Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Terpilih Gibran Rakabuming Raka (Reuters/Kim Kyung-Hoon)
Nasional

Prabowo-Gibran Unggul, Mungkinkah Indonesia Bernasib Seperti Filipina?

  • Setelah hasil perhitungan cepat Pilpres 2024 menunjukkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memimpin, sejumlah pengamat mulai menyoroti potensi retaknya aliansi ini.
Nasional
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Hasil perhitungan cepat Pilpres 2024 menunjukkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memimpin. Namun, sejumlah pengamat mulai menyoroti potensi retaknya aliansi ini.

Mereka menduga kemungkinan perpecahan tersebut terlihat dari pola perkawinan antara dua dinasti yang diwakili oleh Prabowo dan Gibran, putra dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut mereka, pola ini menyerupai penyatuan dua dinasti di Filipina, yakni antara Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr dan wakilnya, Sara Duterte, yang merupakan putri dari mantan presiden Rodrigo Duterte. Perpaduan dua dinasti di Filipina tersebut mengalami retak, dan saat ini berada di ambang perpecahan.

Bagaimana Kesamaan Keduanya?

Sejak lama, Prabowo dan Bongbong selalu menimbulkan polemik karena sejarah keluarga mereka yang terhubung dengan kediktatoran. Mereka mewarisi banyak aspek dari masa kekuasaan tersebut, termasuk hak istimewa, posisi politik, kekayaan, dan ciri-ciri otoriter.

Beberapa pengamat percaya bahwa ciri-ciri ini sulit untuk diubah, sehingga masyarakat perlu waspada. Prabowo adalah menantu dari Soeharto, diktator yang memerintah Indonesia selama 32 tahun.

Selama masa pemerintahan Soeharto, Prabowo meraih kesuksesan dalam karier militernya, namun kontroversi senantiasa menghantuinya. Pada akhir masa Orde Baru, ia dituduh terlibat dalam penculikan aktivis, beberapa di antaranya masih belum ditemukan hingga saat ini.

Sementara itu, Bongbong adalah anak dari diktator yang memerintah Filipina selama hampir 21 tahun hingga 1986, yaitu Ferdinand Marcos. Pada masa pemerintahan Marcos, Bongbong mengisi berbagai posisi penting, termasuk sebagai gubernur di wilayah Ilocos Norte.

Selama masa pemerintahan Bongbong, terjadi setidaknya dua pembunuhan di luar hukum di daerah Ilocos Norte, seperti yang dilaporkan oleh Rappler. Setelah kejatuhan Soeharto dan Marcos, Prabowo dan Bongbong juga menghabiskan waktu diasingkan di luar negeri.

Prabowo tinggal di Yordania selama sekitar 3 tahun, sementara Bongbong tinggal di Amerika Serikat selama 5 tahun. Setelah kembali ke Indonesia dan Filipina masing-masing, mereka kembali terlibat dalam politik.

Saat menduduki berbagai jabatan dalam pemerintahan, keduanya tidak pernah lepas dari kontroversi. Bongbong sering kali dikaitkan dengan kasus korupsi, sementara sikap temperamental dan mudah meledak-ledak dari Prabowo sering menjadi sorotan.

Ambisi Menduduki Takhta Tertinggi

Dalam tengah segala kontroversi, keduanya memiliki hasrat yang sama untuk meraih kursi kepresidenan. Keduanya telah merasakan pahitnya kekalahan.

Prabowo pertama kali mengejar posisi kepresidenan pada Pemilu 2009, sebagai calon wakil presiden untuk Megawati Soekarnoputri. Pada Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo mencalonkan diri sebagai calon presiden, tetapi sekali lagi harus menelan kekalahan dari Jokowi.

Sementara itu, Bongbong pertama kali mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada pemilu 2016. Di Filipina, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara terpisah.

Pada saat itu, Bongbong mengalami kekalahan tipis dari calon wakil presiden Leni Robredo. Robredo kemudian menjadi wakil presiden di bawah kepresidenan Rodrigo Duterte. Dalam konteks politik Filipina, karena pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara terpisah, wakil presiden dapat menjadi bagian dari oposisi terhadap presiden, seperti yang dilakukan oleh Robredo terhadap Duterte.

Terkadang, capres dan cawapres melakukan kampanye bersama sebagai pasangan, meskipun pemilihan mereka tetap dilakukan secara terpisah. Pada pemilihan berikutnya pada 2022, Bongbong memutuskan untuk bermitra dengan putri Duterte, Sara Duterte, sebagai calon wakil presiden.

Sama seperti Jokowi di Indonesia, Duterte juga terdengar ingin mempertahankan kekuasaannya dengan mencalonkan Sara sebagai calon wakil presiden. Berkat popularitas yang masih tinggi dari Duterte, Sara memenangkan pemilihan dengan jumlah suara yang besar, mencapai 61,53%.

Suara Bongbong diyakini juga naik karena popularitas Duterte, meskipun akhirnya jumlah suaranya lebih rendah dari Sara, mencapai 58,77%. Kampanye yang dilakukan Bongbong dan Sara sangat disukai oleh kaum muda, dengan berbagai strategi yang menarik di media sosial, yang dianggap sebagai salah satu kunci kesuksesan mereka.

Meski demikian, beberapa pengamat telah memperingatkan Bongbong masih memiliki kecenderungan otoriter. Dugaan tersebut terbukti benar ketika Bongbong mulai menunjukkan sifat aslinya. Bulan madu antara kedua dinasti tersebut tidak berlangsung lama.

Pada akhir 2023, konflik antara Duterte dan Bongbong semakin memuncak dan semakin memburuk, membawa koalisi tersebut mendekati ambang perpecahan.

Akar masalahnya, Bongbong ingin merombak konstitusi Filipina guna membuka peluang perpanjangan masa jabatan presiden. Dia berargumen, perubahan tersebut diperlukan untuk menarik investasi asing demi memperkuat perekonomian.

Pada Desember 2023, Bongbong menyatakan perubahan konstitusi diperlukan demi dunia yang semakin terglobalisasi, seperti yang dilaporkan oleh Reuters. Sejak saat itu, Duterte dan keluarganya terus mengeluarkan kritik terbuka, menganggap tindakan Bongbong sebagai pengkhianatan.

Mereka menilai Bongbong hanya memanfaatkan popularitas Duterte untuk mencapai kekuasaan presiden, dan setelah mendapat dukungan, ia dianggap telah diabaikan. Duterte bahkan mengancam menggulingkan Bongbong sebagai tanggapannya.

Apakah Perpecahan Serupa Dapat Terjadi pada Prabowo-Gibran?

Banyak pihak khawatir skenario serupa bisa terulang, mirip dengan yang terjadi antara Jokowi dan Gibran, seperti yang dibahas dalam sebuah artikel BBC. Beberapa ahli memperingatkan Prabowo tidak pernah mengalami perubahan, meskipun dalam kampanye terakhir ia berusaha membangun citra yang lebih gemoy.

“Dorongannya, nalurinya, adalah menjadi xenofobia, menjadi pemimpin otoriter. Saya khawatir dia tidak berubah. Karakternya tidak berubah,” ucap peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono.

Sejumlah pengamat juga mencurigai Prabowo mungkin hanya memanfaatkan popularitas Jokowi untuk mencapai ambisinya menjadi presiden, yang sudah tertunda selama bertahun-tahun. Jika sudah berkuasa, Prabowo mungkin akan menganggap Jokowi tidak lagi relevan, dan mungkin akan mengikuti agenda pribadinya sendiri.

“Dalam masa pemerintahan yang berjalan lima tahun, kemungkinan atau peluang itu bisa saja terjadi, apalagi kalau ada realisasi komitmen yang tidak sesuai kesepakatan mereka,” jelas dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, kepada BBC News Indonesia.

Titi menggarisbawahi, Prabowo merupakan ketua umum Partai Gerindra, entitas yang tentu punya kepentingan sendiri.

“Sangat mungkin kepentingan Prabowo atau Gerindra tidak sejalan dengan kepentingan politik Gibran atau Jokowi sebagai pihak yang punya saham bagi kemenangan Prabowo,” tutur dia.

“Meski praktik selama ini Prabowo menunjukkan loyalitas yang besar dan konsisten pada Jokowi, tapi itu ketika Jokowi berkuasa. Saat Jokowi tidak berkuasa, bisa saja situasinya berubah.”

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, juga menganggap potensi keretakan tetap ada walau aliansi Prabowo-Jokowi sampai saat ini masih kuat.

“Tinggal tunggu berapa lama bulan madu dua kubu ini bertahan,” ujar Adi, kepada BBC News Indonesia.

“Meski harus diakui sampai hari ini keduanya sangat terlihat akur dan harmonis, tapi dalam politik, apa pun bisa terjadi. Jokowi dan PDIP saja bisa pisah jalan setelah 23 tahun bersama.”

Sementara, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menganggap iklim politik Indonesia dan Filipina berbeda.

“Di sana kan Duterte itu walau bagaimana pun nuansanya masih sosialis. Bongbong Marcos kapitalis, jadi mungkin masih ada sense ideologi kiri dan kanan,” kata Firman kepada BBC News Indonesia.

“Nah, kalau di Indonesia kan tidak ada ideologi seperti itu. Tidak kuat. Bisa bersatu karena kekuasaan, jadi saya kira akan langgeng-langgeng saja ini kelihatannya.”

Firman berkaca pada rekam jejak pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang tetap solid walau ada beberapa sandungan.

“Malah akan bertukar nantinya, akan seperti memberikan tongkat estafet. Sekarang Prabowo dapat tongkat estafet. Nanti dikasih ke Gibran untuk lima tahun berikutnya,” ucapnya.