rafale.jpg
Dunia

Prancis Berpeluang Besar Geser Rusia Jadi Pengekspor Senjata Terbesar Kedua di Dunia

  • Antara 2018 hingga 2022 peran Prancis dalam perdagangan senjata global meningkat menjadi 11 persen. Dibandingkan dengan 7,1 persen selama periode empat tahun sebelumnya
Dunia
Amirudin Zuhri

Amirudin Zuhri

Author

PARIS-Bagi siapa pun yang mengikuti perdagangan senjata internasional akan tahu Prancis sedang naik daun. Dan negara ini berpotensi menggeser Rusia sebagia pengekspor senjata terbesar kedua di dunia setelah Amerik Serikat.

Pada 13 Juli 2023, New Dehli memberikan persetujuan awal untuk pesanan enam kapal selam Scorpène dan 26 jet Rafale untuk Angkatan Laut India. Dua minggu kemudian pada 25 Juli, surat kabar Prancis La Tribune melaporkan Qatar sedang mempertimbangkan untuk menambah 24 Rafale lagi.

France24 melaporkan Kamis 3 Agustus 2023, antara 2018 hingga 2022 peran Prancis dalam perdagangan senjata global meningkat menjadi 11 persen. Dibandingkan dengan 7,1 persen selama periode empat tahun sebelumnya. Ini berdasarkan laporan tahunan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang diterbitkan pada bulan Maret 2023. Pada periode yang sama, bagian Rusia dari perdagangan senjata internasional turun dari 22 menjadi 16 persen.

Pieter Wezeman, penulis laporan SIPRI menyebutkan tinjauan pesanan akhir tahun lalu dan sejauh ini di tahun 2023 menunjukkan pola ini akan berlanjut. “Trennya sangat jelas untuk Prancis,” katanya.Bahkan sebelum pesanan Rafale India pada bulan Juli, penilaian SIPRI menunjukkan  Prancis memperoleh keuntungan di pangsa pasar senjata Rusia.

Menurut data SIPRI, Prancis saat ini  memiliki total 210 pesawat tempur yang  sedang dipesan. Dan  Rusia baru memiliki 84. Angka-angka ini tentu saja dapat berubah, tetapi menurut  Wezeman data menunjukkan bahwa pasti Prancis akan tetap menjadi pengekspor senjata utama.

Alasan penurunan penjualan senjata Rusia beragam. Sebagian besar  terkait dengan perang di Ukraina. Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 berarti Moskow sekarang mendedikasikan lebih banyak pasokan senjatanya ke garis depan , menekankan pada sistem senjata tertentu dan fokus pada penggantian senjata yang hancur dalam pertempuran.

Tetapi juga ada faktor lain. Salah satunya sejumlah negara secara alami bertujuan untuk mendiversifikasi pemasok mereka.  Beberapa putaran sanksi internasional terhadap Rusia diyakini juga mempengaruhi kemampuannya untuk mengamankan bahan yang dibutuhkannya untuk produksi senjata. Ini pada akhirnya  merusak kapasitas ekspornya. 

Laporan dari garis depan di Ukraina juga merusak reputasi persenjataan buatan Rusia. Cullen Hendrix, seorang profesor urusan internasional di Universitas Denver pada Mei lalu mengatakan perang telah menjadi pameran sederhana untuk teknologi militer Rusia.  Dia menyebut gambar tank tanpa turret dan laporan tentang tingkat kegagalan yang tinggi untuk rudal Rusia mungkin merupakan sebagian propaganda masa perang. “Apapun  alasannya, perang di Ukraina belum menjadi iklan yang sangat menarik untuk teknologi militer terdepan Rusia,” tegas Hendrix.

Beberapa klien juga disebut kecewa dengan produk Rusia dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai importir senjata terbesar di dunia, India memiliki hubungan puluhan tahun dengan pemasok senjata Rusia. Wezeman dari SIPRI menyebut dalam hal teknis, India tidak terlalu senang dengan apa yang mereka terima  dari Rusia. Inilah mengapa  mereka beralih ke Prancis.

Pertimbangan politik juga penting. Menurut  Wezeman sejak awal perang  di Ukraina, India enggan untuk meningkatkan atau mempertahankan hubungan militer pada tingkat tinggi dengan Moskow.

Selain itu Amerika juga  mengerahkan banyak kekuatan pada negara-negara yang mendapatkan senjata  dari Rusia. Bahkan  sebelum perang Ukraina.  Wezeman mencontohkan  Indonesia yang harus   membatalkan pembelian Su-35  Rusia pada 2021. Jakarta kemudian  memilih opsi Prancis dan Amerika.

Tetapi Rusia masih memegang bagian terbesar dari kesepakatan senjata di Afrika. Dan dengan negara-negara seperti Iran dan China.

Rafale Tetap Andalan

Jet tempur Rafale buatan  Dassault Aviation telah memainkan peran penting dalam kesuksesan Prancis baru-baru ini. 

Pesawat ini masuk layanan pada awal tahun 2002. Dan  dibutuhkan waktu hingga 2015 sebelum Rafale pertama kali diekspor. Jet tempur bermesin ganda tersebut sekarang dimiliki dan dioperasikan oleh Yunani, Qatar, India, dan Mesir. Dan  diharapkan segera mendarat di Kroasia, Indonesia, dan Uni Emirat Arab  yang memesan 80 Rafale F4 Standar pada tahun 2021.

Pengiriman dan pesanan Rafale secara global telah mencapai hampir 500. Sekitar setengah dari pesaing utamanya  F-35 buatan Lockheed Martin Amerika.

Pesanan lain juga berpotensi dalam proses. Kolombia mendekati kesepakatan untuk 16 pesawat. Pada  saat yang sama  Serbia yang secara historis merupakan klien industri senjata Rusia  juga mengincar 12 pesawat.

Selain Rafale menjadi kontributor utama keberhasilan Prancis dalam perlombaan senjata global juga didorong terutama tiga fregat yang dibangun Navel Group Prancis. Kontrak  ditandatangani dengan Yunani pada tahun 2022.

Dengan pengecualian Yunani dan Kroasia, Prancis telah gagal memperoleh keuntungan besar di pasar senjata Eropa. Meskipun impor senjata benua itu meningkat secara signifikan sejak dimulainya perang di Ukraina.

Di antara negara-negara Eropa yang menjadi anggota NATO, ada preferensi yang kuat untuk Lockheed Martin F-35 karena kemampuannya untuk menjatuhkan bom nuklir buatan Amerika. 

Namun harga saham Dassault Aviation naik hampir dua kali lipat sejak Februari 2022, ketika Rusia menginvasi Ukraina. Meski sejumlah pihak mengatakan peningkatan kesepakatan senjata Prancis adalah hasil dari kebijakan jangka panjang dan sebelum invasi Rusia.

Prancis mengambil alih China sebagai pengekspor senjata terbesar ketiga di dunia pada tahun 2021. Laporan SIPRI tahun 2022 mendokumentasikan Prancis meningkatkan penjualannya sebesar 59 persen selama 10 tahun sebelumnya. Ini lebih banyak dari negara lain mana pun.

Apakah kini Prancis akan melampaui Rusia sebagai pengekspor senjata terbesar kedua? masih belum pasti. Pemasok lain, seperti Korea Selatan juga mengalami pertumbuhan yang signifikan.

Namun Wezeman dari SIPRI menyebut  kemungkinan itu sangat besar.  “Mungkin saja pada tahun 2024, 2025 atau 2026, Prancis menjadi sama dengan atau melampaui  ekspor senjata Rusia.”