jayabaya.jpg
Nasional

Presiden, Raja Jawa dan Pusaran Jangka Jayabaya

  • Satria piningit muncul dalam ramalan Jayabaya. Sebuah ramalan yang begitu berpengaruh dalam pola pikir orang Jawa.

Nasional

Amirudin Zuhri

JAKARTA- “Jokowi adalah Raja Jawa.” Kalimat itu sempat ramai beberapa waktu lalu. Terlepas dari bijaksana atau tidaknya kalimat itu, pernyataan tersebut menunjukkan ada alam bawah sadar yang menganggap presiden Indonesia adalah seorang raja.

Hari ini Minggu 20 Oktober 2024 Indonesia memiliki presiden baru. Prabowo Subianto  menggantikan Joko Widodo yang berkuasa 10 tahun. Dan setiap penggantian presiden, Indonesia berharap dia adalah satria piningit. Sosok yang akan membawa negeri ini ke puncak kemakmuran dan keadilan. 

Satria piningit muncul dalam ramalan Jayabaya. Sebuah ramalan yang begitu berpengaruh dalam pola pikir orang Jawa. Ramalan yang ada dalam kitab Jangka Jaya Baya. Nah, kali ini kita akan membahas apa sebarnya kitab Jangka Jayabaya. Apa sebenarnya isi kitab tersebut? Dan asal usulnya bagaimana. Mari kita bahas dengan mengutip sejumlah sumber.

Asal Usul Kitab Jangka Jayabaya

Kitab Jangka Jayabaya yang diyakini pertama dan asli adalah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu. Atau juga dikenal sebagai Pangeran Kadilangu II. Kitab ini ditulis sekitar tahun  1741-1743 M. Pangeran Wijil I disebut keturunan Sunan Kalijaga.

Tetapi kitab ini disebut bersumber pada kitab Kitab Asrar atau Musarar. Sebuah kitab karangan Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri ke-3 di Giri Kedaton. Naskah dikumpulkannya pada sekitar tahun 1618 Masehi. Ini berarti hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singasari yang ditulis di pulau Bali  tahun 1613 M. Melihat tahun penulisan Kitab Musarar maka penulisan dilakukan pada era Sultan Agung dari Mataram yang bertakhta 1613-1645 M.

Meski ditulis zaman Mataram Kitab Musarar disebut adalah gubahan dari sebuah naskah tua yang dibuat Jayabaya.  Sekalipun ada keraguan keasliannya, sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuatnya. Disebutkan kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa. Musuh musuh takut dan takluk, tak ada yang berani. Catatan sejarah menunjukkan Jayabaya berkuasa di Kediri tahun 1135 -1159 Masehi. Atau sekitar 450 tahun sebelum Sunan Giri ke-3 menggubah Kitab Muasar.

Sedikit kita bicara soal Giri Kedhaton.  Kerajaan ini tampaknya merupakan zaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M. Yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak pada 1481 M. 

Sejak Raden Patah naik tahta Sunan Ratu dari Giri kedaton ini lalu turun tahta kerajaan. Karena Raden Patah dianggap sebagai Ratu seluruh wilayah Jawa, Namun demikian keraton Islam di Giri ini masih ada meski bersifat hakikatdan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3. Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena ditaklukkan oleh Sultan Agung dari Mataram.

Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi. Yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya. Atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. 

Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan Hadiwjaya dan memindah kerajaan ke Pajang. Kerajaan ini tidak bertahan lama kemudian digantikan Sundarowang atau Mataram yang mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Agunung Hanyokro Kusumo. 

Di kemudian hari ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini,  akan muncul seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini. Dia adalah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.

Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan. Yakni sesudah dia turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya. Tetapi itu akan terjadi di zaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja penggantinya dinilai secara pandangan batin sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi.  Hal ini kemudian dikaitkan dengan fakta pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung. Perlu dicatat Sultan Agung pernah menyerang VOC di Batavia tahun 1628 & 1629.

Oleh Pujangga, Kitab Musarar kemudian digubah dan dibentuk lagi dengan menambahkan pandangan atau ramalan Sultan Agung yang kemudian melahirkan Kitab Jangka Jayabaya yang ditulis Pangeran Kadlingangu II. Kitab ini juga mengambil sejumlah istilah atau nama yang Nama dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun  1157 M.  Sampai di sini mulai jelas bagaimana sebenarnya asal usul Kitab Jangka Jaya baya tersebut.

Inti dari Kitab Musarar dan Jangka Jayabaya sama. Yakni menggambarkan peralihan masa di Pulau Jawa. Tetapi menggunakan cara yang berbeda. Akhir cerita dari kedua ini juga sama. Yakni munculnya zaman Kalabendu yang penuh kekacauan. Dan akhirnya muncullah sosok penyelamat yang disebut sebagai Satria Piningit. Keduanya juga ditulis dalam bentuk syair dan tembang.

Tetapi Kitab Musarar lebih fokus pada masa peralihan raja-raja. Sementara Kitab Jangka Jayabaya lebih menggunakan gambaran situasional tentang masa-masa tersebut.

Kitab Musarar

Sekarang kita lihat Kitab Musarar terlebih dahulu. Ramalan dalam Kitab Musarar sendiri disebut diciptakan Jayabaya setelah dia mendapat tamu seorang seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maulana. Atau juga disebut Ngali Samsujen.  Saat pertemuan keduanya Sunan Maulana   kemudian memberi petuah. Maulana mengatakan Kerajaan milik Jayabaya hanya tinggal tiga kali lagi kemudian akan diganti oleh orang lain.  Prabu Jayabaya menerima baik saran terebut.

Setelah berpisah dengan Sunan Maulana, Jayabaya kemudian pergi ke Gunung Padang bersama putranya. Di san dia bertemu dengan Ajar Subrata yang menyambutnya dengan sejumlah sesaji dan endang atau gadis. Sesaji inilah yang kemudian jadi dasar ramalan Jayabaya tentang masa depan Jawa setelah dia pergi.

Ramalan Jayabaya dalam Kitab Musarar dibuat dalam bentung tembang sinom. Bagian pertama menyebutkan bahwa dia akan menitis tiga kali sebelum ada zaman baru lagi. Tiga generasi itu adalah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan Jayabaya. 

Setelah 100 tahun keempat kerajaan tersebut musnah. Kemudian ada zaman lagi yang bukan milik Jayabaya. Dia menyebutkan akan ada zaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran.  Setelah seratus tahun kerajaan itu musnah. Kemudian berganti zaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya. Masanya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu atau 80 tahun. Hasil negara berupa picis (uang). 

Kemudian berganti zaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibu kota di Demak. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya. Pajak rakyat berupa uang.  65 tahun kemudian musnah.  

Kemudian berganti zaman Kalajangga yang beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya, 36 tahun kemudian musnah. Kemudian berganti zaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma. 

Raja yang dikenal kuat dan disegani di seluruh Jawa. Wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda atau orang asing yang datang berdagang. 

Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang sehingga terpandang di pulau Jawa. Zaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibu kota di Pajang. Tidak lama kemudian berganti. Dan ini dianggap era akhir zaman kerajaan di Jawa.

Lama setelah itu muncul rajanya yang disimbolkan sebagai Lung gadung rara nglikasi. Atau Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita. Dia kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki. Raja yang disegani dan ditakuti, namun nista.  Selama enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.

Disebutkan waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak. Kemudian berganti zaman Kutila yang diisi beberapa raja yang disebut Rajanya Kara Murka. Atau raja-raja yang saling balas dendam. 

Pada era ini kitab itu menyebutkan makhoda atau orang asing ikut serta memerintah. Mereka punya keberanian dan kaya. Sarjana atau orang arif dan bijak tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. 

Raja terakhir di era ini kemungkinan adalah raja dengan lambang Rara ngangsu, randa loro nututi pijer tetuker atau  Ratu yang selalu diikuti dua  wanita tua yang ingin menggantikannya. Raja ini tidak berkesempatan menghias diri atau tidak sempat mengatur negara karena banyaknya masalah yang merepotkan. Ini dilambangkan dengan kalimat sinjang kemben tan tinoleh. Dan inilah lambang yang menurut Sunan Maulana datangnya Kala Bendu. Dikatakan di Semarang Tembayat itulah yang mengerti atau memahami lambang tersebut.

Pada masa ini pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. Orang jahat makin menjadi-jadi.  Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.

Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua. Wanita hilang kehormatannya. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah.

Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Dan kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.

Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang. Atau Raja berhati putih namun masih tersembunyi. Dikatakan dia lahir di bumi Mekah yang menggambarkan orang Islam yang sangat bertauhid. Dia menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan. Maka  redalah kesengsaraan di bumi.

Raja  tersebut berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa. Dia adalah orang  Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran.  Waktu itu keadilan benar-benar tercipta. Itulah akhir dari ramalan Jayabaya yang ada dalam Kitab Musarar. 

Kitab Jangka Jayabaya?

Ramalan di kitab ini lebih menyoroti rusaknya situasi dan tatanan sosial masyarakat. Sampai kemudian muncul zaman kalabendu.  Hal itu terungkap dalam bait-bait terakhir Jangka Jaya Baya. Disebutkan orang jawa kaya gabah diinteri atau diombang-ambingkan ke mana-mana.  Tidak tahu mana yang benar mana yang sejati. Kaum agama ketakutan mengajarkan kebaikan karena salah-salah bisa mati.

Banjir besar terjadi di mana-mana. Gunung meletus dengan korban besar. ora edan ora kumanan. sing waras padha nggagas. wong tani padha ditaleni,  wong dora padha ura-ura. beja-bejane sing lali, isih beja kang eling lan waspadha.

Ratu tau raja dikatakan tidak menepati janji. Perbawanya musnah. Banyak rumah tinggi, orang makan orang, orang suka makan besi dan kayu  karena dirasa enak seperti roti bolu. Sebuah perlambang korupsi. 

Masih banyak lagi gambaran sulitnya situasi. Wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil atau orang waras dan adil hidupnya sengasara. Sing ora bisa maling digethingi. Yang tidak bisa mencuri dibenci. Sing pinter duraka dadi kanca. Yang pintar berbohong jadi teman. Wong bener sangsaya thenger-thenger,  wong salah sangsaya bungah.  Orang benar tidak berdaya orang salah makin bahagia.

Banyak orang janji tetapi tidak dietapi. Banyak yang melanggar sumpahnya sendir. Tidak mempedulikan hukum tuhan. Barang jahat diangkat-angkat. Barang barang suci dibenci.

Dan itulah tanda zaman Kalabendu. Hingga akhirnya munculah satria piningit. Dia digambarkan sebagai putra dari  Bethara Indra . Dia akan muncul dari kaki Lawu sisi Timur dan bersenjatakan trisula. Dialah yang akan mengakhiri penderitaan Jawa. Rakyat bergemira karena adilnya raja tersebut. Disebutkan raja itu yang menyembah rakyat. Bukan sebaliknya. 

Jadi itulah ramalan Jayabaya yang diambil dari dua kitab yakni Musarar dan Jangka Jayabaya. Anda boleh percaya boleh tidak. Yang jelas kuasa di tangan Allah. Tuhan semesta alam.