<p>Karyawan melayani nasabah di kantor cabang Bank Syariah Indonesia (BRIS) Jakarta Hasanudin, Jakarta, Rabu, 17 Februari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Perbankan

Polemik BSI-Muhammadiyah Bisa Rugikan UMKM dan Rakyat

  • Banyak spekulasi berkembang mengenai penyebab perselisihan ini. Namun, introspeksi diri dari masing-masing pihak menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik ini.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Polemik antara PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI/BRIS) dan Muhammadiyah tengah menjadi perhatian publik.  Banyak spekulasi berkembang mengenai penyebab perselisihan ini. Namun, introspeksi diri dari masing-masing pihak menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik ini. 

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), dr. Ali Mahsun ATMO M Biomed, di Jakarta pada Kamis, 27 Juni 2024.

Ali yang juga menjabat sebagai Ketua Umum APKLI Perjuangan, menekankan pentingnya seluruh elemen bangsa untuk bersatu dalam menghadapi kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini sedang tidak baik-baik saja. 

Menurutnya, omzet ekonomi rakyat yang didominasi oleh pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengalami penurunan akibat daya beli masyarakat yang terus merosot karena beban hidup yang semakin berat. 

Ali menegaskan bahwa jika polemik antara BSI dan Muhammadiyah tidak segera diselesaikan, kedua belah pihak akan merugi. 

“Ada sekitar 40 juta kelas menengah terancam jatuh miskin. Untuk atasi kondisi ini pemerintah tidak bisa sendirian. Niscayakan kebersamaan dan gandeng tangan para pemangku kepentingan. Tidak terkecuali dunia perbankan dan ormas keagamaan. Sekali lagi, semakin diperpanjang polemik antara BSI dan Muhammadiyah maka keduanya terimbas kerugian, ujung dan akhirnya menambah beban kondisi ekonomi Indonesia,” tutur Ali melalui pernyataan yang diterima TrenAsia, Jumat, 28 Juni 2024.

Ali mengatakan, pada akhirnya, kondisi ekonomi Indonesia yang akan semakin terpuruk. Muhammadiyah, yang memiliki sekitar 60 juta anggota, sebagian besar merupakan pelaku UMKM. Sementara itu, BSI adalah bank milik pemerintah yang juga bisa disebut sebagai milik rakyat Indonesia. 

Ketika konflik di antara keduanya berlarut-larut, pelaku ekonomi rakyat UMKM yang akan menjadi korban utama.

“Ketika polemik diantara keduanya tidak segera di akhiri maka pelaku ekonomi rakyat UMKM yang akan jadi korban, pungkas mantan Ketua Umum Bakornas LKMI PBHMI dan Dewan Pembina IPNU yang juga Presiden Kawulo Alit Indonesia,” pungkas Ali.

Respons OJK Soal Isu Konflik BSI dan Muhammadiyah

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengutarakan pendapatnya mengenai isu atau spekulasi dugaan konflik antara Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah di PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI/BRIS) yang menyebabkan adanya penarikan dana dalam jumlah besar.

Dian mengatakan, penarikan dana amal usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah dari BSI adalah hal yang sifatnya normatif dan merupakan fenomena yang biasa, yang penting bank yang bersangkutan masih memiliki kapasitas untuk memenuhi kecukupan aset. 

“Jadi, kalau ada orang yang misalnya menyimpan Rp10 triliun, maka banknya harus siap-siap ketika suatu waktu dana itu ditarik sehingga tentu manajemen likuiditas, manajemen risiko harus tetap dipertahankan, dan kalau kita melihat sejauh ini BSI ini kan masih sangat likuid dan tidak ada isu yang perlu dikhawatirkan terkait dengan dengan masalah penarikan dana ini,” ujar Dian dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) yang diselenggarakan secara virtual beberapa waktu lalu. 

Kemudian, terkait dengan isu yang bermunculan mengenai dugaan adanya konflik antara BSI dan nasabah yang bersangkutan, Dian menegaskan bahwa hal tersebut berada di luar konteks peran OJK. 

“Saya kira ini di luar konteks kita, tentu itu adalah tugas manajemen (apabila ada konflik yang terjadi), dan saya kira itu tugas pemegang saham pengendali (PSP) untuk melakukan profiling dan juga melakukan semacam komunikasi yang lebih baik dan lebih intens yang sebetulnya ini hal biasa saja yang haris dilakukan oleh semua bank terhadap nasabahnya sehingga memang kalau ini dianggap ada misunderstanding dan lain sebagainya itu saya kira ini perlu diselesaikan,” papar Dian. 

Dian menegaskan bahwa OJK mendorong kepada industri perbankan, baik syariah maupun konvensional, untuk bisa mengatasi persoalan yang terjadi dengan masalah munculnya berbagai persepsi liar terkait dengan penarikan dana ini untuk kemudian bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya. 

Selanjutnya, untuk alasan khusus di balik penarikan dana tersebut, Dian menyebutkan bahwa hanya kedua belah pihak yang bisa mengklarifikasi. 

Dampak kepada Persaingan di Perbankan Syariah

Dalam kesempatan yang sama, Dian menjelaskan bahwa penarikan dana ini di satu sisi bisa berdampak kepada tingkat persaingan di ekosistem perbankan syariah. 

Ia menyebutkan, sudah menjadi amanat dari Peraturan OJK (POJK) yang diadaptasi dari Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) untuk mengembangkan dan mengakselerasi perbankan syariah di dalam negeri. 

Salah satu upaya yang dilakukan adalah menetapkan kewajiban pemisahan atau spin off perbankan syariah, yang dilatarbelakangi oleh tujuan untuk menyamakan level playing field. 

“Kita ingin melihat ada dua atau tiga lagi bank syariah yang ukurannya cukup besar yang paling tidak comparable dengan BSI dan ini juga untuk memastikan bahwa tidak ada satu misalnya bank syariah yang terlalu dominan sehingga ini mungkin bisa mengganggu persaingan yang sehat,” kata Dian. 

Dengan demikian, penarikan dana secara besar-besaran yang dilakukan BSI, yang diungkapkan juga oleh PP Muhammadiyah sebagai upaya untuk menciptakan persaingan yang sehat dan meningkatkan daya kompetisi dari bank-bank syariah yang lain, merupakan suatu hal yang bisa dicermati sebagai nilai positif dari perspektif tertentu. 

“Tetapi saya ingin meyakinkan pada masyarakat, tentu saja kepada nasabah maupun juga pihak terkait lainnya, bahwa tidak ada isu sama sekali yang terkait dengan masalah BSI,” tukas Dian. 

Baca Juga: Saham Bank BSI (BRIS) Terjun Bebas, Efek Muhammadiyah Tarik Dana?

Alasan Muhammadiyah Soal Penarikan Dana dari BSI

 Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas sebelumnya telah mengungkapkan alasan pihaknya menarik dana Rp13 triliun dari BSI. Anwar mengatakan, Muhammadiyah memiliki komitmen yang tinggi untuk  mendukung perbankan syariah. 

Maka dari itulah Muhammadiyah terus melakukan upaya rasionalisasi dan konsolidasi terhadap masalah keuangannya agar bisa  berkontribusi bagi terciptanya persaingan yang sehat di antara perbankan syariah yang ada, terutama ketika dunia perbankan syariah tersebut berhubungan dengan Muhammdiyah. 

Untuk itu, Anwar mengatakan bahwa Muhammadiyah merasa perlu menata banyak hal tentang masalah keuangannya,  termasuk dalam hal yang terkait dengan dunia perbankan terutama menyangkut tentang penempatan dana dan juga  pembiayaan yg diterimanya. 

“Fakta yang ada menunjukkan bahwa penempatan dana Muhammdiyah terlalu banyak berada  di BSI, sehingga secara bisnis dapat menimbulkan resiko konsentrasi (concentration risk),  sementara di bank-bank syariah lain  masih sedikit sehingga bank-bank syariah lain tersebut tidak bisa berkompetisi dengan margin yang ditawarkan oleh BSI baik dalam hal yang berhubungan dengan penempatan dana maupun pembiayaan,” ujar Anwar melalui jawaban tertulis kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Anwar pun menegaskan, apabila kondisi yang disebutkannya itu terus terus berlangsung, maka persaingan di antara perbankan syariah yang ada tidak akan sehat.

Pernyataan BSI Terkait Penarikan Dana

Terkait dengan penarikan dana sebesar Rp13 triliun ini, Corporate Secretary BSI, Wisnu Sunandar, menyatakan bahwa BSI terus berusaha menjadi lembaga perbankan yang melayani seluruh lapisan masyarakat, baik institusi maupun individu.

Wisny menyatakan bahwa BSI tetap berkomitmen untuk melayani dan mengembangkan ekonomi umat melalui kolaborasi strategis dengan berbagai mitra dan stakeholder walaupun ada pengalihan dana yang ditempuh oleh Muhammdiyah.

“Kami berupaya menjadi bank yang modern serta inklusif dalam memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip syariah,” ujar Wisnu melalui keterangan yang diterima wartawan beberapa waktu lalu.

Pernyataan ini merupakan tanggapan dari BSI terhadap keputusan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang memutuskan untuk mengalihkan dananya dan menginstruksikan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) untuk melakukan hal yang sama dengan memindahkan dana mereka dari BSI.

Wisnu pun menyatakan bahwa BSI senantiasa berkomitmen memenuhi ekspektasi semua pemangku kepentingan dengan menerapkan prinsip keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan sesuai syariat Islam. 

“BSI akan terus berusaha memberikan pelayanan terbaik dan berkontribusi dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia,” tegas Wisnu. 

Isu yang Berkembang

Sejak penarikan dana Muhammadiyah dari BSI, timbul kabar burung bahwa penarikan tersebut diduga bermula dari polemik terkait kursi komisaris. 

Awalnya, BSI meminta rekomendasi nama dari Muhammadiyah untuk diusulkan sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Komisaris di BSI. 

Muhammadiyah mengajukan Jaih Mubarak sebagai calon DPS dan Abdul Mu'ti sebagai calon komisaris. Namun, dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BSI pada 17 Mei 2024, Abdul Mu'ti tidak diterima sebagai komisaris. Sebagai gantinya, BSI mengangkat Felicitas Tallulembang, seorang politikus dari Partai Gerindra, sebagai komisaris.

Selain penetapan dividen, RUPST juga menetapkan susunan kepengurusan baru BSI. Felicitas Tallulembang ditunjuk sebagai Komisaris Independen, sementara Fauzi dan Nasaruddin diangkat sebagai Komisaris. 

Pada saat yang sama, rapat memutuskan untuk memberhentikan Budi Sarjito, Sutanto, dan Arief Rosyid Hasan dari kursi komisaris. Di jajaran Direksi, rapat menyetujui pengangkatan Ari Rizaldi sebagai Direktur Treasury & International Banking. Ngatari tidak lagi menjabat sebagai Direktur Retail Banking BSI.