Profil Cagub Independen DKI Dharma Pongrekun, Pensiunan Polri Pecinta Teori Konspirasi
- Dharma mengungkapkan keyakinan bahwa pandemi COVID-19 adalah bagian dari sebuah konspirasi besar yang bertujuan untuk mempercepat program digitalisasi global.
Nasional
JAKARTA - Pasangan calon independen Dharma Pongrekun dan Kun Wardana resmi maju sebagai kandidat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024.
Pasangan ini dilaporkan berhasil melewati proses verifikasi faktual kedua. Meski awalnya mengajukan 721.221 data dukungan, hanya 183.043 yang memenuhi syarat setelah verifikasi oleh tim verifikator.
Setelah melakukan perbaikan, akhirnya pasangan ini berhasil mengumpulkan 826.766 dukungan yang memenuhi syarat pada tahap verifikasi administrasi berikutnya.
Walaupun berhasil mengumpulkan ratusan ribu KTP, pasangan ini diduga lakukan aksi curang dengan main comot KTP warga Jakarta, termasuk KTP milik keluarga Anies Baswedan.
- Petronas Selesai Garap Seismik Seram-Aru Lebih Awal, Komitmen Pasti Rp106,9 Miliar
- Profil Glenny Kairupan, Orang Dekat Prabowo yang Menjadi Komisaris Garuda
- Menilik Potensi Sumber Pendapatan dari Sinergi Antara GOTO dan TLKM
Profil Dharma Pongrekun
Dharma Pongrekun dikenal sebagai purnawirawan Polri, lahir pada tanggal 12 Januari 1966. Nama terakhirnya Pongrekun merupakan nama marga daerah tanah kelahirannya, tanah Toraja.
Ia mengakhiri masa dinasnya di Polri sebagai Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang Lemdiklat Polri. Dharma adalah lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1988 dan memiliki pengalaman luas di bidang reserse.
Pangkat terakhir Dharma adalah Komisaris Jenderal Polisi. Sebelumnya, Dharma menjabat sebagai Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang Lemdiklat Polri hingga 31 Oktober 2021. Pada tanggal 23 Januari 2024, Dharma memasuki masa pensiun sebagai Pati Lemdiklat Polri.
Dengan terdaftarnya Dharma-Kun sebagai pasangan calon independen, persaingan dalam Pilkada DKI Jakarta semakin memanas, dan para pemilih kini memiliki opsi tambahan dalam menentukan pemimpin ibu kota.
Pecinta Teori Konspirasi
Dharma telah lama dikenal dengan pandangan-pandangan uniknya. Dalam sebuah wawancara yang ditayangkan kanal YouTube dr. Richard Lee, Dharma mengungkapkan keyakinan bahwa pandemi COVID-19 adalah bagian dari sebuah konspirasi besar yang bertujuan untuk mempercepat program digitalisasi global.
Dharma menjelaskan angka "19" dalam nama COVID-19 memiliki makna simbolis khusus. Ia mengklaim bahwa angka "1" melambangkan unsur buatan, sedangkan angka "9" merepresentasikan kecerdasan. Gabungan dari kedua angka tersebut, menurut Dharma, dapat diartikan sebagai "kecerdasan buatan".
"Sebagai identitas digital untuk menjadi persyaratan boleh kemana-mana. Itulah yang permainan mereka. Mereka mengendalikan kita melalui sistem," terang Dharma dengan lugas kepada dr Richard
Richard menanyakan kepada Dharma Pongrekun tentang pengetahuannya mengenai COVID-19. Dharma menjawab dengan keyakinan bahwa ia memiliki informasi mendalam mengenai pandemi tersebut.
- Petronas Selesai Garap Seismik Seram-Aru Lebih Awal, Komitmen Pasti Rp106,9 Miliar
- Profil Glenny Kairupan, Orang Dekat Prabowo yang Menjadi Komisaris Garuda
- Menilik Potensi Sumber Pendapatan dari Sinergi Antara GOTO dan TLKM
Menurut Dharma, COVID-19 sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 2010, di mana pandemi ini telah melalui berbagai simulasi pada tahun 2012. Ia mengklaim bahwa perencanaan dan simulasi tersebut menjadi dasar untuk eksekusi pandemi pada tahun 2020.
“Saya tahu banyak, (COVID-19) sudah dierencanakan sejak 2010, dan disimulasikan tahun 2012, dan dimainkan tahun 2020” papar Dharma.
Pernyataan Dharma ini semakin memicu kontroversi ketika ia menyatakan bahwa vaksin COVID-19 adalah sebuah "berhala" dan mengungkapkan keputusannya untuk tidak melakukan vaksinasi. Menurutnya, vaksin merupakan bagian dari agenda yang lebih besar untuk mengontrol manusia secara digital dan memanipulasi populasi manusia.
Pandangan Dharma telah menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Beberapa pihak mendukung pandangannya sebagai bentuk kebebasan berpendapat, sementara yang lain mengecamnya sebagai teori konspirasi yang tidak berdasar dan berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat.