logo
Ilustrasi Gedung DPR RI di Senayan Jakarta. (dpr.go.id)
Nasional

Polemik Revisi UU Minerba (Bagian I): Proses Kilat di Tengah Karut-marut Lingkungan

  • RUU ini dibahas saat masa reses DPR, tanpa sosialisasi yang memadai kepada publik. Bahkan, beberapa anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI baru menerima naskah akademik setebal 78 halaman sekitar 30 menit sebelum rapat dimulai.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi menyepakati revisi keempat Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) sebagai usul inisiatif DPR pada hari Senin, 20 Januari 2024. Namun, proses pembahasan yang berlangsung kilat dan minim partisipasi publik menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

Pembahasan revisi UU Minerba berlangsung maraton sejak pukul 10.47 WIB hingga 23.14 WIB dalam satu hari, tanpa jeda yang cukup untuk kajian mendalam. 

RUU ini dibahas saat masa reses DPR, tanpa sosialisasi yang memadai kepada publik. Bahkan, beberapa anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI baru menerima naskah akademik setebal 78 halaman sekitar 30 menit sebelum rapat dimulai.

"Kayaknya kok gak mungkin kita bikin undang-undang tanpa membaca naskah akademik lalu dikirim 30 menit sebelumnya, panjangnya 78 halaman," keluh anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Putra Nababan dalam Rapat Pleno RUU Minerba yang diselenggarakan Baleg DPR RI, dikutip Senin, 3 Februari 2024.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan partisipasi bermakna dalam penyusunan UU pun diabaikan. Alih-alih melibatkan pemangku kepentingan secara luas, DPR justru menyelesaikan pembahasan dengan cepat dan langsung menetapkan RUU ini sebagai inisiatif DPR dalam hitungan jam. Minimnya transparansi dalam proses ini menimbulkan kecurigaan akan adanya agenda tersembunyi. 

Salah satu poin yang paling kontroversial dalam revisi tersebut adalah pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Keagamaan tanpa kajian yang jelas. 

Pasal 51, 51A, dan 75 membuka peluang luas bagi Ormas dan PTN untuk mengelola tambang, meskipun mereka tidak memiliki kapasitas teknis yang memadai.

Selain itu, mekanisme pemberian IUP yang dapat dilakukan tanpa lelang dinilai rawan korupsi. Pasal 51A, 51B, dan 75 memungkinkan izin diberikan tanpa indikator yang jelas, sehingga berpotensi membuka ruang bagi praktik suap dan perdagangan pengaruh. 

"Kita kemanakan ini barang, karena saya lihat jadwalnya begitu padat sampai jam 19.00 WIB, bagaimana kita menjustifikasi stakeholder dari Minerba yang begitu banyak ya sehingga kita membypass dan melewati meaningful participation itu,"  tambah Putra.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa korupsi di sektor sumber daya alam telah merugikan negara hingga Rp24,8 triliun dalam periode 2016–2023.

Lingkungan Sudah Karut-marut, Apa Dampaknya?

Indonesia saat ini masih berjuang menghadapi dampak lingkungan dari eksploitasi tambang yang tidak terkendali. Banyak tambang yang beroperasi tanpa reklamasi memadai, menyebabkan kerusakan ekosistem, banjir, dan pencemaran air. 

Namun, revisi UU Minerba ini justru membuka lebih banyak ruang bagi entitas baru untuk masuk ke industri tambang tanpa jaminan tata kelola yang lebih baik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti RUU Minerba 2025 yang dinilai sarat dengan praktik politik patronase dan hanya menjadi ajang "bagi-bagi kue" bagi loyalis pemerintah. 

ICW menilai bahwa RUU ini lebih mengutamakan kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu daripada kepentingan nasional, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.

Salah satu poin yang mendapat sorotan tajam dari ICW adalah pemberian hak pengelolaan tambang kepada organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan dan perguruan tinggi. 

Menurut ICW, langkah ini tidak memiliki urgensi yang jelas, mengingat kedua entitas tersebut tidak memiliki kompetensi maupun pengalaman di sektor pertambangan. 

ICW juga mempertanyakan dasar dari penjelasan dalam RUU yang hanya menyebutkan percepatan keterlibatan Ormas dan perguruan tinggi tanpa memberikan alasan yang jelas. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa regulasi ini dibuat untuk kepentingan tertentu, bukan untuk meningkatkan tata kelola pertambangan yang lebih baik. 

“Sejumlah substansi pasalnya, khususnya terkait jaminan perpanjangan lisensi kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B), hanya menguntungkan segelintir elite-elite kaya di balik sejumlah perusahaan batu bara," jelas ICW dalam keterangan pers yang dibagikan di Jakarta.

Selain itu, ICW mengkhawatirkan bahwa RUU Minerba 2025 dapat membuka peluang baru bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dengan memberikan hak pengelolaan tambang kepada entitas yang tidak memiliki kapasitas teknis, dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol dan merugikan negara.

“Tanpa adanya indikator yang jelas serta terukur dalam penentuan prioritas tersebut, ICW melihat potensi besar terjadinya korupsi,” tambah ICW.

Dengan banyaknya celah dalam revisi ini, Indonesia berisiko menghadapi masalah pertambangan yang semakin tidak terkendali. Alih-alih memperbaiki tata kelola tambang, revisi kilat UU Minerba justru memperkuat patronase politik dan membuka ruang bagi eksploitasi sumber daya alam tanpa regulasi yang ketat.