Politik Dinasti dan Korupsi yang Tak Berkesudahan
- Kita pernah punya perangkat hukum yang mengharamkan politik dinasti. Sayang, umurnya hanya bertahan tiga bulan.
Kolom
“Berkuasa itu nikmat,” demikian kata salah seorang staf khusus di sebuah kementerian dalam sebuah diskusi beberapa tahun lalu. “Dengan berkuasa kita bisa atur segala hal sesuai keinginan,” demikian alasannya.
Rasa-rasanya pendapat senada juga akan terucap dari para aktivis 98 yang kini banyak tersebar di kementerian maupun lembaga negara. Betapa tidak? Para aktivis pada umumnya pintar berbicara dan mampu memengaruhi orang lain. Nyatanya sebagai bagian dari orang terdekat Presiden Joko Widodo mereka hanya menikmati kedudukan dan fasilitas yang diberikan oleh negara. Boleh jadi mereka kawatir jika bersikap kritis akan tercerabut dari segala kemewahan fasilitas negara nan membius.
Mungkin karena itu pula negara kita tidak maju-maju. Dulu, saat reformasi 98 digaungkan sangat nyaring berkumandang tuntutan anti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dan setelah kemenangan tercapai, negara segera membenahi semua perundang-undangan yang memungkinkan timbulnya KKN. Dari tap MPR yang mengatur penyelenggara negara yang bersih dan anti KKN hingga undang-undang (UU) pemberantasan korupsi yang sangat menakutkan bagi orang yang berniat menggarong uang rakyat.
Toh selalu ada celah untuk mengelabui peraturan. Praktik KKN terus tumbuh subur. Terutama di daerah. Sejak berlakunya UU Pemerintahan Daerah tahun 1999 marak praktik politik dinasti. Seorang kepala daerah yang telah habis masa jabatannya selalu mencari cara untuk melanggengkan kekuasaannnya. Dia akan mengajukan sanak saudaranya untuk berpatisipasi dalam pemilihan kepala daerah di periode berikutnya. Celakanya, tak sedikit di antara mereka yang merambah ke ranah legislatif. Dengan cara itu kedudukan mereka semakin tak tergoyahkan.
Walau satu per satu mereka terjerat kasus korupsi, banyak dinasti yang sukses melanjutkan kehadirannya di ranah elit politik daerah. Tanpa rasa malu mereka menyodorkan anak, keponakan maupun kerabatnya untuk meneruskan politik dinasti. Dan berhasil.
Sejauh ditujukan bagi reputasi dan nama baik keluarga, kekuasaan dinasti akan diperoleh dengan sendirinya karena memperoleh legitimasi dan dukungan rakyat yang lebih besar. Membangun reputasi bisa dilakukan dinasti politik dengan cara menghindarkan diri dari perilaku yang akan merusak nama baik, seperti korupsi. Reputasi juga dapat dibangun dengan tindakan-tindakan politik yang dianggap berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak. Dengan motivasi ini, maka dinasti politik malah dapat dianggap menguntungkan masyarakat.
Sayangnya dinasti yang seperti itu sekadar ilusi. Motivasi membangun dinasti politik tak lebih dari menumpuk kekayaan. Singkat kata, kekuasaan adalah jalan pintas untuk menumpuk kekayaan. Ini hanya bisa ditempuh jika kekuasaan mengontrol distribusi kekayaan melalui mekanisme keuangan publik dengan kritik dan oposisi seminimal mungkin.
Kekayaan yang diperoleh ini selanjutnya digunakan untuk membiayai proses dan mekanisme agar suksesi kekuasaan berada di lingkaran dinasti politik.
Sesungguhnya negara kita pernah memiliki UU yang melarang politik dinasti, yakni UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Larangan itu diatur di pasal 7 huruf r yang yang memuat norma larangan maju dalam kontestasi pilkada bagi yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Larangan Politik Dinasti Hanya Seumur Jagung
Nyatanya ketentuan itu hanya berumur seumur jagung. Tiga bulan setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo, bulan Juli tahun 2015 Mahkamah Konstitusi (MK) menganulir larangan itu. Majelis hakim konstitusi berpendapat Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. MK menilai pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.
Dengan demikian, peraturan itu dinilai bertentangan dengan Pasal 28 j ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. “Tampak nyata pembedaan dengan maksud untuk mencegah kelompok atau orang tertentu untuk menggunakan hak konstitusi, hak untuk dipilih," ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Sekadar pengingat, Patrialis pada tahun 2017 dijatuhi hukuman delapan tahun penjara –kemudian dikorting satu tahun di tingkat Peninjauan Kembali-- atas tindakan suap dari pengusaha impor daging.
Begitulah, sejak itu praktik politik dinasti tubuh semakin subur. Maklum putusan MK bersifat final dan mengikat. Ini semua pada akhirnya menciptakan sistem yang membuat kekuasaan, hak istimewa, dan kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil elit. Sementara mayoritas penduduk dibiarkan kehilangan kendali atau tak lagi memiliki pengaruh.
Sejak pasal pelarangan dinasti poltik tergusur, kandidat yang punya afiliasi dinasti poltik terus meningkat. Catatan Indonesia Corruption Watch menunjukkan, di periode 2005-2014 jumlahnya mencapai 59, lalu di pemilihan kepala daerah 2015, 2017, 2018 meningkat sampai 86 kandidat. Selanjutnya di pilkada 2020 jumlahnya bertambah drastis hingga 124 kandidat.
Sebuah penelitian membuktikan bahwa semakin meningkatnya dinasti politik, semakin buruk akibatnya pada pertumbuhan ekonomi bahkan bisa melahirkan kemiskinan yang parah di suatu daerah.
Politisi anggota dinasti politik juga memiliki kecenderungan mendukung dan menghabiskan anggaran untuk proyek- proyek infrastruktur kota, kesehatan, dan sanitasi. Namun, proyek-proyek tersebut justru tidak membantu perbaikan pertumbuhan ekonomi dan layanan publik. Kemungkinan, ini terjadi karena proyek-proyek tersebutlah yang lebih mudah dikorupsi dan terkesan membantu kepentingan publik.
Mungkin karena itu pula lapangan kerja yang tersedia sepanjang tahun 2014-2024 hanya mencapai 2 juta. Menurun drastis dibandingkan ketersediaan lapangan kerja di periode 2009-2014 yang mencapai 15 juta. Padahal pembangunan infrastruktur di periode itu tak semasif 10 tahun terakhir.
Mantan Terpidana Boleh Jadi Calon Legislatif dan Kepala Daerah
Bukan cuma UU tentang politik dinasti yang melangkah mundur. Peraturan di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang melarang calon anggota DPR dan DPRD yang pernah menjalani pidana penjara dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, juga dibatalkan MK.
MK berpendapat ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu perlu diselaraskan dengan memberlakukan pula masa menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara yang berdasar pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pembedaan syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah bagi mantan terpidana tersebut, menurut MK, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara.
Intinya, MK menyatakan rakyat sebagai pemilih bebas untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak.
Begitulah, semua hal yang dituntut masyarakat saat gerakan reformasi 1998 rontok satu per satu. Tak heran jika praktik politik dinasti dan korupsi yang sempat dilarang oleh undang-undang akhirnya subur kembali.