
Politik Robohkan Tatanan Ekonomi, Teori Klasik Tak Lagi Relevan
- Seluruh tatanan ekonomi dan perdagangan dunia yang didasarkan pada asas dan hukum ekonomi sudah dengan sendirinya roboh dan ambruk karena politik, dan secara politik sah di negara demokrasi seperti Amerika Serikat
Dunia
JAKARTA – Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Paramadina, Didik Rachbini, menyatakan bahwa teori-teori ekonomi klasik tak lagi relevan untuk menjawab tantangan zaman. Khususnya di tengah dinamika global yang dipicu oleh kebijakan politik sepihak seperti yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Didik menyebut, bahwa saat ini ekonomi telah sepenuhnya ditundukkan oleh kehendak politik. Menurut Didik, lebih dari 80% dinamika ekonomi sesungguhnya dipengaruhi oleh pertimbangan politik.
Hal ini tercermin jelas dalam langkah-langkah ekonomi proteksionis yang diambil oleh Trump, termasuk penerapan tarif tinggi terhadap sejumlah negara mitra dagang yang secara substansi melanggar asas-asas ekonomi bebas dan hukum komparatif sebagaimana dijelaskan dalam teori klasik Adam Smith.
“Seluruh tatanan ekonomi dan perdagangan dunia yang didasarkan pada asas dan hukum ekonomi sudah dengan sendirinya roboh dan ambruk karena politik, dan secara politik sah di negara demokrasi seperti Amerika Serikat,” tulis Didik dalam keterangan resminya pada Kamis, 10 April 2025.
Dampak Langkah Trump terhadap Ekonomi Indonesia
Didik menjelaskan, langkah Trump yang memberlakukan tarif tinggi berdampak langsung pada kinerja ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, yang saat ini menyumbang sekitar 11-13% dari total ekspor nasional. Ia memprediksi, jika terjadi penurunan ekspor ke AS hingga 30%, maka penurunan ekspor secara total bisa mencapai 3–4%.
Dalam kondisi seperti itu, respons yang semata-mata menggunakan instrumen ekonomi tidak lagi relevan. Pemerintah Indonesia, kata Didik, harus menempuh langkah politik sebagai respons terhadap politik, bukan sekadar memperbaiki indikator ekonomi.
Diplomasi Politik Jadi Kunci
Sebagai solusi, Didik menyarankan agar Indonesia membangun poros ketiga politik dan ekonomi global yang tidak berporos pada Amerika maupun Tiongkok. Poros ini terdiri dari negara-negara seperti ASEAN, Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan), India, serta negara-negara Amerika Latin seperti Brasil dan Meksiko. Tujuannya adalah membangun kekuatan kolektif untuk menyeimbangkan tekanan dari kekuatan besar dunia.
“Konferensi Asia-Afrika” yang digagas Presiden Soekarno pada 1955. Didik melihat bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki postur dan karakter yang tepat untuk memimpin gerakan kolektif tersebut.
“Penampilan dan langkah politik, diplomasi, diplomasi ekonomi dalam situasi ekonomi terguncang seperti ini perlu dilakukan mengingat akar masalah dari tarif Trump adalah langkah politik murni,” ujar Didik.
Politik Perdagangan Jadi Prioritas Baru
Didik juga menekankan bahwa politik luar negeri Indonesia mutlak harus disertai dengan politik perdagangan, terutama karena 88% ekspor Indonesia tidak tertuju ke Amerika Serikat. Diplomasi ekonomi ke kawasan Asia, India, dan Amerika Latin perlu diperkuat untuk memanfaatkan peluang di tengah gejolak ketidakpastian global.
Kebijakan tarif Trump dinilai Didik bukan semata kebijakan dagang, tetapi bagian dari krisis transisi geopolitik di mana kekuatan ekonomi dunia bergeser dari Atlantik (AS dan Eropa) ke Pasifik (Asia).
Meski dinamika global mengharuskan respons politik, Didik tetap mengingatkan pentingnya stabilitas ekonomi domestik. Ia menekankan harus menjaga keseimbangan makroekonomi, menekan tingkat inflasi, menstabilkan nilai tukar rupiah, melanjutkan program industrialisasi dan hilirisasi.
Hal-hal tersebut, menurutnya, tetap menjadi tugas utama pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga kesejahteraan rakyat.
Menurut Didik, saat ini kita hidup di masa ketika politik telah menjadi panglima kebijakan ekonomi. Oleh karena itu, Indonesia harus bersikap realistis, responsif, dan proaktif dalam membangun strategi diplomasi dan konsolidasi kekuatan politik regional dan internasional.