Ilustrasi fintech pinjaman online (pinjol) atau kredit online alias peer to peer (P2P) lending ilegal harus diwaspadai. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Pinjol Ilegal Makin Marak, OJK Sentil Perusahaan Telekomunikasi dan Perbankan

  • Dalam kurun 2007-2022, potensi kerugian akibat pinjol ilegal mencapai Rp138 triliun.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau industri telekomunikasi (telko) dan perbankan untuk turut andil dalam memberantas pinjaman online (pinjol) ilegal yang masih meresahkan hingga kini.

Imbauan tersebut disampaikan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi.

Mantan aktris yang akrab dipanggil Kiki ini mengatakan, dalam penyelenggaraan platform pinjol, ada tiga entitas yang saling bertautan satu sama lain. Ketiga entitas tersebut adalah aplikasi, rekening, dan nomor telepon.

Selain merancang aplikasi, penyelenggara pinjol ilegal membutuhkan rekening untuk menampung dana dari para korbannya dan nomor telepon yang digunakan untuk menyebarluaskan tawaran pinjaman atau menghubungi debitur yang menunggak.

Dikatakan oleh Kiki, dalam pemberantasan pinjol ilegal ini, industri telekomunikasi diharapkan dapat membantu untuk melakukan pelacakan terhadap nomor-nomor yang berkaitan dengan penyelenggara pinjol ilegal.

Selain itu, Kiki pun mengharapkan industri perbankan dapat memperkuat aspek know your customer (KYC) untuk mengantisipasi pengguna pinjol yang membuat rekening untuk menampung dana nasabah yang menjadi korban.

"Di pinjol itu kan selalu ada aplikasi, telepon selular, dan nomor rekening. Itu rasanya kita harus keroyok bareng-bareng," ujar Kiki dalam webinar Melawan Kejahatan Keuangan Berbasis Digital yang diselenggarakan secara virtual, Senin, 21 Agustus 2023.

Disampaikan oleh Kiki, saat ini ada Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal yang menggantikan Satgas Waspada Investasi dalam penanganan jasa-jasa keuangan tidak resmi yang berpotensi merugikan.

Di dalam Satgas tersebut, turut andil beberapa lembaga dan kementerian seperti Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), OJK, Polri, dan lain-lain.

Akan tetapi, untuk pemberantasan pinjol ilegal ini, industri telekomunikasi dan perbankan pun dirasa perlu untuk turun tangan.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie mengatakan, sebelumnya pihak industri telekomunikasi sudah membantu Kominfo dalam mengantisipasi judi online.

Adapun antisipasi yang dilakukan adalah dengan melakukan pemblokiran terhadap nomor-nomor yang berafiliasi dengan kegiatan judi online.

Dengan demikian, pelaku judi online pun terpaksa harus menggunakan nomor telepon dari negara asing untuk mempromosikan kegiatannya, dan masyarakat pun bisa membedakan mana platform yang resmi bernaung di bawah pemerintah dengan cara melihat nomornya.

Menurut Budi, hal tersebut tampaknya bisa juga diterapkan kepada pinjol ilegal sehingga masyarakat bisa membedakan mana nomor telepon yang berafiliasi dengan pinjol ilegal atau bukan dengan melihat kode domisili telepon pelaku.

"Yang satu judi sudah beres, sekarang untuk pinjol. Nanti provider telekomunikasi kita minta supaya pinjol ini tidak bisa pakai nomor lagi," ujar Budi dalam kesempatan yang sama.

Potensi Kerugian Akibat Pinjol Ilegal Capai Rp138 Triliun

Kiki menyebutkan, dalam kurun 2007-2022, potensi kerugian akibat pinjol ilegal mencapai Rp138 triliun. Besarnya potensi kerugian tersebut tentunya dilatarbelakangi oleh jumlah penyedianya yang terus menjamur.

Bahkan, walaupun SWI sudah melakukan pemblokiran terhadap platform-platformnya, pinjol ilegal ini kerap bermunculan. Bahkan, penyelenggara yang platformnya sudah diblokir pun masih bisa terus muncul dengan nama yang baru.

Menurut Kiki, pinjol ini masih terus menjamur karena pembuatan aplikasinya sendiri terbilang cukup mudah. Ditambah lagi pelaku bisa menggunakan server luar negeri untuk bersembunyi dari radar SWI.

Tidak hanya itu, tingkat literasi keuangan masyarakat yang terbilang masih rendah pun menjadi faktor yang menjadi alasan masih banyaknya pinjol ilegal karena potensi keuntungan yang diraup oleh pelaku dari bisnis ini menjadi sangat besar.

Selain literasi keuangan, Kiki pun menyebutkan kecenderungan casino mentality yang mendorong orang-orang untuk ingin mendapatkan uang banyak dengan cara instan tanpa memperhitungkan risikonya.

Literasi keuangan masyarakat Indonesia saat ini berada di level 49,6%, dan dengan literasi keuangan yang belum terinklusi secara menyeluruh ini, sebagian besar masyarakat pun masih belum bisa membedakan dengan tepat platform yang ilegal dan legal.

Dalam kesempatan yang sama, Karo Wassidik Bareskrim Polri Brigjen Pol Irwan Kurniawan menyebutkan bahwa pinjol ini sangat marak karena jumlahnya sendiri yang sangat banyak.

Oleh karena itulah Irwan mengatakan bahwa pihak kepolisian akan menambah jumlah divisi khusus untuk penanganan kejahatan siber yang saat ini jumlahnya masih kurang untuk mengantisipasi pinjol yang jumlahnya sangat banyak.

"Nanti di setiap Polda akan ada divisi penanganan sibernya, mereka inilah yang nantinya akan menangani kejahatan siber," kata Irwan.

Irwan juga menyebutkan bahwa kasus pinjol ini bisa dikatakan sebagai permasalahan yang sifatnya transnasional.

Pasalnya, walaupun kasus penipuan pinjol ilegalnya terjadi di dalam negeri, namun arus dana yang keluar masuk itu terjadi secara lintas negara.

"Ini lebih banyak di dalam negeri, tapi kita melihat penyaluran dananya ini dari luar negara, jadi ini kasus transnasional," papar Irwan.