Proteksionisme Trump, Bos BRI Soroti Dampaknya pada Ekonomi Indonesia
- Kalau China membalas, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 4,7% hingga 5,03%. Jika negara-negara lain ikut membalas, dampaknya lebih buruk lagi, dengan pertumbuhan ekonomi kita hanya mencapai 4,6% hingga 4,9%,
Perbankan
JAKARTA - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tb (BBRI) memprediksi bahwa suku bunga acuan global akan tetap berada pada level tinggi akibat kebijakan proteksionisme yang digalakkan oleh Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
Direktur Utama BRI, Sunarso, menyebut bahwa kebijakan “America First” yang diusung Trump berpotensi mengontraksi perdagangan global, termasuk dengan mitra dagang utama AS.
“Jika kebijakan lebih protektif seperti ini, perdagangan global Amerika bisa terkontraksi hingga 8,5%. Dampaknya akan dirasakan oleh negara-negara mitra dagang mereka, termasuk Indonesia,” ujar Sunarso dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR, Rabu 13 November 2024.
- Kunci Sukses Swasembada Energi: Penguatan Sektor Hulu Migas
- Ketika Transaksi Lokapasar Tembus 2 Kali Lipat Dana Perlindungan Sosial
- Kantor Cabang BRI Susut, Agen BRILink Jadi Pilar Inklusi Keuangan
Proteksionisme tersebut, lanjut Sunarso, kemungkinan besar akan memicu inflasi di AS, yang kemudian dapat direspons oleh The Fed melalui kenaikan suku bunga. Namun, ia mengingatkan bahwa dengan suku bunga AS yang saat ini sudah cukup tinggi, langkah tersebut mungkin perlu dipertimbangkan secara matang.
“Kami masih sulit memprediksi apakah kenaikan suku bunga menjadi pilihan terbaik saat ini, atau The Fed akan mencari langkah alternatif untuk merespons inflasi,” jelasnya.
Sunarso juga menyoroti potensi dampak lebih besar jika China membalas kebijakan protektif AS dengan perang dagang, seperti yang terjadi sebelumnya.
“Kalau China membalas, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 4,7% hingga 5,03%. Jika negara-negara lain ikut membalas, dampaknya lebih buruk lagi, dengan pertumbuhan ekonomi kita hanya mencapai 4,6% hingga 4,9%,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh korelasi yang semakin erat antara ekonomi Indonesia dan China, yang saat ini memiliki indeks korelasi sebesar 0,351, lebih tinggi dibandingkan hubungan dengan AS yang hanya 0,347. “Setiap perubahan pertumbuhan ekonomi di China lebih memengaruhi Indonesia dibandingkan perubahan di AS,” tegas Sunarso.
Di sisi lain, Sunarso juga membahas kebijakan penghapusan piutang macet yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024. Ia menegaskan bahwa Kredit Usaha Rakyat (KUR) tidak termasuk dalam program kredit yang dapat dihapus buku sesuai aturan tersebut.
Menurut Sunarso, PP tersebut hanya mengatur penghapusan piutang macet untuk program kredit yang sudah berakhir, seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Mikro LTA (KUM LTA), Kredit Investasi Kecil/Kredit Modal Kerja Permanen (KIK/KMKP), dan Kredit Candak Kulak (KCK). “KUR tidak memenuhi syarat karena masih merupakan program yang sedang berlangsung,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa kredit macet yang dapat dihapus tagih harus memenuhi kriteria tertentu, yakni telah macet selama minimal 5 tahun, dan telah melalui proses restrukturisasi serta penagihan secara maksimal.