Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melakukan groundbreaking smelter tambang tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur. Foto: BPMI Setpres/Lukas
Industri

Produksi Grasberg Hanya 300.000 Ton, Dari Mana Smelter 1,7 Juta Ton Milik Freeport Dapatkan Bahan Baku Tembaga?

  • Faktanya, sumber tembaga yang diproduksi dari tambang Grasberg milik Freeport di Papua tergolong kecil di dunia.
Industri
Amirudin Zuhri

Amirudin Zuhri

Author

JAKARTA- Baru sepekan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), groundbreaking proyek smelter tembaga milik PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur mulai memunculkan tanda tanya. Salah satunya terkait sumber tembaga bagi proyek smelter berkapasitas 1,7 juta  ton per tahun tersebut. 

Dalam sambutannya, Jokowi menyampaikan rasa bangganya. Proyek smelter dengan biaya senilai Rp42 triliun itu disebutnya sebagai yang terbesar di dunia.

 "Kita mendapatkan laporan bahwa smelter yang akan dibangun ini dengan desain single line, terbesar di dunia," ungkap Presiden Jokowi saat memberikan sambutan dalam acara groundbreaking tersebut, Selasa 12 Oktober 2021 lalu.

Ambisi menjadikan smelter tembaga Gresik menjadi yang terbesar cukup menarik. Namun faktanya, sumber tembaga yang diproduksi dari tambang Grasberg milik Freeport di Papua tergolong kecil di dunia. 

Mengutip dari laporan tahunan Freeport-McMoRan tahun 2019, terungkap bahwa produksi tembaga dari tambang Grasberg di Papua jauh di bawah produksi tambang milik perusahaan Amerika itu di negaranya sana.   

Halaman 3 laporan itu menyebutkan bahwa selama 2019, Freport McMoRan berhasil menjual sebanyak 3,3 miliar pon tembaga. Dari jumlah itu, sebanyak 1,4 miliar pon berasal dari tambang di Amerika Utara dan 1,2 miliar pon dari tambang di Amerika Selatan. Indonesia? Dari tambang Grasberg, Freeport McMoRan melaporkan penjualan tembaga hanya 700 juta pon atau sekitar 317.000 ton.

Laporan yang sama juga menyebut cadangan tembaga di Indonesia hanya 35,6 miliar pon. Sementara cadangan di tambang Amerika Utara menjadi yang terbesar  sebanyak 47,2 miliar pon dan tambang di Amerika Selatan memiliki cadangan 33,2 miliar pon. 

Sebelumnya Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan dengan kapasitas 1,7 juta ton konsentrat tembaga itu, Indonesia akan memproduksi 600.000 ton tembaga murni batangan. Airlangga memproyeksikan Indonesia dapat mendulang US$5,4 miliar atau setara Rp76,15 triliun per tahun dari produksi itu.

“Nilai copper (tembaga murni) sekarang lagi supercycle, US$9.400 per ton. Jadi investasi Rp42 triliun atau US$3,5 miliar, revenue dari copper saja itu US$5,4 miliar,” kata Airlangga.

Pengamat energi sekaligus mantan Anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019, Kurtubi mengatakan gap antara kapasitas produksi tambang dan kapasitas pengolahan smelter ini sesuatu yang aneh.

“Mungkin dia berharap dari tambang lain yang masuk ke situ (smelter), tetapi ini menjadi aneh dan lucu. Mestinya yang 1,7 juta ton itu ya 100 persen dari tambang Freeport dong,” katanya kepada reporter TrenAsia.com, Senin 18 Oktober 2021.

Utang Jumbo MIND ID

Dengan investasi senilai Rp42 triliun, Smelter Tembaga di Gresik tersebut akan menyedot dana besar. PT MIND ID sebagai pemegang saham terbesar PT Freeport Indonesia, diperkirakan akan mengeluarkan biaya paling besar untuk mendanai proyek jumbo dengan bahan baku mini tersebut. 

Untuk membeli 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia, pada tahun 2018 MIND ID telah menggelontorkan biaya senilai 3,85 miliar dollar AS. Kepemilikan 51.23 persen tersebut nantinya akan terdiri dari 41.23 persen untuk INALUM dan 10 persen untuk Pemerintah Daerah Papua. 

Saham Pemerintah Daerah Papua akan dikelola oleh perusahaan khusus PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPPM) yang 60 persen sahamnya akan dimiliki oleh INALUM dan 40 persen oleh BUMD Papua.

Untuk membiayai pembelian saham PT Freeport, MIND ID telah menerbitkan global bond dengan empat tenor.  Tenor pertama yaitu 3 tahun dengan nilai US$1 miliar dengan kupon 5,5 persen. Tenor kedua selama lima tahun dengan nilai US$1,25 miliar dengan kupon enam persen. Tenor ketiga senilai US$1 miliar dengan kupon 6,875 persen dengan periode 10 tahun dan tenor keempat dengan jangka waktu tiga puluh tahun dengan nilai US$750 juta dengan kupon 7,37 persen.