PPN Jadi 12 Persen, Generasi Z Takut Menatap 2025
- "Yang pasti hal pertama bakal ditakutkan itu biaya hidup akan makin mahal, terus kalau biaya hidup makin mahal bagaimana bisa nabung untuk beli hal-hal yang diinginkan?."
Makroekonomi
JAKARTA - Keputusan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% terus menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Para generasi Z khawatir jika kenaikan PPN ini akan menambah pengeluaran mereka.
Generasi Z (Gen Z) adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Generasi ini dikenal sebagai kelompok pertama yang tumbuh dengan dunia internet.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah generasi Z di Indonesia pada tahun 2023 adalah sekitar 74,93 juta jiwa atau 27,94% dari total populasi.
- Saham GOTO dan ADRO Perkasa di Pembukaan LQ45 Hari Ini
- Di Tengah Fluktuasi IHSG, Saham BBRI, EXCL hingga GOTO Bisa Jadi Peluang Menarik di 2025
- Begini Proyeksi Kinerja BBNI di 2025, Target Saham Tembus Rp6.200
Renna (27) seorang karyawan swasta di suatu e-commerce mengatakan jika kenaikan ini dirasakan agak berat. Ini mengingat gaji yang dia peroleh sangat pas-pasan untuk memenuhi hidup, apalagi ditambah adanya kenaikan PPN membuatnya memutar otak untuk mengatur kembali keuangannya hingga berhemat.
"Yang pasti hal pertama bakal ditakutkan itu biaya hidup akan makin mahal, terus kalau biaya hidup makin mahal bagaimana bisa nabung untuk beli hal-hal yang diinginkan?," katanya kepada TrenAsia.com pada Senin, 23 Desember 2024.
Wanita yang bekerja di salah satu e-commerce ini bercerita, dirinya merasa takut dengan kondisi ekonomi di 2025 yang dianggap tidak pasti. Renna melihat dinamika penurunan daya beli dan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK menjadi momok tambahan.
Alifa (26) termasuk salah satu masyarakat yang tak setuju adanya kenaikan PPN menjadi 12%. Menurutnya PPN akan membuat melonjaknya harga barang dan jasa secara keseluruhan, yang dapat mengurangi daya beli masyarakat terutama bagi kalangan menengah ke bawah termasuk dirinya.
"Meskipun pemerintah mengklaim bahwa barang-barang kebutuhan pokok akan tetap bebas PPN atau dikenakan tarif rendah, saya sangat meragukan efektivitasnya dalam jangka panjang. Harapan saya, pemerintah harus mengevaluasi kembali kebijakan ini agar tidak menambah tekanan ekonomi pada masyarakat," katanya.
Wanita yang bekerja di sebuah lembaga pemerintahan ini berkisah jika dirinya merupakan orang yang suka berbelanja. Jika PPN naik, dirinya mengaku perlu lebih bijaksana dalam mengatur pengeluaran diskon atau promo untuk mengurangi pengeluaran dan menjadi lebih selektif.
"Adaptasi terhadap kenaikan PPN ini membuat saya melakukan perencanaan keuangan yang lebih matang agar tetap bisa memenuhi kebutuhan tanpa terbebani oleh kenaikan harga," lanjut Alifa.
- Butuh Investasi US$20 Miliar, Industri Petrokimia Indonesia Perlu Dukungan Lebih Pemerintah
- Daftar HP Diblokir WhatsApp Mulai 1 Januari 2025
- ARTO Pimpin Penguatan 33 Saham, Menguat, LQ45 Hari Ini 23 Desember 2024 Ditutup di 835,75
Penerapan PPN 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan dirancang untuk menjaga keseimbangan fiskal tanpa membebani masyarakat menengah ke bawah.
Kenaikan PPN 12% diperkirakan bakal semakin memukul perekonomian masyarakat Indonesia. Kelas menengah diperkirakan akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan buntut kebijakan tersebut.
Jika dikalkulasi dalam setahun, kenaikan PPN berpotensi menambah pengeluaran kelas menengah hingga Rp4.251.516. Angka itu merujuk riset Center of Economic and Law Studies (Celios) yang dikutip TrenAsia.com, Senin, 2 Desember 2024.
Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan tambahan biaya tersebut bisa membuat kelas menengah semakin tercekik. Pasalnya, kenaikan PPN beriringan dengan rencana penerapan kebijakan lain seperti penghapusan subsidi BBM, program dana pensiun, asuransi kendaraan, aturan cukai hingga Tapera.