<p>Perumahan cluster di kawasan Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

PPKM Darurat Pengaruhi Pembeli Properti, Pasar Bisa Terkontraksi 5-10 Persen

  • CEO sekaligus founder IPW Ali Tranghanda mengatakan adanya PPKM atau PSBB mempengaruhi keinginan pasar untuk membeli properti atau menunda pembelian properti lebih lama.

Industri
Reza Pahlevi

Reza Pahlevi

Author

JAKARTA – Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat yang rencananya dilaksanakan pada 3-20 Juli 2021 dapat berdampak juga terhadap pasar properti. Indonesia Property Watch (IPW) memperkirakan pasar dapat terkontraksi 5-10% akibat PPKM Darurat.

CEO sekaligus founder IPW Ali Tranghanda mengatakan adanya PPKM atau PSBB mempengaruhi keinginan pasar untuk membeli properti atau menunda pembelian properti lebih lama. Ini tercermin dari catatan tahun lalu ketika pandemi awal muncul.

“Pasar akan melihat faktor ketidakpastian yang semakin tinggi. Berdasarkan catatan Indonesia Property Watch, pasar properti sempat anjlok sampai 50,1% di awal terjadinya pandemi di triwulan 1 tahun 2020,” ujar Ali dalam keterangannya, dikutip Kamis, 1 Juli 2021.

Ali menganggap penurunan tersebut bukan semata-mata karena pasar kehilangan daya beli tetapi karena mobilitas konsumen yang dibatasi. Konsumen properti butuh melihat dan merasakan unit secara langsung dan transaksi pun tidak bisa dilakukan secara daring (online).

“Bila pengetatan ini dilakukan, maka diperkirakan pasar perumahan akan mengalami pertumbuhan lebih rendah lagi dibandingkan tahun 2020. Paling tidak diperkirakan pasar akan terkontraksi 5%-10% dibandingkan tahun 2020,” katanya.

Pada tahun ini, sebenarnya pasar properti sempat mengalami pertumbuhan walau tipis. Bahkan, IPW mencatat tingkat pertumbuhan pasar perumahan di Jabodebek-Banten pada semester 1-2021 diperkirakan mengalami kenaikan 12,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Secara fundamental properti dan ekonomi, sebenarnya pasar perumahan relatif tidak bermasalah. Faktor penentu penting yang sekaligus bisa menjadi game changer adalah efektifitas vaksin dan meredanya pandemi,” tutur Ali.

Sayangnya, pandemi sampai saat ini belum dapat dikendalikan bahkan terancam diberlakukan pembatasan yang lebih ketat. Vaksinasi pun belum diberikan kepada masyarakat lebih luas.

Hingga Rabu, 30 Juni 2021, vaksinasi dosis pertama di Indonesia baru mencapai 16,13% dari target penduduk yang divaksinasi oleh Kementerian Kesehatan, yaitu 181,5 juta penduduk. Untuk vaksinasi dosis kedua, capaian ini lebih parah lagi yaitu baru 7,42% dari target.

“Selama ini masih belum dapat dikendalikan, pasar perumahan masih tidak stabil dan berpotensi terpuruk lebih rendah dibandingkan tahun 2020,” kata Ali.

Insentif properti bisa sia-sia

Insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) 100% untuk properti bisa jadi sia-sia jika pengetatan pergerakan masyarakat dilakukan berkepanjangan.

Padahal, Kementerian Keuangan baru saja mengumumkan kebijakan ini akan diperpanjang hingga Desember 2021 dari sebelumnya hanya sampai Agustus 2021.

“Meskipun stimulus properti yang diberikan sangat signifikan berpotensi mengangkat pasar properti, namun belum dapat dipastikan sepenuhnya akan meningkatkan nilai transaksi bila situasi pengetatan berkepanjangan,” kata Ali.

Meski begitu, Ali merasa stimulus ini tetap menjadi salah satu generator utama untuk membuat pasar properti mengalami peningkatan ketika kondisi mereda.

Sebagai informasi, PPN DTP ini diberikan 100% untuk rumah tapak atau rumah susun dengan harga di bawah Rp2 miliar dan 50% untuk rumah dengan hargar Rp2miliar-Rp5 miliar.

Kebijakan ini berlaku untuk maksimal 1 unit rumah tapak atau rumah susun untuk 1 orang dan tidak boleh dijual kembali selama setahun serta sudah siap diserahkan secara fisik dalam periode pemberian insentif, yaitu hingga 31 Desember 2021.

Pengembang menengah-kecil masih terseok-seok

Di sisi lain, masih banyak pengembang menengah hingga kecil yang masih berjuang merestrukturisasi utangnya. Ali memperkirakan akan banyak pengembang yang harus gulung tikar jika restrukturisasi tidak diperpanjang karena saluran kas masuk pengembang yang terganggu.

Menurut Ali, beberapa proses akad dan pertanahan semakin terganggu dikarenakan banyak instansi melakukan WFH di tengah tingkat pandemi yang meninggi.

“Tanpa mengurangi optimisme yang ada, realitas tetap harus dipertimbangkan agar tidak kecolongan dari faktor-faktor negatif yang mungkin akan terdampak ke depan,” katanya.

Beberapa waktu lalu, Ali juga mengungkapkan pengembang menengah masih dalam kondisi terpuruk di tengah pandemi ini meski ada beberapa insentif.

“Pengembang menengah tidak punya ready stock. Dia gak bisa bangun karena berisiko untuk cashflow-nya,” ujarnya.

Selama tahun lalu hingga tahun ini, Ali mengatakan pengembang menengah mengandalkan restrukturisasi dari bank. Menurutnya, hampir 60% pengembang menengah yang restrukturisasi pada tahun lalu berisiko kolaps jika restrukturisasi tidak diperpanjang.

Meski begitu, kondisi ini masih berisiko untuk pengembang-pengembang menengah karena masih tergantung kondisi pandemi. Jika kondisi ekonomi memburuk dan pembelian properti anjlok lagi, akan ada risiko kredit macet. (RCS)