Aktivitas para pekerja sebuah pabrik furnitur di kawasan Batu Ceper Kota Tangerang. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Industri

PMI Manufaktur Indonesia September 53,7 Lampaui Raksasa Ekonomi China hingga Jepang

  • Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia September 2022 menempati posisi 53,7 atau naik dari bulan sebelumnya 51,7.
Industri
Laila Ramdhini

Laila Ramdhini

Author

JAKARTA - S&P Global melaporkan Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia September 2022 menempati posisi 53,7 atau naik dari bulan sebelumnya 51,7.

Hasil survei S&P Global menunjukkan bahwa tingkat PMI Manufaktur Indonesia di periode ini merupakan yang paling ekspansif dalam 8 bulan dan solid secara keseluruhan.

Di tingkat ASEAN, Indonesia juga menunjukkan perbaikan PMI Manufaktur yang paling kuat, seiring dengan kondisi manufaktur yang membaik di seluruh wilayah regional tersebut.

Dari catatan Kementerian Perindustrian, PMI Manufaktur Indonesia pada September 2022 melampaui angka PMI Manufaktur dunia (50,3), ASEAN (53,5), Malaysia (49,1), Vietnam (52,5), dan Filipina (52,9). 

PMI Manufaktur Indonesia bahkan lebih tinggi dari raksasa ekonomi dunia yakni China (48,1), Jepang (50,8), dan Korea Selatan (47,6).

“PMI Manufaktur Indonesia yang kembali meningkat di bulan September menunjukkan kinerja sektor industri yang semakin membaik dan menunjukkan perkembangan yang stabil. Dalam hal ini, aktivitas produksi berperan penting terhadap naiknya indeks, yang didukung oleh peningkatan permintaan, terutama dari dalam negeri,” jelas Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Senin, 3 Oktober 2022.

Agus menyebutkan peningkatan produksi dapat dilihat pada industri elektronika, industri bahan galian non-logam, serta industri mesin dan perlengkapan YTDL. Di industri elektronika, kenaikan terutama terjadi pada produksi produk laptop untuk memenuhi permintaan realisasi belanja pemerintah dan pemerintah pusat yang mewajibkan pembelian Produk Dalam Negeri (PDN).

Selanjutnya, kenaikan produksi industri bahan galian non-logam yang meliputi produk semen, keramik, dan kaca dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah, serta properti oleh para pengembang. 

“Selain itu, juga terdapat belanja pemerintah yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk bantuan sosial,” jelas Agus.

S&P Global melihat adanya penurunan permintaan asing pada perusahaan-perusahaan Indonesia yang disurvei. Terkait hal itu, Agus  berpendapat, penurunan ekspor terjadi karena negara-negara tujuan seperti China, Amerika Serikat, maupun negara-negara Eropa mengalami inflasi yang mengakibatkan tekanan terhadap ekspor beberapa produk manufaktur Indonesia. 

Meskipun demikian, ekspor CPO dari Indonesia sudah kembali normal setelah sebelumnya belum optimal.

Meningkatnya permintaan pada September 2022 juga mendukung pertumbuhan indeks-indeks lain, seperti ketenagakerjaan dan aktivitas pembelian. Kondisi ini juga terbantu oleh menurunnya inflasi serta biaya output. Ekonom S&P Global Market Intelligence Laura Denman mengatakan, inflasi biaya input dan harga jual berkurang masing-masing hingga di posisi terendah dalam 20 bulan dan 15 bulan.