
Pisau Bermata Dua Fintech Lending: Kredit Macet Menggunung, Keuntungan Kian Tambun
- Per Desember 2024, terdapat 22 dari keseluruhan 97 penyelenggara yang mencatat rasio TWP90 di atas 5%, naik satu entitas dibandingkan November 2024. Dengan kata lain, 22% penyelenggara fintech lending saat ini mengalami permasalahan kredit macet di atas 5%.
Fintech
JAKARTA - Industri fintech lending di Indonesia terus mencatatkan pertumbuhan yang positif dari segi laba maupun penyaluran pinjaman. Namun, pertumbuhan tersebut dibarengi pula dengan permasalahan kredit macet, yang mana menurut data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 22% dari penyelenggara industri ini bermasalah dengan kredit macet yang angkanya berada di atas 5%.
Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, mengungkapkan bahwa di akhir 2024, laba setelah pajak industri fintech lending atau Pindar mencapai Rp1,65 triliun.
Agusman mengatakan pula bahwa tren pertumbuhan industri ini diperkirakan berlanjut di 2025 meskipun masih dibayangi ketidakpastian ekonomi.
“Berdasarkan proyeksi Rencana Bisnis Penyelenggara Pindar yang disampaikan kepada OJK, industri ini masih akan mencetak laba pada 2025,” ujar Agusman melalui jawaban tertulis, dikutip Rabu, 19 Februari 2025.
- Extra Joss Ultimate Hadir Dukung Konser Green Day Living Legend
- IIMS 2025 Kembali Hadir Dongkrak Pasar Otomotif Indonesia
- Disebut Berperan di Program Ketahanan Pangan, Inilah Perkembangan Asuransi Parametrik di Indonesia
Outstanding Pembiayaan Naik 29,14%
Fintech lending juga menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam penyaluran pembiayaan. Per Desember 2024, outstanding pembiayaan tercatat sebesar Rp77,02 triliun, tumbuh 29,14% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka ini lebih tinggi dibandingkan November 2024 yang mencatat pertumbuhan 27,32% yoy.
Meski penyaluran kredit meningkat, tingkat risiko kredit macet (TWP90) industri secara keseluruhan masih bisa menjaga tingkat risiko kredit macet di angka 2,60%, sedikit naik dari posisi November 2024 sebesar 2,52%.
Jumlah Fintech dengan Kredit Macet di Atas 5% Meningkat
Di tengah pertumbuhan industri, jumlah penyelenggara fintech lending yang memiliki tingkat kredit macet (TWP90) di atas 5% juga bertambah.
Per Desember 2024, terdapat 22 dari keseluruhan 97 penyelenggara yang mencatat rasio TWP90 di atas 5%, naik satu entitas dibandingkan November 2024. Dengan kata lain, 22% penyelenggara fintech lending saat ini mengalami permasalahan kredit macet di atas 5%.
Menurut Agusman, beberapa faktor utama yang mempengaruhi rasio TWP90 adalah kualitas credit scoring borrower dan efektivitas proses collection yang dilakukan oleh penyelenggara.
“OJK terus melakukan monitoring kualitas pendanaan industri Pindar untuk memastikan tingkat risiko tetap terkendali,” tambahnya.
Baca Juga: Pertumbuhan Kredit vs Risiko: Perbandingan Bank, Fintech, dan Multifinance
Kelompok Usia 19-34 Tahun Mendominasi Kredit Macet
Data terbaru menunjukkan bahwa pendanaan bermasalah di industri fintech lending per Desember 2024 mencapai Rp2,01 triliun. Dari jumlah tersebut, 74,74% berasal dari borrower individu, dengan kelompok usia 19-34 tahun mendominasi sebesar 52,01%, disusul oleh kelompok usia 35-54 tahun sebesar 41,49%.
Agusman menjelaskan bahwa kredit macet di kalangan borrower individu bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kemampuan bayar yang rendah dan kurangnya pemahaman mengenai manajemen keuangan.
Asuransi Kredit dalam Fintech Lending, Solusi atau Risiko Moral Hazard?
Dalam POJK Nomor 40/2024 tentang fintech lending, terdapat ketentuan mengenai fasilitas asuransi kredit. Namun, masih diperlukan aturan turunan yang lebih rinci mengenai mekanisme penggunaan asuransi kredit, termasuk kemungkinan pembentukan konsorsium atau skema risk sharing.
Menurut Agusman, regulasi terkait asuransi kredit telah diatur dalam POJK No.20 Tahun 2023, yang mengatur seleksi risiko (underwriting) secara hati-hati agar sesuai dengan praktik asuransi umum.
“Produk asuransi khusus untuk Pindar masih dalam tahap pendalaman dengan AAUI dan AFPI. OJK terus mendorong komunikasi antara asosiasi tersebut untuk menemukan solusi terbaik,” jelasnya.
Namun, penggunaan asuransi dalam fintech lending juga menimbulkan kekhawatiran terkait moral hazard. Borrower mungkin merasa terlindungi oleh asuransi sehingga kurang bertanggung jawab dalam memenuhi kewajibannya.
- Kinerja Antam (ANTM) 2025-2026 Diramal Positif, Target Saham Naik
- LK21- Layarkaca21 Ilegal, Berikut 7 Situs Nonton Drama Korea yang Legal
- OJK Beberkan Update Perburuan Mantan CEO Investree dan Fraud KoinWorks
Porsi Penyaluran ke Sektor Produktif Masih di Angka 30%
Salah satu tantangan industri fintech lending adalah meningkatkan porsi penyaluran ke sektor produktif. Pada Desember 2024, porsi pembiayaan ke sektor produktif tercatat sebesar 30,19% dari total pendanaan, angka yang tidak jauh berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya.
Padahal, sesuai dengan roadmap OJK untuk periode 2025-2026, porsi pembiayaan ke sektor produktif ditargetkan mencapai 40-50%. Untuk mencapai target tersebut, OJK akan menerapkan berbagai strategi, di antaranya:
- Mendukung relaksasi batas maksimum pembiayaan melalui regulasi,
- Mendorong sinergi untuk meningkatkan pembiayaan ke luar Jawa, dan
- Memperluas jalur distribusi pendanaan ke sektor produktif dan UMKM.
Dengan berbagai langkah yang ditempuh, industri fintech lending diharapkan dapat terus berkembang dengan lebih seimbang, mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus menjaga risiko kredit agar tetap terkendali.