Polemik Thrifting, IFC: Jangan Sampai Indonesia Bernasib Seperti Kenya
- Organisasi yang menaungi desainer Indonesia itu menilai impor pakaian bekas bakal berdampak negatif pada produk fesyen lokal.
Gaya Hidup
JAKARTA—Indonesia Fashion Chamber (IFC) angkat bicara mengenai bisnis pakaian bekas (thrifting) impor yang menggejala di Indonesia. Organisasi yang menaungi desainer Indonesia itu menilai impor pakaian bekas bakal berdampak negatif pada produk fesyen lokal.
Jika tak segera ditindak tegas, IFC khawatir industri tekstil lokal bakal anjlok drastis seperti yang dialami Kenya. National Chairman IFC, Ali Charisma, mengatakan dampak thrifting produk impor terhadap konsumsi fesyen lokal tak main-main. “Impor pakaian bekas dapat mengancam keberlanjutan sektor industri tekstil dan fesyen, terutama UMKM,” ujar Ali dalam keterangan resminya, Selasa 21 Maret 2023.
Pihaknya mengatakan angka penjualan pakaian produksi lokal berpotensi menurun karena kalah saing dalam urusan harga. Oleh karena itu, IFC menolak tegas aktivitas thrifting dengan memperdagangkan pakaian impor bekas. IFC tak ingin industri tekstil Indonesia bernasib sama seperti Kenya. Di negara Afrika tersebut, impor baju bekas telah menurunkan jumlah tenaga kerja di bidang tekstil secara masif.
Beberapa dekade lalu, industri tekstil Kenya mampu menyerap sekitar 500.000 pekerja. Kini jumlahnya turun hingga kurang dari 200.000 pekerja setelah banjir impor sandang bekas. Selain berbahaya terhadap keberlanjutan industri lokal, IFC mengkhawatirkan dampak thrifting terhadap lingkungan. Sebab, baju-baju bekas yang diimpor secara ilegal itu merupakan produk fast fashion yang tidak berkelanjutan.
- Disebut Penjahat Perang, Putin Malah Lakukan Kunjungan ke Mariupol
- Kiky Saputri Dihujat Usai Kritik Jennie BlackPink, Ini Alasan Ilmiah Kenapa Fans Mati-Matian Bela Idolanya
- Kebangkrutan SVB Tidak Akan Berdampak Langsung ke Perbankan RI
Ali mengatakan tren fesyen cepat berganti sehingga pakaian sering dibuang setelah beberapa kali dipakai. Limbah mode ini pun masuk secara ilegal ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. “Impor pakaian bekas secara ilegal tidak hanya memperburuk siklus konsumsi produk fesyen, tapi juga menambah masalah limbah di negeri ini,” tutur Ali.
Lebih jauh, IFC menyoroti dampak bisnis thrifting pakaian impor terhadap kreativitas desainer lokal. Ali menyebut jual-beli awul-awul bisa merusak keunikan produk fesyen Indonesia. Pihaknya mendorong regulasi yang kuat dari pemerintah untuk melarang impor pakaian bekas. “Dukungan bersama terhadap pelarangan baju bekas impor ilegal dapat membantu melindungi desainer dan produsen fesyen lokal,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan praktik thrifting impor dinilai berpotensi menghancurkan industri pakaian dan alas kaki nasional. Thrifting ilegal tersebut bahkan diklaim bisa membuat satu juta buruh dari industri maupun UMKM terkait kehilangan pekerjaan.
Kementerian membeberkan proporsi buruh yang bekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki pada industri besar dan sedang (IBS) menyumbang 3,45% dari total angkatan kerja. Adapun Pelaku UMKM yang menjalankan bisnis pakaian mencapai 591.390 unit. “Dan ini menyerap 1,09 juta tenaga kerja. Jika sektor ini terganggu, akan ada banyak orang kehilangan pekerjaan,” ujar Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki.