Polemik UMP 2021, Butuh Kebijakan Kepala Dingin dan Moderat
JAKARTA – Belum selesai polemik pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), ‘duel’ pemerintah versus pekerja makin sengit taktala Kementerian Ketenagakerjaan mengetok palu tidak naiknya upah minimum provinsi (UMP) pada 2021. Kebijakan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah banyak menuai protes hingga ancaman gelombang aksi massa yang lebih besar dari sebelumnya. Ida Fauziyah mengklaim keputusan untuk tidak menaikkan UMP […]
Industri
JAKARTA – Belum selesai polemik pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), ‘duel’ pemerintah versus pekerja makin sengit taktala Kementerian Ketenagakerjaan mengetok palu tidak naiknya upah minimum provinsi (UMP) pada 2021.
Kebijakan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah banyak menuai protes hingga ancaman gelombang aksi massa yang lebih besar dari sebelumnya.
Ida Fauziyah mengklaim keputusan untuk tidak menaikkan UMP tahun depan adalah jalan tengah bagi industri dan pekerja yang sama-sama sedang dihimpit krisis akibat pandemi COVID-19.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
“Kami mengeluarkan surat edaran yang isinya adalah melakukan penyesuaian terhadap penetapan nilai Upah Minimum tahun 2021 sama dengan nilai Upah Minimum tahun 2020,” kata Ida dalam gelar wicara virtual yang diadakan Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di Gedung Graha BNPB Jakarta, Selasa, 27 Oktober 2020.
Penyesuaian penetapan upah tersebut juga didasarkan pada berbagai pandangan dan dialog atau diskusi melalui forum Dewan Pengupahan Nasional (Depenas).
“Ini adalah jalan tengah yang harus diambil oleh pemerintah dalam kondisi yang sulit dan tidak mudah,” tutur Menaker.
Depenas telah melakukan kajian secara mendalam terkait dampak COVID-19 terhadap pengupahan dan menyimpulkan bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak pada kondisi perekonomian dan kemampuan perusahaan dalam memenuhi hak pekerja atau buruh termasuk dalam membayar upah.
Dalam rangka memberikan perlindungan dan kelangsungan bekerja pekerja atau buruh serta menjaga kelangsungan usaha, perlu dilakukan penyesuaian terhadap penetapan upah minimum pada situasi pemulihan ekonomi di masa pandemi COVID-19.
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Edaran Nomor M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam SE tersebut, pemerintah meminta kepada Gubernur se-Indonesia untuk melakukan penyesuaian nilai UMP 2021 sama dengan UMP 2020 alias tidak ada kenaikan. Menaker menuturkan penetapan Upah Minimum setelah tahun 2021 dikembalikan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat edaran tersebut mempertimbangkan berbagai dasar hukum termasuk Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020. Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018.
Kompensasi Kenaikan UMP
Menanggapi gelombang protes di kalangan pekerja, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ikut sumbang suara menjelaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan sejumlah kebijakan pengganti kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2021 melalui instrumen fiskal.
Intervensi ini diharapkan mampu mencapai titik keseimbangan antara menjaga daya beli masyarakat dengan keberlangsungan usaha. Pasalnya, keduanya sama-sama tengah babak belur akibat pandemi COVID-19.
“Kami tidak ingin mengambil kebijakan yang membuat sektor usaha makin tertekan sehingga risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat dan akhirnya merugikan pekerja juga,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) secara virtual, Selasa, 27 Oktober 2020.
Bagai buah simalakama, kenaikan UMP 2021 dapat menjadi bumerang bagi kebangkrutan dunia usaha dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih besar.
Sebagai kompensasi kenaikan UMP, Sri Mulyani mengatakan pemerintah terus mempercepat realisasi penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Program itu antara lain bantuan sosial, kartu pra kerja, diskon listrik, bantuan langsung tunai (BLT) Desa, subsidi gaji, dan subsidi kuota internet.
“Jadi itulah yang dipakai, jembatan fiskal untuk membantu perusahaan bertahan dan bangkit lagi. Di sisi lain, pekerja juga tetap dijaga dari sisi daya beli, itu peranan fiskal untuk menjembatani,” terang Sri Mulyani.
Sudut Pandang Pekerja
Menanggapi hal ini, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak mentah-mentah keputusan pemerintah tidak menaikkan UMP 2021. Presiden KSPI, Said Iqbal menjelaskan empat alasan mengapa upah minimum 2021 harus naik.
Pertama, jika upah minimum tidak naik, gelombang kemarahan buruh akan makin besar dan akan terjadi aksi yang lebih masif. Mengingat para pekerja masih berjuang untuk menolak Undang-undang Cipta Kerja.
Kedua, alasan upah tidak naik karena pertumbuhan ekonomi minus dianggap tidak tepat. Said membandingkan dengan apa yang terjadi pada 1998, 1999, dan 2000.
Sebagai contoh, di DKI Jakarta, kenaikan upah minimum dari tahun 1998 ke 1999 tetap naik sekitar 16% di tengah ekonomi pada 1998 terkontraksi 17,49%. Begitu juga dengan upah minimum pada 1999 ke 2000, upah minimum tetap naik sekitar 23,8%, padahal pertumbuhan ekonomi 1999 minus 0,29%.
Argumentasinya, lanjut Said Iqbal, ini bukan kali pertama Indonesia mengalami resesi ekonomi yang dikaitkan dengan kenaikan upah minimum. Pada 1998 misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus di kisaran 17,6%. Sedangkan angka inflansi mendekati 78%.
Ketiga, bila upah minimum tidak naik maka daya beli masyarakat akan semakin turun. Daya beli turun akan berakibat jatuhnya tingkat konsumsi yang ujung-ujungnya berdampak negatif bagi perekonomian.
“Keempat, tidak semua perusahaan kesulitan akibat pandemi COVID-19. Oleh karenanya, kebijakan kenaikan upah harus dilakukan secara proporsional,” kata Said dalam keterangan resmi, Selasa, 27 Oktober 2020.
Kenaikan yang Moderat
Pria yang juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ini menegaskan, dengan analogi yang sama, pertumbuhan ekonomi dan inflansi saat ini lebih rendah dibandingkan tahun 1998. Di mana pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan minus 8% dan inflansi 3%.
Dengan dasar tersebut, KSPI mengusulkan kenaikan upah minimum 2021 adalah 8%. Namun demikian, jika dirasa berat, bisa saja lebih rendah dari 8%. Misalnya 5 atau 7%, sesuai dengan kemampuan daerah dan jenis industri masing-masing.
“Sementara bagi perusahaan yang tidak mampu menaikkan upah minimum, bisa saja tidak menaikkan upah minimum, sepanjang bisa membuktikan laporan keuangan perusahaan yang merugi. Supaya fair,” lanjut Said Iqbal.
Saat ini masih banyak perusahan yang beroperasi seperti biasa. Jadi jangan dipukul rata, bahwa semua perusahaan tidak mampu membayar kenaikan upah minimum.
Disampaikan Said Iqbal, pihaknya mendapat laporan dari anggota Dewan Pengupahan Nasional dari unsur serikat buruh yakni Mirah Sumirat, Ferry Nurzamli, dan Sunardi, bahwa tidak ada kesepakatan apapun dari Dewan Pengupahan Nasional yang menyatakan tidak ada kenaikan upah minimum pada 2021.
Bahkan, di dalam forum nasional yang dihadiri Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota pada tanggal 15 – 17 Oktober 2020, tidak ada keputusan yang menyatakan upah minimum tahun 2021 tidak naik.
“Jadi pemerintah menggunakan dasar apa mengeluarkan surat edaran yang meminta agar Gubernur tidak menaikkan upah minimum? Patut diduga Menaker berbohong terhadap argumentasi dalam pengeluarkan surat edaran tersebut,” kata Said Iqbal. Oleh karena itu, serikat buruh meminta agar para Gubernur mengabaikan suarat edaran tersebut.
Aksi Berani Pemerintah Daerah
Bak gayung bersambut, secercah harapan kenaikan upah tampaknya mulai tampak ketika sejumlah pemimpin daerah mengumumkan bakal menaikkan UMP 2021. Menurut pantauan TrenAsia.com hingga 1 November 2020, sudah ada sembilan provinsi yang mengumumkan besaran UMP 2021, lima di antaranya naik, empat selebihnya tetap.
Kelima provinsi yang menaikkan UMP tahun depan adalah Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan. Sementara provinsi yang yang tidak menaikkan UMP 2021 adalah Riau, Sumatra Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Berikut daftar provinsi yang menaikkan UMP 2021:
1. Jawa Timur 5,65%
Gubernur Khofifah Indar Parawansa memutuskan untuk tetap menaikkan UMP 2021 di masa sulit ini hingga 5,65%. UMP Jawa Timur tercatat sebesar Rp1.768.000 pada 2020, naik menjadi Rp1.868.777.
Meski nominal kenaikannya hanya berkisar Rp100 ribu, namun persentase kenaikan UMP jawa tImur merupakan yang tertinggi sejauh ini. Hal itu sudah disepakati dalam rapat bersama Dewan Pengupahan pekan lalu.
Adapun, keputusan tersebut ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jatim Nomor 188/498/KPTS/013/2020 tentang UMP Jatim 2021 yang ditandatangani pada 31 Oktober 2020.
2. DI Yogyakarta 3,54%
Kenaikan tertinggi selanjutnya dipegang oleh provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yakni sebesar 3,54%. Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X memutuskan menaikkan besaran UMP Yogyakarta 2021 menjadi Rp1.765.000 atau naik 3,54% dari besaran UMP DIY 2020 sebesar Rp1.704.608.
Amanat tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur DIY Nomor 319/KEP/2020 yang diteken Sri Sultan HB X pada 31 Oktober 2020. Ia mengklaim bahwa keputusan naikknya UMP 2021 telah berdasarkan sejumlah pertimbangan dan kesepakatan dalam pertemuan Dewan Pengupahan DIY pada 30 Oktober 2020 yang dihadiri unsur pemerintah, pekerja/buruh, dan unsur pengusaha.
3. Jawa Tengah 3,27%
Menyusul di bawahnya, Gubernur Ganjar Pranowo juga memutuskan untuk menaikkan besaran UMP Jawa Tengah pada 2021 menjadi Rp1.798.979 atau naik sebesar 3,27% dari besaran UMP 2020 sebesar Rp1.742.015.
Dalam menaikkan UMP Jateng 2021, Ganjar mengaku tidak berpedoman pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, melainkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 Tentang Pengupahan.
Selain itu, pertimbangan lain adalah hasil rapat dengan Dewan Pengupahan, serikat buruh, dan Asosiasi Pengusaha Indonesia. Pihak-pihak tersebut, lanjut Ganjar, sudah diajak berbicara dan memberikan masukan-masukan.
4. DKI Jakarta 3,27%
Sebagai pusat bisnis yang paling terdampak krisis, keputusan Gubernur Anies Baswedan terkait UMP memang menjadi sorotan banyak pihak. Sebab, data
Pasalnya, menurut data dari Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) serta Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta, 90% pelaku usaha tercatat terdampak oleh pandemi COVID-19.
Tidak heran, lebih dari delapan bulan menjadi sentral penyebaran pandemi, kelumpuhan ekonomi Jakarta tak terelakkan dengan sejumlah pembatasan ekonomi yang restriktif.
Meski begitu, Anies Baswedan akhirnya memutuskan untuk meningkatkan besaran UMP 2021 sebesar Rp4,4 juta lebih, naik 3,27% dari tahun sebelumnya. Namun, catatannya adalah kenaikan hanya dilakukan oleh perusahaan yang tidak terdampak COVID-19.
“Jumlah tersebut mempertimbangkan nilai produk domestik bruto (PDB) dan inflasi nasional. Kenaikan UMP adalah sebesar 3,27% sesuai dengan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan,” ujar Anies dalam keterangan resmi.
Anies mengatakan penetapan UMP sebesar Rp4.416.186,54 hanya berlaku bagi sektor usaha di Jakarta yang tidak terpukul pandemi COVID-19. Sedangkan, bagi usaha yang terkena dampak pandemi, UMP tidak mengalami kenaikan atau sama dengan 2020 yakni Rp4.276.349.
5. Sulawesi Selatan 2%
Terakhir, Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah memutuskan untuk menaikkan sebesar 2% per 1 Januari 2021. Alhasil, UMP Sulwesi Selatan naik dari Rp3.103.800 menjadi Rp3.165.876.
Kompensasi Bagi Pengusaha
Merenspons kebijakan kenaikan UMP 2021 Gubernur DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, Ketua Umum DPP Hippi menyatakan kebijakan asimetris Pemerintah DKI Jakarta untuk UMP 2021 perlu disokong kepastian dan jaminan bagi pengusaha yang terdampak pandemi COVID-19.
Menurutnya, kebijakan Anies soal pengupahan sudah cukup adil mengingat kenaikan hanya berlaku bagi sektor usaha yang tidak terdampak krisis. Ia pun mendorong sektor tertentu yang produktif selama pandemi tetap menaikkan UMP 2021.
Sebaliknya, bagi sektor yang terdampak maka tidak ada kenaikannya alias besarannya sama dengan UMP 2020.
Sebagaimana diketahui, sejumlah indikator kinerja ekonomi Jakarta mengalami kontraksi dalam utamanya sepanjang kuartal II-2020. Penyebabnya tidak lain tidak bukan adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang harus diterapkan mengingat eskalasi penularan makin tak terkendali.
Walhasil, pertumbunan ekonomi Jakarta kuartal II-2020 terkontraksi 8,22%. Meski belum dirilis, sejumlah pihak masih memproyeksikan kontraksi pada kuartal III-2020.
“Dengan kondisi dunia usaha yang sudah sangat terpuruk, kenaikan UMP 2021 jangan sampai menambah beban pengusaha, maka kebijakan tidak menaikkan UMP 2021 sangat adil dan bijak,” kata dia dikutip sdalam keterangan resmi, Senin, 2 November 2020.
Sarman berharap Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Tenaga Kerja di semua tingkatan dapat mengawal kebijakan UMP 2021. Mulai dari prosesnya sampai dengan turunnya SK penetapan besaran UMP 2021 sama dengan 2020.
Hal ini untuk mengindari kesalahpahaman antara pekerja dengan pengusaha yang akan berdampak pada terhambatnya aktivitas ekonomi jika situasi kian memanas.
“Kami dari pengusaha belum menerima dan membaca Pergub tersebut, namun kami sangat berharap agar dalam Pergub tersebut diatur atau disebutkan secara komprehensif sektor usaha yang terdampak sehingga tidak perlu lagi mengajukan surat permohonan ke Disnakertrans DKI Jakarta.”