Prinsip Keadilan dan Titik Temu Kenaikan Cukai Rokok
JAKARTA – Beberapa hari lalu, beredar kabar bahwa pemerintah hendak menaikkan tarif cukai rokok pada 2021. Kabar ini dengan cepat bergulir menjadi isu yang berdampak negatif kepada pelaku usaha dan pertanian di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT). Tidak tanggung-tanggung, kabar besaran kenaikan cukai yang beredar mulai dari 17% hingga 19%. Angka mencekik ini praktis menjadi pukulan […]
Industri
JAKARTA – Beberapa hari lalu, beredar kabar bahwa pemerintah hendak menaikkan tarif cukai rokok pada 2021. Kabar ini dengan cepat bergulir menjadi isu yang berdampak negatif kepada pelaku usaha dan pertanian di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT).
Tidak tanggung-tanggung, kabar besaran kenaikan cukai yang beredar mulai dari 17% hingga 19%. Angka mencekik ini praktis menjadi pukulan telak bagi pelaku IHT dan petani.
Tidak dimungkiri, saat ini IHT sudah megap-megap dengan himpitan krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19. Selain itu, IHT juga menanggung beban kenaikan cukai sebesar 23%, serta ketentuan minimum harga jual eceran (HJE) yang naik sebesar 35%.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Secara historis, biasanya kenaikan tarif cukai memang terjadi tiap tahun. Namun, kenaikan tersebut terjadi saat situasi ekonomi normal. Sementara, saat ini pandemi COVID-19 menurunkan daya beli dan pendapatan masyarakat sekaligus.
Berdasarkan data MUC Tax Research, pemerintahan Presiden Joko Widodo tercatat telah menaikkan tarif cukai rokok hingga 50% selama menjabat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada 2015, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72%.
Lalu pada 2016, 2017, dan 2018 masing-masing sebesar 11,19%, 10,54% dan 10,04% sehingga total 40,49%. Tahun 2019, pemerintah memang tidak menaikkan tarif cukai rokok, disinyalir karena pengaruh tahun politik yang memanas jelang pemilihan presiden.
Namun, pada 2020, pemerintah justru merapel menaikkan cukai rokok hingga 23%, sehingga sejak 2015-2020 kenaikannya mencapai 63,49%.
Sebelum isu kenaikan cukai santer terdengar, pemerintah sebetulnya sudah terang-terangan bakal menaikkan target penerimaan cukai tahun depan. Dalam anggaran penerimaan dan bealanja negara (APBN) 2021, penerimaan kepabeanan dan cukai pada tahun 2021 diekspektasikan masih mampu tumbuh hingga 3,8% year on year (yoy).
Secara lebih rinci, cukai tembakau ditargetkan naik dari Rp 164,9 triliun ke Rp 172,76 triliun atau naik 4,8%.
Tak Beralasan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 17% tidak memiliki argumentasi yang kuat karena melanggar formula kenaikan harga komoditas.
Formula yang dimaksud adalah rumus kenaikan harga komoditas yakni menambahkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ketidaksesuaian terjadi karena rencana kenaikan tarif CHT muncul di tengah deflasi dan negatifnya pertumbuhan ekonomi.
“Secara formulasi dan reasoning itu tidak ada argumentasi untuk dinaikkan cukainya,” kata Enny pada TrenAsia.com, Kamis 22 Oktober 2020.
Enny menilai, rencana kenaikan tarif cukai tahun ini akan berimplikasi besar pada kerugian banyak pihak, baik konsumen, petani, industri, dan negara secara ekonomi maupun kesehatan. Pemerintah justru akan kehilangan aspek kemanfaatan dari kenaikan cukai itu sendiri.
Rugikan Banyak Pihak
Pertama, konsekuensi nyata dari kenaikan tarif cukai adalah potensi gempuran rokok ilegal. Menurutnya, kenaikan tarif CHT secara tidak langsung memberikan ruang bagi rokok ilegal. Karena pemerintah berencana menaikkan tarif CHT di tengah kondisi daya beli masyarakat yang lemah.
“Insetif untuk rokok ilegal jadi tinggi, karena biaya rokok itu 78% untuk regulasi, masuknya ke penerimaan negara. Rokok ilegal kan nggak bayar itu, maka akan sangat murah sekali harganya. Sesederhana itu,” tambah Enny.
Kedua, kenaikan cukai akan mengganggu keberlangsungan ekosistem industri hasil tembakau (IHT). Dalam hal ini, bukan hanya industri rokok yang dirugikan, tetapi dari hulu ke hilir, mulai dari petani tembakau sampai konsumen akhir.
“Yang jelas, kalau cukainya naik, harga tembakau petani akan makin ditekan, petani kita nggak punya bargaining power,” tuturnya.
Ketiga, efektivitas cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi rokok juga tidak akan optimal. Hal itu dikarenakan cukai yang tinggi membuka peluang untuk masuknya rokok ilegal, artinya, konsumsi tetap tinggi sementara potensi penerimaan negara hilang.
“Saya setuju pengendalian tembakau harus ada, tapi kenaikan cukai itu bukan satu-satunya instrumen,” tambahnya.
Petani Menjerit
Sebagai pemain di sektor hulu, petani tembakau juga ikut protes terkait adanya isu kenaikan tarif cukai yang eksesif. Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak keras adanya wacana kenaikan cukai rokok.
Asosiasi menilai kenaikan CHT merupakan bentuk penyiksaan pemerintah terhadap rakyat, terlebih petani tembakau dan cengkih. Kenaikan cukai yang eksesif tahun ini, berdampak pada penurunan serapan bahan baku sebesar 30%-40%.
Penurunan serapan ini lagi-lagi dikarenakan adanya penurunan volume produksi dari pabrikan.
Ketua Umum APTI, Agus Pamuji mengungkapkan, tahun ini saja perekonomian petani tembakau sudah hancur akibat harga jual tembakau yang rendah. Jika benar akan ada kenaikan harga cukai, ia memastikan kehidupan ekonomi rakyat pertembakauan Tanah Air akan semakin parah.
“Hasil kami merugi, jangankan untuk melanjutkan pertanian lagi, untuk hidup saja susah. Itu disebabkan salah satunya dari faktor cukai tahun ini yang sudah naik 23 persen,” ujarnya saat dihubungi TrenAsia.com.
Menurutnya, pemerintah hanya sepihak dalam mengambil keputusan tersebut. Agus mengaku, pihaknya juga tidak pernah dilibatkan dalam wacana kenaikan cukai rokok ini.
“Lalu kalau penyerapan industri tembakau melemah, apa pemerintah mau beli hasil tembakau kami?” tambahnya.
Pengusaha Kalang Kabut
Tidak hanya menampar petani, kabar kenaikan CHT juga makin menyesakkan bagi pelaku usaha rokok. Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Muhaimin Moefti berharap isu kenaikan tarif CHT tidaklah benar.
Ia meminta pemerintah memberikan waktu pemulihan bagi pelaku industri. “Jangan sampai dihantam lagi dengan kenaikan cukai yang tinggi. Buat kami, kalau benar naik 19% itu tinggi sekali, sangat berat,” kata Muhaimin kepada TrenAsia.com.
Merujuk data Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), pada masa pandemi sektor IHT telah mengalami kontraksi cukup dalam sebesar 10,84% secara tahunan. Bahkan pada kuartal kedua, IHT mengalami kontraksi 17,59% akibat menurunnya produksi rokok.
Padahal, sektor IHT memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara. Cukai rokok menyumbang hingga 97% dari total keseluruhan penerimaan cukai serta menyumbang hingga 11% dari total APBN.
Bahkan di saat penerimaan negara tersendat akibat dampak COVID-19, realisasi penerimaan cukai sepanjang Januari-September 2020 tetap tumbuh 7,24% yoy.
Koordinator KNPK, Azami Mohammad mengungkapkan, kenaikan tarif cukai untuk menambah penerimaan hampir tidak mungkin terjadi. Pasalnya, kata dia, pasti akan ada titik optimum di mana industri tidak sanggup lagi membayar cukai atau mengalami diminishing return (penurunan pendapatan).
“Pemerintah harus bijak, jangan terus-terusan ditekan dengan kebijakan tarif cukai yang eksesif. Nantinya jika sektor IHT tumbang, maka potensi lost penerimaan negara sangat besar. Sekarang saja setidaknya butuh waktu sekitar 2 tahunan untuk bisa pulih dari krisis akibat kenaikan cukai yang eksesif dan pandemi COVID-19,” tandas Azami.
Di sisi ketenagakerjaan, berdasarkan hasil survei dari para peneliti Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung memperlihatkan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di Jawa Timur.
Di wilayah Pandaan sudah terjadi 851 PHK, lalu di Kediri terdapat 1.327 buruh pabrik yang terkena PHK. Data ini belum mencakup wilayah-wilayah lain yang menjadi sentra produksi rokok di Indonesia.
Kenaikan Cukai yang Berkeadilan
Sebagai pengusaha rokok, Muhaimin menyebut jikalau tarif cukai harus dinaikkan, ia berharap kenaikannya tidak sampai 10%.
“Kasih kami kesempatan untuk recovery-lah. Kalau mau ada kenaikan ya yang wajar, sesuai dengan inflasi. Kalaupun naik jangan sampai 10 persen, 6 persen misalnya,” ujar Muhaimin.
Senada dengan Muhamin, petani juga sepakat dengan adanya kenaikan cukai yang berkeadilan. Bagi Agus Pamuji, kenaikan cukai rokok silakan saja asal pemerintah mempertimbangkan adanya komponen kecil yang harus diperhatikan seperti petani dan buruh tani tembakau.
“Ya kalau misal naik maksimal 5 persen mungkin itu angka wajar. Pemerintah masih untung, petani tidak bingung. Jangan sampai kebijakan yang di paketkan akan menjadi arena kesaktian petani tembakau yang mengakibatkan kerusuhan,” ungkapnya.
Mempertimbangkan formula kenaikan harga komoditas yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan penerimaan negara. Sejumlah pihak menganggap harusnya pemerintah bahkan tidak menaikan tarif cukai rokok tahun ini, mengingat semua komponen formula tercatat negatif dan krisis akibat pandemi COVID-19.
Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan telah terjadi deflasi selama tiga kali berturut-turut pada kuartal III-2020 terakhir sebesar -0,05% pada September. Kemudian, BPS juga menyampaikan pertumbuhan ekonomi nasional kontraksi hingga 5,32% pada kuartal II-2020.
Artinya, sangat nyata bahwa dampak pandemi COVID-19 masih terus mendera perekonomian. Sehingga Muhaimin meminta pemerintah memberikan relaksasi bagi IHT untuk ‘sembuh’ dari kenaikan cukai tahun lalu dan juga pelemahan ekonomi saat ini.
Meskipun IHT telah mendapatkan sejumlah insentif dari pemerintah seperti penundaan pembayaran pita cukai serta izin operasional produksi. Akan tetapi, sejumlah pembatasan yang berlaku tetap berpengaruh pada penurunan volume produksi dan penjualan.
Nasib Segmen SKT
Tidak hanya memberatkan dari segi ekonomi, rencana kenaikan tarif CHT juga membayangi sektor ketenagakerjaan di IHT, khususnya pada segmen SKT. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, pada 2019 serapan tenaga kerja IHT mencapai 4,28 juta pekerja di industri manufaktur dan distribusinya serta 1,7 juta pekerja di perkebunan tembakau.
Jumlah ini menempatkan sektor tembakau menjadi sektor kelima terbesar di Tanah Air dalam hal penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan tingginya kontribusi IHT pada penyerapan tenaga kerja, Muhamimin berharap pemerintah dapat memberikan perlindungan lebih pada SKT.
Lebih lanjut Enny juga menegaskan bahwa segmen SKT tetap harus dilindungi. Tidak hanya karena SKT menyerap banyak tenaga kerja, namun juga karena permintaan pasar juga mulai bergeser ke SPM dan SKM.
“Sehingga, kalau SKM dan SPM dinaikkan dan SKT nggak, itu ada bagusnya juga untuk mencegah migrasi semua ke mesin.”
Muhaimin juga menilai, sekalipun pemerintah tetap menaikkan cukai rokok tahun ini, ia berharap SKT mendapat insentif lebih alias tidak ikut dinaikkan.
“Tentunya seperti biasanya ya, SKT kan menggunakan banyak tenaga kerja jadi harus ada perbedaan. Kalau tadi misalnya naik 6 persen, SKT nggak perlu naik karena harus lebih dilindungi,” ungkap Muhaimin.
Tanggapan DPR
Dimintai pendapat soal ini, Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Amin Ak menyatakan kenaikan CHT dapat berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Hal ini berakibat pada penerimaan cukai dari produk hasil tembakau tidak dapat terserap secara maksimal.
“Untuk itu, pemerintah harus dapat mengawasi peredaran rokok ilegal,” ujarnya saat dikonfirmasi TrenAsia.com.
Amin bilang, pemerintah juga harus dapat mengendalikan impor tembakau. Hal ini agar tembakau hasil petani lokal dapat diserap industri secara maksimal. Ia merujuk data yang dipublikasikan oleh BPS, pada tahun 2019 impor tembakau mencapai 110,92 ton per tahun.
“Adanya kebijakan pemerintahan Jokowi (Joko Widodo) untuk menaikkan cukai rokok sejak 2015 harus diimbangi dengan upaya pemerintah untuk dapat menciptakan produk turunan hasil tembakau selain rokok. Hal ini agar petani tembakau dapat terlindungi dan terus produktif,” tegasnya.
Ia menambahkan, di tengah pandemi COVID-19 saat ini, proporsi target kenaikan cukai rokok diharapkan dapat dialokasikan lebih banyak untuk sektor kesehatan.
Berdasarkan catatan Dirjen Bea Cukai Kemenkeu, realisasi CHT selama Januari-September 2020 sebesar Rp111,46 triliun. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan sebesar 8,53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu senilai Rp102,7 triliun.
Bila dibandingkan dengan outlook penerimaan cukai rokok sepanjang 2020, realisasi penerimaan CHT selama Januari-September 2020 setara dengan 67,57% dari Rp 164,94 triliun.
“Jika melihat perolehan CHT sepanjang Januari-September 2020, seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani tembakau melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT),” pungkasnya.
Pemerintah Masih Pertimbangkan
Di sisi lain, pemerintah hingga kini belum mengetuk palu soal kebijakan tarif CHT 2021. Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi mengatakan keputusan itu belum diketok karena mempertimbangkan dampak pandemi yang berpengaruh terhadap industri rokok.
“Pemerintah tentunya sangat berhati-hati dalam merumuskan kebijakan tarif,” kata dia dalam jumpa pers virtual terkait APBN edisi Oktober di Jakarta, Senin, 19 Oktober 2020.
Menurut dia, pemerintah harus mengkoordinasikan beberapa kepentingan. Alasannya, mengingat industri ini mempekerjakan banyak tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung. Meski begitu, lanjut dia, pemerintah juga memiliki tujuan utama pengendalian rokok, terutama perokok usia muda.
“Sehingga ini perlu kehati-hatian dan tambahan waktu. Mudah-mudahan ini segera bisa keluar dan bisa diumumkan,” imbuhnya.