logo
Ilustrasi: Tambang nikel PT Aneka Tambang Tbk (Antam) / Pertambangan nikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) / Dok. Antam
Bursa Saham

Prospek Saham INCO, ANTM, dan NCKL di Tengah Bayang-bayang Oversupply Nikel Global

  • Sejumlah analis memprediksi harga nikel akan tertekan hingga 2026. Lantas, bagaiman prospek saham nikel seperti INCO, NCKL dan ANTM di tengah kondisi oversupply komoditas ini.

Bursa Saham

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA – Saham emiten nikel di Bursa Efek Indonesia dalam satu bulan terakhir mengalami tekanan akibat oversupply komoditas tersebut di pasar global. Lalu, bagaimana prospek harga saham nikel seiring prospek underweight komoditas ini? 

Analis BCA Sekuritas, Muhammad Fariz, dalam risetnya baru-baru ini mengungkapkan bahwa pandangan underweight terhadap saham nikel didasarkan pada tingginya produksi baja tahan karat di China, sementara permintaan terus melemah. 

Kondisi tersebut membuat penumpukan stok di sejumlah produsen, yang pada akhirnya berdampak pada pasokan nickel pig iron (NPI) di pasar. "Kami menilai bahwa NPI dan baja tahan karat kini menunjukkan tanda lampu kuning, karena ruang untuk perbaikan harga mungkin terbatas jika pasokan NPI terus meningkat, sementara permintaan tetap lemah," tulis Fariz dalam risetnya baru-baru ini dikutip pada Jumat, 31 Januari 2025. 

Selain itu, kata Fariz, sebagian produsen bersikap pesimistis dan memutuskan untuk mengurangi produksi karena permintaan yang masih belum cukup kuat hingga saat ini. Hal ini sejalan dengan riset analis CGS International Sekuritas, Jacquelin Hamdani dan Nathania Giovanna, yang menyebutkan bahwa pasokan nikel olahan global akan terus berlanjut hingga 2026, meskipun pada tingkat yang menurun.

Dilansir dari BloombergNEF, CGS mengungkapkan bahwa perlambatan ekonomi dan pasar properti China membebani permintaan stainless steel global pada 2023 dan tahun buku 2024, sementara pertumbuhan permintaan kendaraan listrik (EV) juga melambat. Stainless steel dan baterai EV merupakan konsumen utama nikel.

CGS memperkirakan pasokan nikel global akan melebihi permintaan hingga tahun buku 2027, membatasi kenaikan harga nikel. Meski demikian, penurunan harga nikel diperkirakan terbatas karena harga sejak 2023 sudah mendekati level biaya produsen.

Karena itu, CGS, memangkas perkiraan patokan harga nikel LME dan NPI untuk tahun 2025-2026 masing-masing sebesar 4-5% menjadi US$17.000 per ton dan US$ 12.000 per ton, yang mencerminkan pertumbuhan yang flat dibandingkan tahun 2024.

Setali tiga uang, BCA Sekuritas juga menurunkan asumsi harga rata-rata LME nikel untuk tahun 2025 dan 2026 menjadi masing-masing US$17.000 per ton, dari semula diperkirakan US$19.000 per ton dan US$ 20.000 per ton. 

Sementara itu, harga NPI diperkirakan terkoreksi pada periode 2025 dan 2026 menjadi masing-masing US$13.418 per ton, dari sebelumnya diproyeksikan mencapai US$14.068 per ton dan US$14.808 per ton.

Rekomendasi Saham

Dari lantai bursa, pada perdagangan sesi pertama hari in, Jumat, 31 Januari 2025, harga saham emiten nikel mulai dari PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Trimegah Bangun Persada Tbk (PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) terpantau mengalami penurunan sejak awal tahun. 

Emiten dengan kode saham INCO tercatat mengalami penurunan tajam sebesar 15,13% ke level Rp3.030 per saham. Diikuti oleh ANTM yang turun 9,71% ke level Rp1.395 per saham, serta NCKL yang turun 7,28% ke level Rp700 per saham.

Terkait dengan rekomendasi untuk tahun ini, BCA Sekuritas memberikan rating BUY untuk ANTM dengan target harga yang lebih tinggi, yaitu Rp2.710 per saham, dibandingkan sebelumnya yang sebesar Rp1.800 per saham. Meskipun demikian, target EV/EBITDA tetap dipertahankan di level 9,5 kali, yang mendekati level rata-rata.

Sementara itu, untuk INCO, BCA Sekuritas memberikan rating BUY dengan target harga yang lebih rendah, yaitu Rp4.260 per saham, turun dari sebelumnya Rp5.400 per saham. Penurunan ini disebabkan oleh tingginya risiko terkait ekspansi di masa depan.

Selanjutnya, BCA Sekuritas menurunkan target harga untuk rekomendasi BUY NCKL menjadi Rp770 per saham, dari yang sebelumnya dipatok sebesar Rp1.200 per saham. "Risiko terhadap profitabilitas yang lebih rendah pada NPI dan produk sampingan HPAL kini cukup tinggi," kata BCA Sekuritas.