinggal di Batavia pada masa kolonial. Berbagai etnis seperti Arab, Tionghoa, Melayu, Jawa, Bali, dan lainnya, berbaur dan membentuk identitas unik yang kini kita kenal sebagai suku Betawi.
Pada tahun 1967, Lance Castles menerbitkan penelitiannya berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” yang menyebutkan bahwa suku Betawi adalah hasil dari percampuran berbagai etnis dan merupakan keturunan dari para budak yang dibawa ke Batavia oleh Belanda.
Namun, pada 1990-an, teori ini memicu kontroversi, terutama di kalangan masyarakat Betawi sendiri. Ridwan Saidi juga menolak teori kontroversial yang menyebut suku Betawi sebagai keturunan budak, sebagaimana yang dikemukakan oleh peneliti Lance Castles, Menurutnya, orang Betawi telah ada sejak 3.500 tahun lalu dan merupakan keturunan rakyat Kerajaan Salakanagara, kerajaan tertua di Nusantara.
Terpinggirnya Masyarakat Betawi
Seiring berkembangnya Jakarta sebagai pusat politik, ekonomi, dan budaya, masyarakat Betawi justru semakin tersisih. Banyak dari mereka yang terpaksa pindah ke daerah pinggiran seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang akibat mahalnya biaya hidup dan semakin sempitnya ruang bagi kehidupan tradisional Betawi di pusat kota.
Populasi suku Betawi di Jakarta terus mengalami penurunan. Menurut Lance Castles, pada tahun 1961, suku Betawi hanya berjumlah 22,9% dari total populasi Jakarta yang kala itu berjumlah 2,9 juta jiwa di era Soekarno, lebih rendah dibandingkan suku Sunda (32,85%) dan suku Jawa (25,4%).
Sayangnya, data resmi terkait komposisi penduduk Jakarta saat ini berdasarkan suku bangsa tidak tersedia secara rinci. Menurut proyeksi BPS dalam dokumen berjudul “Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2023”, jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2023 mencapai sekitar 10,67 juta jiwa, naik sekitar 100 ribu jiwa dibandingkan dengan 2020.
- Harga Minyak Dunia Merosot, ICP Agustus 2024 Dipatok US$78,51 per Barel
- Deviden BUMN Membaik, Tetapi Masih Kalah Jauh Dibanding Swasta
- Menguat Rp5.000, Harga Emas Antam Hari Ini Jadi Segini
Pendidikan dan Kesenjangan Sosial
Selain tersisih secara geografis, masyarakat Betawi juga menghadapi kesenjangan sosial, terutama dalam hal pendidikan. Pada tahun 1930, masih menurut Lance hanya 11,9% masyarakat Betawi yang melek huruf di Batavia, sangat rendah dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya.
Hal ini turut mempengaruhi representasi mereka dalam struktur sosial dan politik di Jakarta. Pada 1955, sekitar 58% elit politik di Jakarta berasal dari suku Jawa. Sementara itu, 29,5% elit politik berasal dari luar Jawa, dan suku Sunda menyumbang 11%. Etnis Tionghoa hanya mencakup 1,5% dari kalangan elit, dan yang mencolok adalah tidak adanya perwakilan dari suku Betawi, meskipun mereka merupakan penduduk asli wilayah Jakarta.
Faktor pendidikan dan tekanan ekonomi membuat suku Betawi sulit bersaing di tengah dinamika kota yang semakin modern. Banyak dari mereka yang tetap bertahan dengan profesi-profesi tradisional seperti petani, nelayan, atau pekerja informal, sementara kesempatan untuk berpartisipasi dalam sektor formal dan profesional menjadi semakin terbatas.
Terpinggirnya masyarakat Betawi bukan hanya sekadar fenomena demografis, tetapi juga masalah sosial yang kompleks. Identitas suku Betawi yang dulunya begitu kuat di pusat kota Jakarta, kini semakin memudar di tengah derasnya arus urbanisasi dan modernisasi.
Meski demikian, tradisi, budaya, dan sejarah Betawi tetap hidup melalui berbagai upaya pelestarian, meski sering kali lebih terlihat di wilayah pinggiran kota.
Tantangan bagi masyarakat Betawi adalah bagaimana mempertahankan identitas mereka di tengah tekanan globalisasi dan modernisasi yang terus bergerak maju.