pilkada 2024.jpeg
Kolom

Pilkada Banten dan Seksisme yang Terus Berulang

  • Seksisme politik, sebagaimana dibahas dalam jurnal "Perempuan dalam Politik" oleh STKIP Muhammadiyah, merupakan fenomena yang merusak kesetaraan gender di ruang publik. Dalam konteks politik, seksisme sering kali muncul dalam bentuk komentar yang meremehkan kapasitas perempuan untuk memimpin, seperti yang terjadi dalam debat Pilgub Banten.

Kolom

Ilyas Maulana Firdaus

JAKARTA — Debat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banten yang diselenggarakan pada 16 Oktober 2024 menarik perhatian publik. Bukan hanya karena topik yang dibahas, tetapi juga karena adanya pernyataan seksis yang dilontarkan salah satu kandidat, Dimyati Natakusumah. 

Saat berhadapan dengan lawannya, Airin Rachmi Diany, Dimyati menyatakan bahwa perempuan tidak seharusnya memegang posisi gubernur karena perempuan, menurutnya, sebaiknya dilindungi dan tidak diberi tanggung jawab berat. 

Seksisme politik, sebagaimana dibahas dalam jurnal "Perempuan dalam Politik" oleh STKIP Muhammadiyah, merupakan fenomena yang merusak kesetaraan gender di ruang publik. Dalam konteks politik, seksisme sering kali muncul dalam bentuk komentar yang meremehkan kapasitas perempuan untuk memimpin, seperti yang terjadi dalam debat Pilgub Banten. 

Pernyataan Dimyati menunjukkan bias yang kuat terhadap perempuan dalam politik, di mana peran kepemimpinan masih sering dianggap sebagai domain laki-laki. Hal ini memperkuat temuan dalam jurnal tersebut, yang menunjukkan bahwa perempuan di politik sering kali harus menghadapi tantangan lebih besar dibandingkan laki-laki, termasuk stereotip gender yang merugikan.

Dalam debat ini, Dimyati menyatakan, "Wanita itu seharusnya mendapatkan perhatian karena memang wanita itu spesial, maka dari itu kita harus melindungi wanita. Makanya wanita jangan dikasih beban yang berat apalagi itu gubernur." 

Pernyataan ini mencerminkan pandangan tradisional bahwa perempuan harus berada di bawah perlindungan laki-laki dan tidak cocok untuk memegang peran yang membutuhkan pengambilan keputusan besar. Pandangan ini berbahaya dalam politik karena menghambat perempuan untuk maju dan mengambil peran kepemimpinan yang signifikan, seperti diuraikan dalam jurnal.

Seksisme dalam politik tidak hanya berdampak pada kandidat perempuan, tetapi juga pada proses demokrasi itu sendiri. Ketika perdebatan politik teralih dari isu-isu substantif seperti kebijakan dan program pembangunan, dan malah berfokus pada aspek gender, maka kualitas demokrasi ikut tergerus. 

Publik kehilangan kesempatan untuk benar-benar menilai kompetensi kandidat berdasarkan program kerja mereka, karena debat sudah didominasi oleh pernyataan yang tidak relevan terkait gender. Ini memperburuk ketimpangan gender yang ada dan menghambat perempuan dalam mencapai posisi tinggi di pemerintahan.

Lebih jauh lagi, jurnal "Perempuan dalam Politik" juga membahas bagaimana perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi yang kurang menguntungkan di arena politik, baik karena persepsi publik yang meremehkan mereka maupun hambatan struktural dalam sistem politik itu sendiri. Banyak perempuan politikus yang harus bekerja lebih keras untuk membuktikan bahwa mereka layak dibandingkan dengan laki-laki, meskipun sebenarnya mereka memiliki kompetensi yang setara atau bahkan lebih baik. 

Seksisme dalam politik bukan hanya permasalahan di tingkat lokal, tetapi juga global. Di banyak negara, perempuan yang terlibat dalam politik menghadapi serangan seksis yang mencoba menghalangi mereka dari posisi kepemimpinan. Hillary Clinton, selama kampanye presiden AS 2016, misalnya, menjadi target serangan seksis yang meremehkan kemampuannya sebagai calon presiden hanya karena dia seorang perempuan. 

Seksisme semacam ini menciptakan hambatan psikologis dan sosial bagi perempuan, dan dalam jangka panjang dapat mengurangi keterlibatan perempuan dalam politik. Pernyataan seksis yang muncul dalam debat Pilgub Banten juga mencerminkan kurangnya pemahaman tentang pentingnya kesetaraan gender dalam politik. 

Tanpa partisipasi aktif perempuan dalam politik, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi setengah dari populasi. Hal ini telah dijelaskan dalam jurnal yang sama, di mana peran perempuan dalam politik tidak hanya memperkaya diskusi kebijakan, tetapi juga meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dengan perspektif yang lebih inklusif.

Insiden ini menyoroti perlunya edukasi dan regulasi yang lebih tegas untuk mencegah seksisme dalam politik. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memberikan perhatian lebih pada etika dalam kampanye dan debat politik. 

Selain itu, partai politik juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik para calon mereka mengenai pentingnya menjaga etika, menghargai kesetaraan gender, dan memastikan bahwa perdebatan politik tetap fokus pada substansi kebijakan yang relevan.