Ilustrasi bank.
Perbankan

Prospek Sektor Perbankan Masih Cerah di Akhir Era Restrukturisasi COVID-19

  • Pertumbuhan kredit pada Januari 2024 mencapai 11,8% yoy, yang merupakan angka tertinggi dalam hampir lima tahun terakhir.
Perbankan
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA - Rully Arya Wisnubroto, Chief Economist dari Mirae Asset Sekuritas Indonesia, optimistis dengan prospek sektor perbankan yang cerah setelah melalui era kebijakan restrukturisasi pandemi COVID-19. 

Dia percaya bahwa pertumbuhan kredit di sektor ini akan terus meningkat, sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia (BI) yang berada di kisaran 10% – 12%. 

Selain itu, Rully juga mengacu kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) yang menunjukkan tanda-tanda membaik pada bulan Januari dan Februari, dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 5,8% secara year-on-year (yoy) dan 5,7% yoy. Angka ini menunjukkan pemulihan dibandingkan tiga bulan sebelumnya di tahun 2023 yang hanya tumbuh di bawah 4% yoy.

Menurut Rully, rasio kredit terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) masih terjaga baik di bawah 85%, dan tingkat kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (Nonperforming Loan/NPL) tetap rendah. 

Hal ini menunjukkan ada potensi bagi pertumbuhan kredit lebih lanjut. Kondisi ini didorong oleh kebijakan makroprudensial pemerintah yang mendukung pertumbuhan.

Pertumbuhan kredit pada Januari 2024 mencapai 11,8% yoy, yang merupakan angka tertinggi dalam hampir lima tahun terakhir. Sementara pada Februari 2024, pertumbuhannya sedikit menurun tetapi masih tinggi, sebesar 11,3% yoy. Di sisi lain, tingkat NPL tetap rendah pada 2,35%.

“Kami memandang bahwa dengan kebijakan makroprudensial yang longgar dan disertai dengan likuiditas yang masih memadai, pertumbuhan kredit masih akan tetap kuat dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia meski di tengah berbagai tantangan di sepanjang tahun 2024 ini,” kata Rully dalam acara Media Day by Mirae Asset Sekuritas, Selasa, 23 April 2024. 

Namun, Rully juga mengidentifikasi beberapa risiko yang perlu diperhatikan untuk menjaga stabilitas sektor keuangan. 

Salah satunya adalah penurunan kewaspadaan perbankan dalam penyaluran kredit, terutama setelah berakhirnya stimulus restrukturisasi kredit COVID-19 pada 31 Maret 2024. Saat ini, Loan at Risk (LAR) masih tinggi, mencapai 11,56% per Februari 2024.

Di sisi lain, ekonomi Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai tantangan, terutama tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. 

Rully mengatakan bahwa pergerakan Rupiah sulit diprediksi dalam jangka menengah, dipengaruhi oleh isu global, bukan faktor domestik. Pelemahan Rupiah lebih disebabkan oleh kebijakan suku bunga the Fed yang mempengaruhi volatilitas pasar global.

Dampak dari sentimen global tersebut juga mempengaruhi aliran modal asing keluar dari Indonesia, yang mempersulit Bank Indonesia untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneter dalam waktu dekat.