Zainal Arifin Mochtar (Tangkap Layar YouTube PSHK Indonesia)
Nasional

Profil 3 Aktor Film Dirty Vote yang Diragukan Kapasitasnya oleh TKN

  • Film dokumenter Dirty Vote mendapat kritik tajam dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran. Wakil Ketua TKN, Habiburokhman, menyatakan keraguan terhadap keahlian dari tiga pakar hukum yang berperan dalam film tersebut, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Film dokumenter Dirty Vote mendapat kritik tajam dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran. Wakil Ketua TKN, Habiburokhman, menyatakan keraguan terhadap keahlian dari tiga pakar hukum yang berperan dalam film tersebut, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.

“Saya mempertanyakan kapasitas tokoh-tokoh yang ada di film tersebut,” kata Habiburokhman dalam konferensi pers yang digelar hanya sesaat setelah versi lengkap Dirty Vote tayang di YouTube pada Minggu, 11 Februari 2024, pukul 11.11 WIB.

“Dan saya kok merasa sepertinya ada tendensi, keinginan, untuk mensabotase pemilu. Buka mensabotase lah ya, mendegradasi pemilu dengan narasi yang tidak berdasar,” sambungnya.

Mengenai hal tersebut, berikut adalah profil tiga pakar hukum yang berperan dalam Dirty Vote, mulai dari Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti (Tangkap Layar YouTube PSHK Indonesia)

Dilansir dari jentera.ac.id, Bivitri adalah seorang akademisi dan pengamat hukum tata negara di Indonesia. Ia merupakan pelopor serta pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, serta pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

Lahir pada 5 Oktober 1974, Bivitri Susanti meraih gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1999.

Ketika masih menjadi mahasiswa, ia bersama senior mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). PSHK berfungsi sebagai lembaga penelitian dan advokasi untuk reformasi hukum yang berakar dari peristiwa Mei 1998.

Kemudian, Bivitri melanjutkan studinya di Universitas Warwick, Inggris, pada tahun 2002. Setelah berhasil meraih gelar Master of Laws, dia kembali melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral di University of Washington School of Law, Amerika Serikat.

Dilansir dari bunghattaaward.org, Bivitri mulai mengajar sebagai dosen hukum tata negara pada tahun 2015. Pada saat itu, ia juga menjabat sebagai Wakil Ketua I di STH Indonesia Jentera dan bekerja sebagai peneliti di PSHK, dengan fokus pada pembaruan hukum, pemberantasan korupsi, dan hak-hak konstitusi.

Selain itu, Bivitri sering berkolaborasi dengan berbagai organisasi, termasuk masyarakat sipil hingga lembaga pemerintah.

Dilansir dari jentera.ac.id, Bivitri terlibat aktif dalam upaya pembaruan hukum. Dia telah mengembangkan beberapa konsep dan langkah pembaruan, termasuk membentuk Koalisi Konstitusi Baru (1999-2002) serta menulis Cetak Biru Pembaruan Peradilan.

Selain itu, dia juga berperan sebagai Tenaga Ahli untuk Tim Pembaruan Kejaksaan (2005-2007) dan Dewan Perwakilan Daerah (2007-2009), serta terlibat dalam advokasi berbagai undang-undang.

Bivitri aktif dalam berbagai inisiatif pembaruan hukum lainnya, termasuk partisipasinya dalam penyusunan undang-undang dan kebijakan, serta pekerjaannya sebagai konsultan untuk organisasi internasional.

Dia juga sering menyampaikan pendapatnya melalui media massa, jurnal nasional dan internasional, serta konferensi. Selain itu, dia sering melakukan advokasi kebijakan.

Selain itu, ia juga memiliki pengalaman sebagai research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014. Dua tahun berikutnya, dia menjabat sebagai visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance. Pada 2018, Bivitri menjadi visiting professor di University of Tokyo, Jepang.

Sebagai pengakuan atas kontribusinya, Bivitri dianugerahi sebagai Pemikir Muda Hukum Tata Negara pada 2018. Penghargaan ini diterima dalam rangka Anugerah Konstitusi M. Yamin, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).

Sebagai seorang ahli hukum tata negara, Bivitri sempat terlibat sebagai salah satu panelis dalam debat Pilpres 2019. Ketua KPK saat itu, Agus Rahardjo, mengundangnya untuk menjadi panelis pada debat pertama calon presiden dan calon wakil presiden yang berlangsung pada 17 Januari 2019.

Tidak hanya itu, ia juga diminta untuk menjadi panelis dalam debat Pilpres 2024. Dia diundang untuk menjadi panelis dalam debat pertama calon presiden yang dijadwalkan berlangsung di kantor Komisi Pemilihan Umum di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa, 12 Desember 2023.

Namun, Bivitri menolak tawaran tersebut karena perannya sebagai panelis masih terbatas pada penyusunan pertanyaan.

Menurutnya, para panelis harus diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Ini penting karena dengan mendalami jawaban dari calon presiden melalui pertanyaan, masyarakat dapat memperoleh pemahaman tentang visi dan komitmen calon presiden terhadap isu-isu yang diperdebatkan.

Zainal Arifin Mochtar

Zainal Arifin Mochtar (Tangkap Layar YouTube PSHK Indonesia)

Zainal Arifin Mochtar, seorang lulusan Sarjana Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), lahir di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada 8 Desember 1978.

Dia menyelesaikan program sarjana di UGM pada tahun 2003, sebagaimana disebutkan dalam situs resmi UGM. Setelah itu, dia melanjutkan pendidikan Magister di University of Northwestern, Chicago, AS, dan berhasil lulus pada 2006. Enam tahun kemudian, Zainal meraih gelar Doktor dalam Ilmu Hukum dari almamaternya, UGM.

Seperti Bivitri Susanti, Zainal juga dikenal sebagai seorang aktivis dan pakar hukum tata negara, selain menjabat sebagai dosen.

Zainal memulai karir akademisnya pada tahun 2014 di Fakultas Hukum UGM. Saat ini, Zainal menjabat sebagai Kepala Departemen Hukum Tata Negara di FH UGM.

Dia juga bertugas sebagai Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk periode 2023-2026. Sebelumnya, Zainal pernah menjabat sebagai anggota Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari tahun 2015 hingga 2017, serta sebagai anggota Komisaris PT Pertamina EP dari tahun 2016 hingga 2019.

Pada tahun 2022, dia ditunjuk sebagai anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Selama ini, Zainal dikenal aktif dalam berbagai kegiatan anti-korupsi. Dia pernah menjadi bagian dari Tim Task Force Penyusunan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2007.

Selain itu, Zainal menjabat sebagai Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti-korupsi (PUKAT) FH UGM dari tahun 2008 hingga 2017.

Dia juga merupakan anggota dari Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, sesuai dengan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2020 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.

Feri Amsari

Feri Amsari (Tangkap Layar YouTube PSHK Indonesia)

Feri Amsari lahir di Padang, Sumatra Barat (Sumbar), pada 2 Oktober 1980. Dia menyelesaikan gelar Sarjana dan Magister dalam bidang Hukum di Universitas Andalas (Unand). Selain itu, Feri juga menyelesaikan pendidikan di William & Mary Law School, Amerika Serikat.

Saat ini, Feri bekerja sebagai seorang dosen di Fakultas Hukum Unand. Menurut informasi dari situs resmi Unand, Feri juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) di FH Unand.

Feri telah menjadi anggota Pusako sejak Desember 2004. Sebagai seorang pakar hukum tata negara, Feri aktif dalam menulis di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Padang Ekspress, Singgalang, dan Haluan.

Itulah profil singkat mengenai ketiga pakar hukum yang berperan dalam film Dirty Vote.