Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Pinjol alias Fintech P2P Lending Ramai Gulung Tikar, Ini Penjelasan AFPI

  • Jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia kian susut dari posisi terbanyaknya sejumlah 164 perusahaan, sekarang hanya tinggal 104.

Fintech

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Jumlah penyelenggara pinjaman online (pinjol) fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia yang terdaftar dan berizin kian susut dari posisi terbanyaknya sejumlah 164 perusahaan menjadi tersisa 104 saat ini.

Di satu sisi, industri P2P lending Tanah Air terus menunjukkan tren yang positif. Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah menjelaskan, bergugurannya penyelenggara P2P umumnya disebabkan oleh regulasi.

“Tahun lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencangkan suatu yang namnaya orientsasi kualitas dari penyelenggara P2P lending. Perusahaan ditargetkan untuk siap secara dokumen dan persyaratan perizinan. Nah, ada yang siap ada yang tidak,” terang Kus dalam konferensi pers KlikA2C, Selasa 24 November 2021.

Selain gugur secara administratif, ternyata ada pula penyelenggara P2P yang dengan sukarela mundur dari industri. Selain itu, faktornya adalah dicabut tanda daftarnya oleh OJK karena terdapat pelanggaran.

Adapun penyelenggara P2P yang tak lolos di seleksi adiministrasi, lanjut Kus, OJK menyarankan perusahaan untuk mengembalikan tanda pendaftaran terlebih dahulu. Nanti, ketika moratorium sudah dicabut, maka perusahaan bisa mengajukan kembali. 

“Itu yang paling banyak kategori yang ketiga. Banyak penyelenggara yang dalam proses administrasinya sudah lebih waktu,” tambah Kus.

Meski berkurang menjadi 104 penyelenggara, Kus mengatakan industri tak merisaukan seberapa jumlah pemain yang ada. Justru, AFPI melihat lebih baik jumlahnya tak banyak tetapi semua sudah berstatus berizin.

Saat ini, dari 104 yang terdaftar, masih ada 3 perusahaan yang berstatus terdaftar. Ia berharap, ketiga perusahaan bisa mendapatkan kepastian perizinan dari OJK akhir tahun ini.

“Kita membutuhkan kategori penyelenggara P2P lending itu kalau bisa satu saja, yang berizin saja. Jadi kita di masyarakat tinggal bilang berizin tidak berizin. Kalau sekarang kan ada status berizin, terdaftar, ilegal. Apa bedanya ilegal dengan terdaftar, terdaftar dan berizin? Itu cukup membingungkan.”

Kategori berizin dan tidak berizin dinilai lebih sederhana untuk edukasi dan juga sebagai upaya pemberantasan pinjaman online (pinjol) ilegal. Untuk itu, AFPI bersama industri mendorong adanya regulasi melalui Undang-Undang yang mengatur ketentuan perizinan penyelenggara P2P lending.

“Kalau bisa dimasukkan satu pasal yang menyatakan hanya fintech yang berizin OJK yang boleh menjalankan usaha pinjam meminjam online. Kalau tidak ada tindah pidana dengan hukuman penjara dan seterusnya,” ujar Kus.