Jelang Merger Bank Syariah BUMN, Kinerja BRIS-BSM-BNIS 2020 Merekah
JAKARTA – Proses merger ketiga bank syariah milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih berlangsung hingga saat ini. Aksi korporasi yang ditargetkan rampung pada Februari 2021 ini akan menggabungkan PT Bank Syariah Mandiri, PT BNI Syariah, dan PT BRI Syariah Tbk. (BRIS). Dalam perkembangan terakhir, pembahasan atas rancangan merger usai dilakukan oleh project management office (PMO) pada […]
Industri
JAKARTA – Proses merger ketiga bank syariah milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih berlangsung hingga saat ini.
Aksi korporasi yang ditargetkan rampung pada Februari 2021 ini akan menggabungkan PT Bank Syariah Mandiri, PT BNI Syariah, dan PT BRI Syariah Tbk. (BRIS).
Dalam perkembangan terakhir, pembahasan atas rancangan merger usai dilakukan oleh project management office (PMO) pada 21 Oktober lalu.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Komposisi pemegang saham bank hasil merger, yakni Bank Mandiri 51,2%, BNI 25%, BRI 17,4%, DPLK BRI – Saham Syariah 2% dan publik 4,4%.
Struktur pemegang saham tersebut didasarkan atas perhitungan valuasi dari masing-masing bank peserta penggabungan.
Saat ini, dokumen ringkasan rencana merger telah disampaikan kepada seluruh regulator, baik regulator pasar modal maupun perbankan. Manajemen mengungkapkan, tahapan dan proses selanjutnya akan dilaksanakan sesuai dengan regulasi dan undang-undang yang berlaku.
Bank hasil merger pun diyakini bakal memiliki modal dan aset yang kuat dari segi finansial, sumber daya manusia, sistem teknologi informasi, maupun produk dan layanan keuangan.
Hal ini diharapkan mampu meningkatkan penetrasi aset syariah sehingga dalam lima tahun ke depan, bisa menjadi salah satu dari sepuluh bank syariah terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar.
Kinerja Ketiga Bank Syariah
Dalam laporan keuangan terbaru per kuartal III 2020, BRI Syariah berhasil mencatat laba sebesar Rp190,5 miliar. Laba tersebut melejit 238% year-on-year (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp56 miliar.
Salah satu penopang laba bersih ini adalah pembiayaan yang tumbuh sebesar 57,9% yoy atau senilai Rp40 triliun.
Pembiayaan ditopang oleh segmen ritel, yakni usaha kecil dan menengah (UKM), mikro, dan konsumer yang mencapai Rp12,2 triliun.
Selain itu, pembiayaan mikro BRI Syariah juga berkontribusi sebesar Rp10,9 triliun atau tumbuh 185% yoy dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Adapun segmen mikro lainnya adalah kredit usaha rakyat (KUR) yang tumbuh sebesar Rp4,3 triliun.
Penyaluran pembiayaan tersebut rupanya diikuti oleh penurunan rasio NPF. Secara gross, NPF turun dari 4,45% menjadi 3,35% pada periode ini. Kemudian NPF net menjadi Rp1,73% dari yang sebelumnya 3,97%.
Dari sisi dana pihak ketiga (DPK), perseroan mampu menghimpun sebesar Rp49 triliun, tumbuh tinggi 43% dibandingkan Rp34 triliun per akhir 2019.
Pertumbuhan ini juga terjadi untuk total aset yang naik 30% dari Rp43 trilun per akhir 2019 menjadi Rp56 triliun per kuartal III 2020.
BSM dan BNIS
Sama halnya dengan BRIS, kinerja Mandiri Syariah pada periode ini juga berhasil tumbuh dengan baik.
Laba perseroan naik 21,5% yoy dari Rp872 miliar menjadi Rp1,06 triliun. Hal ini terjadi seiring dengan pendapatan yang tumbuh menjadi Rp6,9 triliun, naik 6,15% yoy dibandingkan Rp6,5 triliun per September tahun lalu.
Adapun dari segi pembiayaan, Mandiri Syariah berhasil menyalurkan dana sebesar Rp29,2 triliun, meningkat 2,4% dibandingkan akhir tahun lalu sebesar Rp28,5 triliun.
Diiringi dengan NPL net yang turun dari 1,07% menjadi 0,61% dan NPF gross yang stabil di level 2,66%.
Mandiri Syariah pada sembilan bulan pertama tahun ini juga berhasil menghimpun DPK sebesar Rp23,6 triliun, tumbuh tinggi 42,1% dari Rp16,6 triliun per akhir tahun lalu.
Total aset perseroan juga bertambah 6,4% dari Rp112,2 triliun menjadi Rp119,4 triliun per kuartal III tahun ini.
Untuk BNI Syariah, pada periode ini perusahaan mencatat realisasi pembiayaan sebesar Rp32,28 triliun dengan kontribusi 50,8% dari segmen konsumer atau setara Rp16,40 triliun, diikuti komersial Rp7,74 triliun atau 23,97%, serta kecil dan menengah Rp6,18 triliun atau 19,15%.
Selama triwulan III ini, BNI Syariah juga mencatatkan DPK sebesar Rp45,65 triliun atau naik 21,76% dibandingkan periode sama 2019 sebesar Rp37,49 triliun.
Kenaikan DPK ini berkontribusi terhadap total aset BNI Syariah yang mencapai Rp52,39 triliun, naik sebesar 19,3% yoy sebesar Rp43,92 triliun.
Bakal Jadi 10 Bank Syariah Teratas Secara Global
Manajemen PMO mengungkapkan, bank hasil merger nantinya dinilai dapat menaikkan posisi menjadi 10 bank syariah teratas secara global, dan peringkat kedelapan di dalam negeri.
Dengan asumsi pertumbuhan yang konservatif, diharapkan total aset bank syariah hasil merger pada 2025 mencapai Rp390 triliun. Pada saat bersamaan, target penyaluran pembiayaan Rp272 triliun dan pendanaan mencapai Rp335 triliun.
Hal ini membuat bank syariah pelat merah bakal melesat ke posisi tujuh bank beraset terbesar di Indonesia. Posisi itu bersandingan dengan PT Bank OCBC NISP Tbk (Rp191,5 triliun), PT Bank Pan Indonesia Tbk (Rp185,1 triliun), PT Bank BTPN Tbk (Rp184,9 triliun), dan PT Bank Danamon Indonesia Tbk (Rp169,9 triliun).
Jika target aset itu terpenuhi, maka posisi PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) yang berada di urutan 6 dengan aset Rp271,8 triliun akan tergeser. Bahkan, posisi BTN yang berada di urutan 5 dengan aset sebesar Rp308,1 triliun pada triwulan I-2020 pun demikian.
Dukungan Merger Bank Syariah
Terkait proses penggabungan saat ini, dukungan pun datang dari sejumlah pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai merger tiga bank syariah milik bank pelat merah tidak menimbulkan isu krusial.
Sekretaris Bidang Perbankan Syariah Badan Pelaksana Harian (BPH) Dewan Syariah Nasional MUI Muhammad Maksum menilai sebaliknya, penggabungan usaha ini justru menjadi role model bagi bank lain yang akan melakukan merger.
“Merger ini tidak menyisakan masalah karena dilakukan sesama bank syariah. Hal yang krusial baru muncul seandainya dilakukan oleh bank syariah dengan bank konvensional,” ujar Sekretaris Bidang Perbankan Syariah BPH Dewan Syariah Nasional MUI Muhammad Maksum dalam keterangan tertulis, Senin, 6 November 2020.
Menurutnya, rencana ini merupakan ikhtiar bagus untuk memperkuat aset dan kekuatan bank syariah yang selama ini masih berdiri sendiri-sendiri.
Senada,Direktur Jasa Keuangan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Taufik Hidayat menyebut, hal ini akan berdampak positif pada efisiensi lembaga keuangan syariah. Menurutnya, semakin kuat dan besar lembaga keuangan, maka semakin mudah pula dalam memenuhi asas economies of scale.
“Dengan operasi yang lebih efisien, tingkat kompetitifnya semakin meningkat. Ini akan membantu penetrasi dan pengembangan industri keuangan syariah secara khusus, dan ekonomi syariah secara umum,” ujar Taufik dalam keterangan tertulis, Kamis, 15 Oktober 2020.
Selain meningkatkan pertumbuhan dan bisnis industri keuangan syariah di Tanah Air, lanjutnya, peluang Indonesia untuk menjadi pusat perkembangan ekonomi syariah pun terbuka lebar di kancah global.
Sebab, selama ini ia menggarisbawahi bahwa angka penetrasi bank syariah masih kecil, terlebih dengan tingkat literasi keuangan syariah di masyarakat yang rendah, yakni 8,93%. Oleh karena itu, merger dinilai dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan keuangan syariah.
Tata Kelola
Adapun dari segi tata kelola, secara terpisah anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menyampaikan bahwa merger memberi harapan terhadap tata kelola dan kinerja bank syariah ke depan.
Menurutnya, ada dua hal penting mengenai tata kelola baik dan sumber daya manusia (SDM) berintegritas. “Merger akan memperkuat posisi bank syariah dalam percaturan regional. Efisiensi, tata kelola dan SDM harus berintegritas tinggi,” ujar Hendrawan.
Nantinya, selain dari sisi UMKM, segmen lain yang bisa digarap lebih khusus adalah industri dengan basis modal sosial, religi, atau adat tertentu yang kompatibel dengan prinsip-prinsip syariah.
Dengan demikian, bank syariah hasil merger bisa menjadi penggerak utama perekonomian pada kelompok kecil maupun menengah ke atas
Operasional bank syariah hasil merger, katanya, harus dijaga agar sesuai aturan Islam, baik dalam menghimpun pendanaan maupun menyalurkan pembiayaan.
Indonesia yang dikenal sebagai penduduk dengan mayoritas muslim, diharapkan dapat menjadi rujukan internasional dalam penerapan ekonomi syariah sektor perbankan.
Sinyal Baik, Meski Masih Lamban
Moody’s Investors Service pun juga ikut angkat bicara soal merger tiga BUS Syariah ini. Lembaga pemeringkat internasional itu menilai bahwa penggabungan ini bakal memberi imbas baik bagi bisnis syariah di Tanah Air.
“Karena telah menciptakan entitas syariah dengan waralaba besar yang secara signifikan bakal mendorong efisiensi dan daya saing sektor tersebut,” terang Tim Analis Moody’s dalam riset yang dirilis pada Selasa, 20 Oktober 2020.
Moody’s memprediksi, penggabungan aset ketiga perbankan tersebut bakal menjadikan merger bank syariah ini sebagai bank terbesar ke-7 di Indonesia berdasarkan kepemilikan aset. Asumsinya, aset ketiga perbankan itu setara 2% dari keseluruhan aset perbankan di Indonesia. Setara 40% aset dari seluruh perbankan syariah di Indonesia per 30 Juni 2020.
Dengan semakin besarnya aset tersebut, Bank BRI Syariah sebagai surviving entity pun bakal punya kesempatan yang lebih luas untuk diversifikasi sumber pembiayaan. Ini membuat Bank BRI Syariah punya kesempatan untuk kembali mengatur ulang manajemen risikonya.
Perlu diingat, sambung Moody’s, pembiayaan dari korporasi besar umumnya memiliki risiko yang jauh lebih kecil.
“Bank juga akan memiliki peluang lebih besar untuk mengakses pasar sukuk global dengan keberadaannya yang lebih besar,” terang Moody’s.
Kalah dari Negeri Tetangga
Kendati demikian, Moody’s mengakui bahwa perbankan syariah Indonesia masih kalah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Bangladesh, Brunei dan Malaysia. Berdasarkan catatan Moody’s per 31 Juli 2020, aset sektor syariah hanya menyumbang sebanyak 6% dari total aset perbankan secara keseluruhan.
Selain itu, penetrasi perbankan syariah di Indonesia kepada calon konsumen juga masih terlalu lamban. Hal itu terjadi lantaran banyaknya bank-bank syariah yang bergerak secara individual kendatipun skala mereka masih teramat kecil.
“Mereka juga kekurangan skala ekonomi yang dinikmati rekan-rekan konvensional mereka,” lanjut Moody’s.
Sebab itu, Tim Analis Moody’s pun menilai bahwa bisnis bank syariah di Indonesia masih kurang menguntungkan dibandingkan dengan bank-bank konvensional. Dari sisi pembiayaan, bank syariah kurang efisien lantaran terlalu bergantung pada instrumen deposito yang notabene lebih mahal dari pendanaan lainnya.
“Sementara itu, kualitas aset mereka telah membaik dalam beberapa tahun terakhir, meskipun pandemi virus corona kemungkinan akan mengganggu tren yang membaik,” pungkas riset tersebut.