Ilustrasi asuransi.
IKNB

Praktik Pembajakan Aktuaris di Industri Asuransi Gerogoti Perusahaan-perusahaan Kecil

  • Tidak sedikit perusahaan yang mengalami kehilangan aktuaris andalan akibat praktik pembajakan ini, yang berdampak pada pemenuhan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait kewajiban perusahaan asuransi untuk memiliki aktuaris.

IKNB

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Dalam beberapa waktu terakhir, praktik pembajakan aktuaris di industri asuransi umum menjadi isu yang kian mengemuka. 

Permintaan tinggi terhadap tenaga aktuaris, terutama mereka yang telah memiliki sertifikasi profesional, membuat persaingan antarperusahaan dalam merekrut dan mempertahankan aktuaris semakin ketat. 

Tidak sedikit perusahaan yang mengalami kehilangan aktuaris andalan akibat praktik pembajakan ini, yang berdampak pada pemenuhan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait kewajiban perusahaan asuransi untuk memiliki aktuaris.

Bern Dwiyanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), serta Wahyudin Rahman, praktisi manajemen risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), memberikan pandangan dan langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi fenomena ini.

Imbauan Asosiasi untuk Mencegah Pembajakan

Menurut Bern Dwiyanto, praktik pembajakan aktuaris menjadi perhatian utama bagi Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). 

Bern menjelaskan bahwa AAUI telah mengeluarkan imbauan kepada seluruh anggotanya agar tidak melakukan pembajakan terhadap aktuaris dari perusahaan lain, terutama menjelang akhir tahun ketika pemenuhan regulasi OJK menjadi semakin krusial.

"Kita selama ini mengimbau anggota kita jangan sampai ada pembajakan. Karena kalau aktuaris dibajak, perusahaan akan kehilangan tenaga yang sangat penting dalam memenuhi ketentuan OJK. Proses ini sangat berdampak pada perusahaan yang tadinya sudah memenuhi ketentuan, tapi kemudian tidak lagi," ujar Bern saat ditemui seusai konferensi pers Hari Asuransi ke-18 2024 di Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2024. 

Ia juga menambahkan bahwa komunikasi antara AAUI, Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI), dan OJK menjadi kunci dalam memediasi perusahaan yang kehilangan aktuaris akibat praktik pembajakan. 

Mediasi ini penting untuk memastikan bahwa perusahaan tetap dapat memenuhi kewajiban mereka, meskipun mungkin memerlukan waktu untuk merekrut aktuaris baru.

 Baca Juga: AAUI Cium Praktik Pembajakan Aktuaris di Industri Asuransi Umum

Kolaborasi dengan PAI dan OJK

Lebih lanjut, Bern menjelaskan bahwa AAUI terus berkoordinasi dengan PAI dan OJK untuk menangani situasi ini. Jika ada perusahaan yang terlibat dalam pembajakan aktuaris, asosiasi mencoba untuk memfasilitasi mediasi antara perusahaan yang terdampak dengan PAI dan OJK.

"Kami berkomunikasi dengan PAI dan OJK. Jika ada anggota yang terlibat dalam praktik pembajakan, kami coba mediasi supaya perusahaan bisa menyampaikan rencana pemenuhan aktuarisnya. Jika ada kesulitan dalam mencari aktuaris baru, perusahaan tetap harus menyusun rencana kerja untuk memenuhi ketentuan OJK," tambah Bern.

Namun, Bern juga menegaskan bahwa tidak ada sanksi formal yang dikeluarkan oleh AAUI terkait pembajakan ini. "Kami sih nggak ada sanksi, tapi kami keluarkan imbauan kepada anggota untuk tidak sampai melakukan pembajakan," katanya.

Tingginya Permintaan Aktuaris di Industri Asuransi

Wahyudin Rahman, seorang praktisi manajemen risiko sekaligus Ketua Umum Kupasi, mengonfirmasi bahwa permintaan terhadap aktuaris di industri asuransi umum memang sangat tinggi. 

Menurutnya, banyak perusahaan yang berusaha mempertahankan aktuaris mereka dengan menawarkan paket kompensasi yang sangat menarik, bahkan di beberapa kasus, gaji aktuaris bisa melampaui gaji direksi.

"Aktuaris yang dibajak ini biasanya yang berusia 40 tahun ke atas atau yang baru lulus dengan sertifikasi Fellow of Society of Actuaries of Indonesia (FSAI). Mereka sering kali ditawarkan gaji lebih tinggi oleh perusahaan lain. Bahkan, ada aktuaris yang gajinya lebih besar dari direksi," ungkap Wahyudin.

Ia juga menambahkan bahwa banyak perusahaan kecil kesulitan bersaing dalam merekrut aktuaris karena keterbatasan anggaran, sehingga mereka cenderung kehilangan aktuaris andalannya.

Solusi: Penguatan Kontrak dan Kode Etik

Untuk mengatasi masalah ini, Wahyudin menyarankan agar perusahaan memperkuat kontrak kerja dengan aktuaris, termasuk menetapkan penalti bagi aktuaris yang memutuskan untuk pindah ke perusahaan lain sebelum masa kontrak berakhir.

"Perusahaan harus memperkuat kontrak kerja aktuaris mereka dengan penalti yang jelas. Ini penting untuk mencegah mereka loncat ke perusahaan lain, apalagi dengan tawaran gaji yang lebih tinggi," ujar Wahyudin.

Di samping itu, Wahyudin juga menekankan pentingnya penguatan kode etik dalam profesi aktuaris. Ia menyebut bahwa PAI sudah mulai memperketat regulasi terkait kewajiban aktuaris untuk melapor di mana mereka bekerja, serta kewajiban untuk mengikuti fit and proper test yang mirip dengan standar yang diterapkan pada direksi perusahaan.

"PAI sekarang juga memperketat aturan fit and proper untuk aktuaris, sama seperti direksi perusahaan. Mereka harus melapor di mana mereka bekerja dan menjaga kode etik. Namun, saya rasa penerapan kode etik ini perlu diperkuat lagi untuk menghindari aktuaris yang sering loncat-loncat perusahaan," tutup Wahyudin.

Kesimpulan

Praktik pembajakan aktuaris di industri asuransi umum menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, terutama yang berskala kecil. Dalam menghadapi situasi ini, AAUI bersama PAI dan OJK berupaya memediasi dan memberikan solusi kepada perusahaan yang kehilangan aktuaris akibat pembajakan.

Namun, seiring tingginya permintaan terhadap aktuaris, terutama mereka yang telah mendapatkan sertifikasi profesional, diperlukan langkah-langkah lebih lanjut, seperti penguatan kontrak kerja dan penerapan kode etik yang lebih ketat, untuk melindungi perusahaan dari dampak negatif pembajakan aktuaris. Di sisi lain, perusahaan juga didorong untuk menjaga kesejahteraan dan kepuasan kerja aktuaris agar tetap bertahan di perusahaan mereka.