Ilustrasi bank digital di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia
Perbankan

Prospek Bank Digital Masih Lemah Dibanding Konvensional di Tengah Turunnya Suku Bunga

  • Perbankan digital agak sulit bersaing dengan bank-bank besar yang konvensional, apalagi bank konvensional juga semakin meningkatkan pengembangan layanan digital mereka.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA — Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto mengatakan meskipun pasar keuangan merespons cepat kebijakan suku bunga, bank digital masih menghadapi kesulitan untuk bersaing dengan bank-bank besar.

Hal itu diungkapkan Rully dalam wawancara terbaru yang membahas tentang prospek sektor perbankan di tengah penurunan suku bunga, serta dampaknya terhadap bank digital. Sektor yang selama ini mengalami tantangan berat dibandingkan dengan bank konvensional. 

Rully menjelaskan transmisi penurunan suku bunga ke pasar keuangan seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan obligasi cenderung terjadi dengan cepat. "Kalau market, seperti IHSG dan bonds, biasanya langsung cepat merespons," ujarnya saat ditemui seusai acara Media Day by Mirae Asset Sekuritas di Jakarta, Kamis, 17 Oktober 2024. 

Ia menambahkan pasar biasanya mengantisipasi ekspektasi ekonomi ke depan. Sentimen pasar cenderung mendahului realitas ekonomi, sehingga meskipun efek ekonomi dari penurunan suku bunga mungkin baru terasa di 2025, pasar sudah menunjukkan respons sejak awal.

Dampak Penurunan Suku Bunga pada Sektor Perbankan

Menurut Rully, dalam sektor perbankan, penurunan suku bunga mempengaruhi dua aspek, yakni suku bunga simpanan (Dana Pihak Ketiga/DPK) dan suku bunga kredit. "Biasanya yang terlebih dahulu merespons adalah suku bunga simpanan. DPK bisa turun lebih dulu sehingga perbankan juga akan lebih baik," kata Rully.

Rully memperkirakan, transmisi penurunan suku bunga pada DPK membutuhkan waktu sekitar satu bulan, sedangkan untuk kredit biasanya memakan waktu lebih lama, antara tiga hingga enam bulan. Kondisi likuiditas bank juga menjadi faktor penting dalam menentukan seberapa cepat transmisi penurunan suku bunga ini akan berdampak.

Tantangan Bank Digital di Tengah Penurunan Suku Bunga

Berbicara mengenai prospek bank digital, Rully menilai bahwa bank-bank digital masih menghadapi tantangan besar untuk bersaing dengan bank konvensional. Salah satu faktor yang membuat bank digital sulit berkembang adalah suku bunga yang tinggi dan kebijakan moneter yang ketat.

"Perbankan digital agak sulit bersaing dengan bank-bank besar yang konvensional, apalagi bank konvensional juga semakin meningkatkan pengembangan layanan digital mereka," jelas Rully. Ia juga menyebut bahwa likuiditas yang ketat di sistem perbankan membuat bank digital semakin sulit untuk tumbuh.

Meski demikian, Rully melihat ada peluang bagi bank digital untuk bangkit jika suku bunga turun dan likuiditas meningkat. "Kalau suku bunga diturunkan dan jumlah uang beredar mulai naik, bank digital seharusnya punya kesempatan untuk kembali tumbuh," ujarnya.

Prospek Ke Depan dan Pengawasan Ketat

Meski ada peluang bagi bank digital untuk bangkit di masa depan, Rully menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat. Ia khawatir jika pengawasan terhadap bank digital tidak dilakukan dengan baik, hal tersebut dapat menimbulkan dampak yang lebih luas.

"Bank digital ini harus diawasi dengan benar. Kalau tidak dikendalikan, dampaknya bisa lebih luas. Jadi, meskipun ada kesempatan tumbuh lebih tinggi, pengawasan tetap harus ketat," kata Rully.

Bank digital memang mengalami pertumbuhan pesat selama pandemi COVID-19, terutama ketika Bank Indonesia melakukan kebijakan quantitative easing yang meningkatkan jumlah uang beredar secara signifikan. 

Namun, saat ini tantangan yang dihadapi sektor tersebut masih besar, terutama dengan adanya persaingan dari bank-bank konvensional yang terus berinovasi dalam layanan digital.