PR Besar Koperasi Kejar Ketertinggalan Aset dari Swasta dan BUMN
- Koperasi didorong menjadi salah satu pemain utama dalam perekonomian Indonesia di masa mendatang. Hingga kini, kontribusi koperasi pada perekonomian nasional masih sangat minim. Jumlah asetnya pun jauh tertinggal dibanding perusahaan swasta maupun BUMN.
IKNB
JAKARTA—Koperasi didorong menjadi salah satu pemain utama dalam perekonomian Indonesia di masa mendatang. Hingga kini, kontribusi koperasi pada perekonomian nasional masih sangat minim. Jumlah asetnya pun jauh tertinggal dibanding perusahaan swasta maupun BUMN.
Padahal, koperasi dahulu digadang-gadang menjadi sokoguru perekonomian nasional. Informasi yang dihimpun TrenAsia.com, peran koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) RI saat ini hanya 1,17%. Sebagai informasi, pemerintah menargetkan kontribusi koperasi terhadap PDB mencapai 5,5% pada 2024.
Setali tiga uang, jumlah aset koperasi pun masih ketinggalan jauh dibanding BUMN maupun perusahaan swasta. Data terakhir Kementerian Koperasi (Kemenkop), aset total lembaga tersebut hanya Rp281 triliun.
Angka ini jauh di bawah BUMN yang memiliki aset hingga Rp7.000 triliun dan swasta Rp10.000 triliun. “Ini tugas kita untuk menaikkan aset koperasi,” ujar Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop), Ferry Juliantono, dalam keterangan resmi usai mengikuti Rakernas Koperasi Jasa Tri Capital Investama (TC Invest), di Sentul, Jawa Barat, Senin, 6 Januari 2025.
Pihaknya mengapresiasi semangat transformasi yang ditunjukkan koperasi seperti TC Invest dalam menjawab tantangan zaman. Ferry meyakini aset koperasi bakal melesat di masa mendatang dengan inovasi dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Dengan aset yang besar, imbuhnya, koperasi dapat berperan lebih dalam perekonomian nasional. “Bagaimana koperasi menjadi sokoguru ekonomi nasional kalau asetnya hanya Rp281 triliun, sementara BUMN sudha Rp7.000 triliun, swasta Rp10.000 triliun,” tuturnya.
Jangan Inferior
Lebih lanjut, Kemenkop mendorong para pelaku koperasi tidak minder dalam menjalankan aktivitasnya. Ferry mendorong pegiat koperasi terus belajar dari koperasi yang telah sukses di dalam dan luar negeri. “Koperasi perlu menghilangkan sikap inferior, badan kita harus tegak. Koperasi-koperasi harus punya pabrik sendiri, seperti koperasi besar di luar negeri,” ujar Ferry.
Ketua Dewan Pengawas Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Said Abdullah, mengatakan koperasi perlu berkontribusi setidaknya seperempat dari PDB agar dapat menjadi sokoguru perekonomian nasional.
Jika PDB 2024 sekitar Rp22.000 triliun, maka koperasi setidaknya perlu berkontribusi sekitar Rp5.500 triliun. “Itu berarti lima kali lipat dari skalah koperasi saat ini jika merujuk target 2024 (5,5% dari PDB).” Said mencontohkan hampir 30.000 koperasi di Amerika Serikat memiliki aset total lebih dari US$3 triliun, setara 11% PDB AS pada 2023.
Sementara di Eropa, Said menyebut terdapat gabungan 83 koperasi dengan total 123 juta anggota koperasi individu yang memiliki 160.000 perusahaan koperasi dan menyediakan lapangan kerja bagi 5,4 juta warga negara setempat.
Dalam mendorong koperasi sebagai salah satu sokoguru perekomian nasional, Said menekankan beberapa pendekatan. Pertama, menghidupkan budaya berkoperasi sejak usia sekolah dasar hingga jenjang pendidikan tinggi.
Kedua, koperasi harus punya tata kelola yang transparan, akuntabel, inovatif, dan kompetitif. Ini mengingat permasalahan masa lalu ketika sekelompok orang mendirikan koperasi sekadar untuk menampung bantuan sosial dan ekonomi dari pemerintah.
Pembenahan tata kelola, imbuhnya, dapat membuat koperasi bersaing dengan perusahaan swasta dan BUMN. Ketiga, koperasi harus memiliki pasar atau konsumen dari anggotanya sendiri sebagai penopang dasar usaha. “Memang itu latar belakang didirikannya koperasi, yakni melayani kebutuhan anggota dan menghasilkan hasil usaha untuk anggota,” tuturnya.
Baca Juga: Pengamat: Budi Arie Gagal Lihat Problem Mendasar Koperasi
Sementara itu, pengamat koperasi, Suroto, menilai rendahnya kontribusi koperasi terhadap ekonomi nasional menunjukkan ada yang salah dalam regulasi dan kebijakan pemerintah.
“Saya melihat aturan pemerintah selama ini malah justru semakin membela kepentingan korporasi kapitalis ketimbang koperasi,” ujar Suroto pada TrenAsia.com, beberapa waktu lalu.
Suroto mengatakan problem paling mendasar yakni banyaknya UU yang cenderung diskriminatif terhadap badan hukum koperasi. Dalam banyak praktik kebijakan, Suroto menyebut koperasi kesulitan masuk dalam sektor bisnis tertentu. “Padahal koperasi juga merupakan badan hukum privat yang diakui negara,” ujarnya.
Dia kemudian menunjukkan UU BUMN, UU Rumah Sakit, hingga UU Penanaman Modal ( Asing) yang semuanya mewajibkan berbadan hukum Perseroan. Koperasi, imbuhnya, bahkan tak masuk dalam opsi sekalipun.
Hal ini membuat koperasi akhirnya terlempar dari sektor bisnis modern dan berkutat pada usaha simpan pinjam kecil-kecilan. Padahal di belahan dunia lain, Suroto menyebut layanan publik sudah banyak dikelola dalam model koperasi.
“Hal itu untuk memastikan pelayanan benar-benar berorientasi manfaat bagi banyak orang, bukan untuk mengejar keuntungan yang berakibat munculnya komersialisasi,” tutur lelaki yang juga CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) ini.