logo
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat 2 saham dan 3 obligasi pada pekan ini. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Bursa Saham

Portofolio Tangguh di 2025: Keunggulan Obligasi di Tengah Fluktuasi Pasar (Bagian III)

  • Obligasi menjadi pilihan investasi menarik di 2025, didorong oleh pemangkasan suku bunga dan likuiditas perbankan yang membaik. Meskipun risiko geopolitik dan inflasi global masih menjadi tantangan, inflasi Indonesia yang lebih rendah memberikan prospek positif untuk investasi ini.

Bursa Saham

Alvin Bagaskara

JAKARTA – Di tengah ketidakpastian Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), instrumen investasi seperti obligasi menjadi tempat terbaik untuk menanamkan modal di 2025. Hal ini didorong sejumlah faktor seperti pemangkasan suku bunga dan akses likuiditas perbankan nasional. 

Asal tahu saja, obligasi, sebagai surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah, perusahaan, atau lembaga lainnya, menawarkan keuntungan berupa pembayaran bunga secara periodik dan pengembalian pokok saat jatuh tempo. 

Oleh sebab itu, instrumen obligasi sering dianggap lebih aman dibandingkan saham karena pembayaran bunganya lebih terjamin, meskipun tingkat pengembaliannya cenderung lebih rendah.

Namun, realitas ekonomi tahun 2024 menunjukkan bahwa kinerja obligasi justru lebih kuat dibandingkan IHSG. Data dari Penilaian Harga Efek Indonesia (PHEI) mencatat, obligasi mencatatkan return positif dan mencapai rekor tertinggi untuk masing-masing kelas aset. 

Misalnya, Indeks Indonesia Composite Bond Index (ICBI) naik 4,82% year-on-year (YoY), sementara Indeks Obligasi Pemerintah (INDOBeXG-Total Return) dan Indeks Obligasi Korporasi (INDOBeXC-Total Return) masing-masing mencatat kenaikan 4,64% dan 7,78% YoY. Sebaliknya, IHSG justru mengalami penurunan 2,65% YoY.

Apa yang Menjadi Pendorong Obligasi?

Salah satu pemicu obligasi lebih menarik di tahun ini adalah perbankan nasional yang mulai mengakses penerbitan obligasi dalam jumlah besar sebagai strategi pendanaan alternatif turut mendorong prospek cerah obligasi tahun ini. 

Hal ini dipicu oleh kondisi likuiditas yang ketat sepanjang 2024, serta kebutuhan bank untuk menyeimbangkan struktur pendanaan (funding needs) setelah rasio loan to deposit ratio (LDR) sejumlah bank besar meningkat signifikan akibat ekspansi kredit yang agresif.

Analis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Adrian Noer menyebutkan bahwa likuiditas perbankan tahun lalu mengalami pengetatan, terlihat dari kenaikan rasio Loan to Deposit Ratio (LDR). 

“Sebagai contoh, LDR PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) meningkat hingga 98% dari sebelumnya di bawah 95%, didorong oleh tingginya pertumbuhan kredit, terutama dari sektor BUMN dan hilirisasi mineral,” jelasnya dalam konferensi pers pada 12 Februari 2025.

Namun, memasuki 2025, tekanan likuiditas mulai mereda seiring dengan penurunan suku bunga acuan yang dimulai sejak Januari. "Dengan turunnya suku bunga, biaya dana perbankan diproyeksikan mengalami koreksi, sehingga tekanan terhadap likuiditas pun berkurang," ujar Adrian.

Mengapa Obligasi Lebih Menarik?  

Berdasarkan data bursa Efek Indonesia, performa IHSG secara year to date hingga perdagangan sesi pertama Jumat, 14 Februari 2025, terpantau menurun 6,45%. Untuk itu  obligasi menjadi opsi menarik bagi korporasi dalam mencari pendanaan ini juga ditopang prospek pelonggaran moneter yang berlanjut akan semakin mendorong minat penerbitan obligasi. 

"Dengan suku bunga yang lebih rendah dibandingkan tahun lalu, kupon obligasi juga akan lebih rendah. Ini menjadi kesempatan bagi korporasi untuk melakukan refinancing atas obligasi yang sebelumnya diterbitkan dengan kupon lebih tinggi," jelasnya.

Adrian bilang bahwa pada tahun lalu banyak emiten menerbitkan obligasi dengan tenor pendek, sekitar satu tahun, sebagai strategi menghadapi suku bunga tinggi. “Dengan kondisi suku bunga yang lebih bersahabat pada 2025, mereka dapat menggantinya dengan obligasi baru yang memiliki biaya lebih rendah,” jelasnya. 

Diketahui, Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG)  14-15 Januari 2025. Tak ayal, langkah ini sempat disambut positif oleh dengan pembalikan IHSG sebelum akhirnya diterpa sentimen negatif oleh eksternal.            

Tantangan dan Risiko di 2025

Meskipun prospek obligasi cukup positif,  Ekonom Pefindo Suhindarto, menyebutkan bahwa risiko geopolitik masih tinggi pada 2025, yang dapat meningkatkan volatilitas pasar keuangan.  Selain itu, ekspektasi pelonggaran moneter di Amerika Serikat (AS) yang lebih lambat dari perkiraan awal juga menjadi faktor yang perlu diwaspadai. 

“Awalnya, The Fed diperkirakan memangkas suku bunga hingga empat kali sepanjang 2025, namun kini diproyeksikan hanya sekali. Hal ini dapat menyebabkan arus modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia,” jelasnya.

Diketahui, Inflasi AS naik menjadi 3% pada Januari 2025, melebihi prediksi ekonom yang memperkirakan tetap di 2,9%. Kenaikan ini memperkuat argumen Federal Reserve untuk tidak terburu-buru menurunkan suku bunga. 

Di sisi lain, penerbitan obligasi korporasi juga menghadapi tantangan dari instrumen lain yang lebih aman, seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Surat Utang Negara (SUN). "Kedua instrumen ini relatif risk-free, sehingga dapat mengurangi penyerapan obligasi korporasi," ujar Suhindarto.

Prediksi Inflasi Februari 2025 

Di sisi lain, LPEM FEB UI memprediksi inflasi YoY pada Februari 2025 akan lebih rendah dibandingkan Januari 2025, dengan rentang prediksi 0,50% - 0,70%. Inflasi MtM diperkirakan akan cukup rendah, bahkan deflasi pada rentang -0,20% hingga 0,20%. 

Penurunan ini dipengaruhi oleh turunnya harga komponen harga bergejolak dan dampak diskon tarif listrik pada Januari 2025. Diketahui, pada pembukaan awal tahun Januari 2025 disambut oleh tingkat inflasi sebesar 0,76%. Angka ini lebih rendah dari Januari 2024 sebesar 2,57%. 

Secara umum, dengan inflasi yang lebih rendah, Bank Indonesia (atau bank sentral lainnya) mungkin akan menahan atau bahkan menurunkan suku bunga acuan. Tidak hanya itu, ketika suku bunga turun, harga obligasi yang ada di pasar akan cenderung naik. Hal ini terjadi karena obligasi dengan kupon tetap menjadi lebih menarik jika suku bunga pasar lebih rendah.

Terakhir, prediksi inflasi yang lebih rendah menunjukkan adanya kestabilan ekonomi, yang bisa meningkatkan kepercayaan investor terhadap pasar obligasi. Investor cenderung lebih tertarik pada obligasi negara atau korporasi dengan imbal hasil yang stabil ketika mereka merasa bahwa inflasi dapat dikendalikan dengan baik.