PMN BUMN Krakatau Steel Lewat MCB Rp3 triliun, Saham Publik Bakal Terdilusi
Konversi obligasi menjadi saham, maka akan ada potensi saham publik bakal terdilusi. Maka jika dana MCB ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh perseroan, maka investorpun akan merugi.
Industri
JAKARTA – Emiten pelat merah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk hingga saat ini masih menunggu kucuran dana talangan dari pemerintah untuk penguatan perusahaan. Emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini dipastikan bakal mendapat dana talangan senilai Rp3 triliun untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengungkapkan, dana ini akan dikucurkan lewat skema skema mandatory convertible bond (MCB) atau obligasi wajib konversi (OWK). Jangka waktu untuk konversi ini diperkirakan hingga 2027 atau tujuh tahun ke depan.
Menurut dia, segala strategi dan ketentuan yang berlaku atas dana talangan itu sudah dipersiapkan oleh pihak perseroan, sehingga tidak akan menganggu rasio utang. Manajemen emiten bersandi saham KRAS itu juga tidak keberatan dengan mekanisme penyertaan modal negara (PMN), baik melalui rights issue maupun skema pinjaman.
“Nanti ‘kan masih tujuh tahun lagi. Ada skenarionya. Jadi tidak menambah DER (debt to equity ratio),” tutur Silmy Karim saat berbincang di Kantor Redaksi TrenAsia.com, Jakarta Selatan, Rabu 23 September 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Berdasarkan laporan keuangan perseroan semester I-2020, sebetulnya rasio utang KRAS sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Per Juni 2020, DER perseroan sudah menyentuh level 4,37 kali. Angka ini didapat dari hasil pembagian total utang KRAS yang hanya tersisa Rp6,74 triliun dan total utang Rp29,46 triliun.
Saham Publik Terdilusi
Analis PT Binaartha Sekuritas Nafan Aji menyebut, skema MCB ini sejatinya merupakan salah satu pembiayaan utang yang cukup murah bagi perusahaan. Perseroan, kata dia, tidak perlu dibebani biaya bunga dan bisa fokus pada peningkatan kinerja.
Hanya saja, aksi tersebut bakal memengaruhi porsi kepemilikan saham publik dalam perseroan. Sebab, dengan konversi obligasi menjadi saham, maka akan ada potensi saham publik bakal terdilusi. Maka jika dana MCB ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh perseroan, maka investorpun akan merugi.
“Kalau dilusi pasti ya. Kalau kinerjanya enggak bagus, harga sahamnya akan jadi sangat volatile,” tutur Nafan saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis 24 September 2020.
Dampak dari MCB bisa bertambah parah jika manajemen utang perseroan tidak baik, dan malah makin membebani perusahaan. Faktor good corporate governance (GCG) penting untuk diperhatikan para investor saat perseroan melakukan aksi MCB.
Sebaliknya, jika hasil dari MCB ini bisa membantu kinerja perusahaan, maka dampak yang diterima investor juga akan baik. Harga saham akan tumbuh seiring membaiknya kinerja perseroan.
“Sehingga menguntungkan investor. Karena kalau bisa meningkatkan kinerja, maka akan membuat harga sahamnya bagus,” kata dia.
Hingga 30 Juni 2020, saham KRAS dimiliki oleh Pemerintah RI 80% dan publik 20%. Sedangkan, manajemen KRAS memiliki saham di bawah 1%.
Pada perdagangan Kamis, 24 September 2020, saham KRAS ditutup merosot 3,38% sebesar 10 poin ke level Rp286 per lembar. Kapitalisasi pasar saham KRAS mencapai Rp5,53 triliun dengan imbal hasil negatif 15,88% dalam setahun terakhir. (SKO)