Ladang minyak Daqing di provinsi Heilongjiang, China (Reuters/Stringer)
Energi

Produksi Minyak Kian Jeblok, Berikut Pro-kontra Penghematan ala Jokowi

  • Produksi minyak nasional jeblok dalam sepuluh tahun terakhir, sementara kebutuhannya makin meroket. Dipenghujung pemerintahan SBY, pemerintah sempat mencoba meramu cara penghematan BBM, akhirnya bulan desember 2014, beberapa pekan setelah Presiden Jokowi dilantik, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 diteken.

Energi

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Sejak tahun 2010, produksi minyak dan gas bumi Indonesia terus mengalami penurunan. Produksi minyak mentah merosot di bawah 1 juta barel per hari. 

Dilansir dari laporan Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) berjudul "Handbook of Energy & Economic Statistic Of Indonesia 2023", data terbaru produksi minyak mentah Indonesia yang anjlok pada angka 221 juta barel pertahun.

Sementara itu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan produksi minyak mentah Indonesia kini merosot sekitar 616.600 barel per hari.

Penurunan produksi ini menyebabkan defisit antara produksi dalam negeri dan kebutuhan domestik yang cukup signifikan. 

Rata-rata kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri berada di kisaran 1,4 juta barel per hari, sehingga sebagian besar kebutuhan ini harus dipenuhi melalui impor. 

Ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan energi menunjukkan perlunya langkah-langkah strategis untuk meningkatkan produksi energi domestik dan mengurangi defisit yang ada.

Dari sisi permintaan energi, kementrian ESDM melaporkan terjadi peningkatan konsumsi energi sebesar 6,29%, melesat hingga 1.220 juta Barrel of Oil Equivalent (BOE), angka tersebut merupakan konsumsi tertinggi dalam enam tahun terakhir. 

Pada tahun 2023, sektor industri mendominasi  porsi terbesar dalam permintaan energi yaitu sebesar 45,60%, diikuti oleh sektor transportasi sebesar 36,74%, rumah tangga sebesar 12,35%, komersial sebesar 4,44%, dan sektor lainnya sebesar 0,87%. 

Impor Minyak dan Upaya Penghematan ala Jokowi 

Selama kuartal pertama hingga ketiga tahun 2023, Indonesia mencetak rekor nilai impor minyak tertinggi dalam sejarah. Dalam periode sembilan bulan tersebut, volume impor minyak Indonesia mencapai 32,8 juta ton. 

Angka ini mencerminkan indikator kemunduran kemandirian energi, akibat produksi domestik yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nasional, angka ini tentu mengkhawatirkan pemerintah.

Dipenghujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, SBY sempat mencoba meramu cara penghematan BBM, akhirnya bulan desember 2014, beberapa pekan setelah Presiden Jokowi dilantik, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 diteken.

Perpres ini berisi tentang aturan penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM). Perpres ini mengatur berbagai aspek penting terkait BBM tertentu yang disubsidi oleh pemerintah, seperti Bensin RON 92, Bensin RON 89, Solar, dan Minyak Pertalite.

Selain itu, harga jual eceran (HJE) BBM tertentu ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berdasarkan harga keekonomian, struktur biaya distribusi, dan kemampuan masyarakat. 

Perpres ini juga menugaskan Badan Usaha Penyalur (BU Penyalur) untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM tertentu di wilayah penugasan, serta pengawasan pelaksanaannya oleh Menteri ESDM.

Sejak diterbitkan, Perpres No. 191 Tahun 2014 telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu melalui Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 dan Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2022. 

Perubahan tersebut mencakup penambahan jenis BBM tertentu yang disubsidi, yaitu Minyak Pertalite, penyesuaian mekanisme penetapan HJE BBM tertentu, dan penetapan wilayah penugasan untuk penyaluran BBM tertentu. 

Diwacanakan Direvisi Lagi

Kini dipenghujung kepemimpinan Jokowi, pemerintah berupaya merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 lagi, tujuannya untuk membatasi pembelian BBM bersubsidi agar lebih tepat sasaran. 

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, turut menanggapi wacana tersebut. Meskipun Kementerian BUMN tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan tersebut, Erick menyatakan dukungannya terhadap langkah pemerintah untuk mengatur dan memastikan bantuan BBM bersubsidi lebih efektif dan tepat guna. 

"Kementerian BUMN mendukung langkah pemerintah untuk mengatur bantuan bagi masyarakat," terang Erick di kompleks Parlemen.

Erick menegaskan upaya untuk memperbaiki penyaluran subsidi BBM merupakan langkah penting untuk memastikan bantuan tersebut benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan, serta untuk mengurangi potensi penyalahgunaan.

"Pembatasan tidak ada, kan jumlah penduduk Indonesia makin banyak, tetapi kan segi keekonomian masing-masing penduduk Indonesia berbeda-beda. Jadi, tepat sasaran yang lebih diutamakan," tambah Erick.