<p>Rokok ilegal di Sidoarjo/ Sumber: beacukai.go.id</p>
Industri

Produk HPTL Jadi Solusi Masalah Rokok

  • Pemanfaatan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) diyakini bisa membantu pemerintah dalam menanggulangi permasalahan merokok di Indonesia.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Pemanfaatan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), seperti vape, tembakau yang dipanaskan, snus dan kantong nikotin diyakini bisa membantu pemerintah dalam menanggulangi permasalahan merokok di Indonesia.

Produk hasil dari pengembangan inovasi dan teknologi ini memiliki profil risiko yang lebih rendah hingga 90%-95% dibandingkan dengan rokok.

Ketua Umum Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (APPNINDO) Roy Lefrans mengatakan, ada dua faktor yang dapat menjadi alasan produk HPTL bisa berkontribusi dalam menciptakan perbaikan kesehatan publik.

“Pertama karena ada kajian ilmiah. Sudah banyak kajian ilmiah yang dilakukan, baik di dalam maupun luar negeri mengenai produk HPTL, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan,” kata Roy saat dihubungi wartawan.

Riset yang dilakukan oleh Badan Eksekutif dari Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, Public Health England adalah salah satunya.

Kajian berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product 2018” tersebut menyebut profil risiko produk HPTL 95% lebih rendah dari rokok. Selain itu, sejumlah akademisi dari berbagai universitas di Indonesia juga meneliti produk tersebut lebih lanjut.

“Pada HPTL tidak ada pembakaran, sedangkan di rokok kan harus dibakar. Itulah mengapa HPTL tidak mengandung TAR karena pembakaran itulah yang menghasilkan zat-zat berbahaya,” ujarnya.

Keberhasilan HPTL di Negara Lain

Risiko kesehatan yang lebih rendah inilah yang membuat Inggris, Jepang, dan Selandia Baru turut mendukung penggunaan produk HPTL. Di Inggris, misalnya, sudah ada 20.000 orang yang berhenti merokok setiap tahun.

Hal ini dilaporkan oleh Badan Statistik Inggris bahwa angka perokok mengalami penurunan, dari 14,4% pada 2018 menjadi 14,1% atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019. 

Kemudian, hasil survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang menunjukkan angka perokok pria turun di bawah 30% untuk pertama kalinya menjadi 28,8% pada 2019. Begitu pun dengan angka perokok perempuan, turun 0,7 poin menjadi 8,8% pada 2019.

Sementara di Selandia Baru, angka perokok pada 2011-2012 yang sebesar 16,3%, tercatat turun menjadi 14,2% pada 2015-2016. Penurunan ini terus berlanjut pada 2018-2019 menjadi 12,5%.

“Selandia Baru punya program bebas asap rokok 2025. Untuk mendukung program itu, HPTL jadi salah satu solusi. Ini kan bagus banget,” ujar Roy.

Selain kajian ilmiah, lanjut Roy, terdapat pengakuan dari pengguna mengenai kesehatannya sejak menggunakan produk HPTL. “Banyak testimoni yang memperoleh manfaat setelah pindah ke HPTL dan tidak merokok lagi. Bagaimana keluarganya happy, rumah nggak bau rokok, nggak ada abu. Manfaatnya bagi pengguna sangat positif,” ujarnya.

Sebagai informasi, per 2017 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat dana yang harus digelontorkan oleh pemerintah untuk menanggulangi penyakit akibat rokok mencapai Rp5,9 triliun. Anggaran ini dikucurkan untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Selain itu, kerugian produktif dari seseorang yang mengidap penyakit akibat rokok mencapai Rp4.180,27 triliun. (LRD)