Pro-Kontra Wajib Lapor Transaksi di Atas Rp500 Juta, Industri Properti Mewah Terpukul?
Pengembang yang bakal menawarkan unit propertinya diwajibkan menanyakan asal-usul atau sumber dana yang digunakan oleh konsumen untuk pembayaran transaksi itu nantinya. Alhasil, tak sedikit calon konsumen properti mundur ketika ditanyakan hal-hal sesuai ketentuan UU 8/2010.
Industri
JAKARTA – Regulasi mengenai pelaporan asal-usul dana dalam setiap transaksi di atas Rp500 juta dituangkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Kebijakan ini disahkan dan diundangkan sejak 22 Oktober 2010 silam.
Menurut keterangan resmi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dengan berlakunya UU 8/2010, pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang lebih komprehensif, cakupannya lebih luas, dan ruang interpretasi lebih dipersempit.
“Beberapa terobosan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 antara lain perluasan pihak pelapor serta perluasan jenis laporan, penghentian sementara dan penundaan transaksi serta non-conviction based asset forfeiture (perampasan aset tanpa pemidanaan),” jelas PPATK dikutip dalam situs resmi, Rabu, 9 September 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Pada regulasi tersebut, Pasal 27 menegaskan bahwa penyedia barang dan/atau jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan transaksi yang dilakukan oleh pengguna jasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp500 juta kepada PPATK.
Industri Properti Terhantam
Aturan ini membuat industri properti terkena dampak. Ketentuan yang bertujuan untuk mencegah pencucian uang ini memang sudah lama berlaku. Namun dalam kondisi pandemi COVID-19 ini, regulasi itu dinilai semakin memperparah kondisi pasar properti Tanah Air.
Pengembang yang bakal menawarkan unit propertinya diwajibkan menanyakan asal-usul atau sumber dana yang digunakan oleh konsumen untuk pembayaran transaksi itu nantinya. Alhasil, tak sedikit calon konsumen properti mundur ketika ditanyakan hal-hal sesuai ketentuan UU 8/2010.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida mengatakan banyak calon konsumennya gugur ketika diberikan surat pernyataan terkait sumber dana yang digunakan untuk pembayaran dalam transaksi tersebut.
“Orang yang minat begitu kami tunjukkan form surat pernyataan itu banyak yang membatalkan, bisa 50 persen dari orang yang mau transaksi. Misal datang empat orang, terus kami sodori, yang dua batal. Katanya oh nanti saja,” tutur Totok di Jakarta.
Menurut Totok, kondisi itu membuat perputaran uang yang harusnya besar, menjadi tidak maksimal. Dia coba mencari tahu penyebab dari gugurnya minat konsumen untuk membeli properti itu. Setelah bertanya lebih jauh kepada calon konsumen, sebagian besar mengaku terkendala karena tidak melaporkan pajak dari hasil pendapatannya selama ini.
Totok mengakui program pengampunan pajak alias tax amnesty beberapa tahun lalu bisa menjadi penolong. Saat itu banyak yang mengikuti program ini. Namun, tidak sedikit juga yang ragu, khawatir jika justru nantinya tersandung kasus. Keraguan itulah yang berpengaruh terhadap keputusan berinvestasi properti saat ini.
Dia menilai dalam kondisi seperti ini, seharusnya kinerja industri properti yang lesu bisa diatasi dengan regulasi yang mendukung. Ia melihat banyak masyarakat memiliki ketertarikan untuk membeli atau berinvestasi dalam properti. “Sayangnya itu tidak terjadi karena khawatir terkena kasus pelaporan pajak,” tuturnya.
Totok berharap pemerintah dapat mengeluarkan program pemutihan denda pajak atau yang dikenal dengan sebutan sunset policy. “Bukan tax amnesty, tapi sunset policy. Karena tax amnesty membuat masyarakat ragu. Karena berlakunya begitu mutlak, ini bener apa enggak, nanti bohong-bohongan,” ungkap dia.
Kebijakan soal wajib lapor transaksi ini memang sudah lama berlaku. Namun dalam kondisi pasar properti yang saat ini sudah tertekan akibat pandemi corona saat ini, aturan itu menjadi krusial bagi pengembang.
Penjualan Rumah Jeblok
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), tercatat penjualan rumah baru pada triwulan II-2020 mengalami penurunan tajam secara tahunan. Meski memang, penurunan penjualan properti itu masih lebih baik dibandingkan dengan kuartal I-2020. Pemicu menurunnya penjualan tersebut, salah satunya karena banyak yang membatalkan pembelian properti.
Pada kuartal II-2020 penjualan rumah mengalami kontraksi hingga 25,6% (year on year/yoy). Angka ini masih lebih baik dari kuartal I-2020 yang anjlok sampai 43,19% secara tahunan. Namun, secara triwulanan penjualan rumah ini terbilang masih tumbuh 10,14%.
BI juga menjelaskan bahwa terjadi pembatalan transaksi penjualan oleh konsumen sebanyak 10% dari total unit terjual pada triwulan kedua tahun ini. Penyumbang terbesar dari pembatalan transaksi itu berasal dari segmen menengah ke bawah untuk rumah tipe kecil. Jumlahnya mencapai 64% dari total kesuruhan.
Berdasarkan data BI tersebut, artinya penyumbang terbesar dalam pembatalan transaksi penjulan properti secara nasional adalah segmen rumah di bawah Rp500 juta. Segmen menengah atas atau properti dengan harga di atas Rp500 juta hanya berkontribusi sebesar 36%.
Hal ini terbukti dengan penjualan properti kelas menengah ke atas milik PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) yang melonjak pada saat pandemi. Direktur Agung Podomoro Land (APL) Agung Wirajaya mengatakan peningkatan itu mulai terjadi pada bulan April 2020.
“Setelah adanya pandemi COVID-19 ini ternyata minat konsumen terhadap properti yang bernuansa alam, kawasan hijau di sub-urban semakin tinggi. Penjualan hampir semua proyek properti APL di kawasan sub-urban meningkat sejak April 2020,” kata Agung.
Salah satu properti yang laris diserbu pembeli yaitu Podomoro Golf View. Pada situs resminya, perusahaan properti milik konglomerat Trihatma Kusuma Haliman itu menyebutkan klaster yang ada di kawasan hunian tersebut memiliki harga jual di atas Rp500 juta. Misalnya, Cluster Juniper dengan harga jual Rp888 juta dan Podomoro RiverView ditawarkan dengan harga Rp1,4 miliar.
Selain Podomoro Golf View, produk properti milik perusahaan berkode saham APLN itu yang mengalami lonjakan penjualan yaitu Virmala Hills dan Podomoro Park Bandung. Selain penjualannya yang melonjak, kata Agung, tingkat okupansi villa dan resort di Vimala Hills juga naik pesat.
Tax Amnesty
Sejalan dengan ini, salah perusahaan properti kelas kakap yaitu PT Ciputra Development Tbk (CTRA) tidak keberatan terkait kebijakan tersebut. Menurut Direktur Ciputra Development Harun Hajadi, aturan itu telah berlaku lama sejak 2010 silam dan setelah itu ada kebijakan tax amnesty.
Adapun, menurut situs online-pajak.com, tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak.
Dalam undang-undang ini juga disebutkan, wajib pajak hanya perlu mengungkap harta dan membayar tebusan pajak sebagai pajak pengampunan atas harta yang selama ini tidak pernah dilaporkan.
Kebijakan tersebut memberi kesempatan bagi wajib pajak untuk membayar pajak dengan jumlah tertentu termasuk penghapusan bunga dan dendanya tanpa takut akan dipidana.
“(Dengan tax amnesty) menurut saya ya mustinya clear (selesai). Secara teori siapa saja yang punya simpanan uang, sudah bersih karena ada tax amnesty. Jadi mustinya gak ada alasan untuk takut beli (properti),” imbuh Harun kepada reporter TrenAsia.com, Rabu, 9 September 2020.
Tak Pengaruhi Penjualan
Harun juga menyebutkan, “Saya sih merasa aturan itu sudah menjadi sebuah normalcy (keadaan normal) yang sudah tidak lagi mempengaruhi pembelian properti,” jelas Harun.
Dia mengaku tidak keberatan dengan kebijakan itu dan menegaskan hal itu tidak lagi mempengaruhi penjualan properti. Apalagi, mayoritas produk properti milik perusahaan bersandi saham CTRA itu menyasar segmen menengah ke atas, artinya harga propertinya di atas Rp500 juta.
“Rumah-rumah kami memang 75 persen adalah Rp500 juta ke atas,” ujar Harun. Segmen ini menjadi penyokong pendapatan perusahaan properti tersebut. Pada semester I-2020, emiten ini membukukan penurunan pendapatan 10,84% secara tahunan.
Pada periode tersebut, perusahaan properti dengan aset senilai Rp37,88 triliun itu mengantongi pendapatan sebesar Rp2,8 triliun. Meski merosot, proporsi penurunan pendapatan perusahaan masih lebih baik dibandingkan dengan emiten properti kelas kakap lainnya. Misalnya, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) merosot 35,1%, PT Sumarecon Agung Tbk (SMRA) turun 18,31%, dan PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) anjlok 43,66%.
Harun menjelaskan kontraksi terdalam pada penjualan properti terjadi pada April dan Mei. Alasannya, pada bulan itu masih diterapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bukan karena pembatalan transaksi penjulan properti di segmen menengah atas.
Geser Sasaran Pasar
Merespons pro-kontra regulasi terkait pelaporan asal-usul dana dalam setiap transaksi di atas Rp500 juta ini, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan perusahaan properti lebih baik menggeser sasaran pasarnya.
Dia menyebutkan pengembang properti sebaiknya lebih membumi dalam kondisi pandemi COVID-19 ini. Hal itu dapat dilakukan dengan mulai menggeser segmentasi pasarnya ke kelas menengah ke bawah.
Tentunya dengan pergeseran segmentasi ke pasar menengah ke bawah, regulasi itu tidak lagi menjadi tekanan bagi pengembang. Menurut Nirwono, hal itu justru menguntungkan untuk masyarakat calon pembeli maupun pengembang properti.
“Bagi masyarakat menengah ke bawah dapat membeli properti tanpa harus memberikan laporan transaksi di bawah Rp500 juta sesuai kemampuan rata-rata kelompok ini, dan saat ini di tengah pandemi merupakan peluang untuk membeli properti rumah tinggal pertama dan utama, bukan untuk digunakan sebagai investasi,” kata Nirwono.
Sementara, bagi pengembang properti ini merupakan kesempatan untuk memperbanyak pembangunan dan menjual properti di bawah Rp500 juta kepada keluarga muda, milenials, atau pekerja yang belum memiliki rumah tinggal. Khususnya segmen milenials yang menjadi incaran banyak perusahaan properti Tanah Air.
Nirwono menyebutkan dengan “terhambatnya” transaksi properti di atas Rp500 juta itu, pengembang lebih baik menyasar properti segmen menengah ke bawah. Apalagi di masa pandemi ini, sebaiknya pengembang properti memprioritaskan penjulan rumah kepada end-user atau pengguna terakhir ketimbang investor.
Lantaran selama ini menurut dia, penjualan rumah dengan harga di atas Rp500 juta sebagian besar digunakan untuk investasi, bukan untuk rumah tinggal untuk jangka waktu yang lama. Tentu peminat segmen properti ini lebih banyak, karena kemampuan finansial mereka lebih besar.
“Pengembang perlu jeli melihat pangsa pasar, kemampuan konsumen, serta kemudahan yang diberikan pengembang untuk menarik konsumen,” tegasnya. (SKO)