<p>Foto:  Ptba.co.id</p>
Industri

Proyek Gasifikasi Batu Bara BUMN Bukit Asam Berpotensi Bikin Negara Rugi Rp5 Triliun

  • Proyek gasifikasi batu bara PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA) di Sumatra diperkirakan dapat menyebabkan kerugian negara hingga Rp5 triliun (US$377 juta) setiap tahunnya.

Industri

Fajar Yusuf Rasdianto

JAKARTA – Proyek gasifikasi batu bara PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA) di Sumatra diperkirakan dapat menyebabkan kerugian negara hingga Rp5 triliun (US$377 juta) setiap tahunnya. Hal itu terungkap dari studi terbaru yang dirilis lembaga kajian internasional Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).

Peneliti studi tersebut, yang juga analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengingatkan bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberikan subsidi kepada proyek batu bara. Mengingat kini ekonomi juga sedang terkontraksi akibat COVID-19.

“Harga (batu bara) saat ini berada di bawah break even bagi hampir semua perusahaan batu bara Indonesia yang terdaftar di bursa saham,” ujar Ghee Peh dalam rilis resminya, Selasa, 10 November 2020.

Sebagaimana diketahui, emiten bersandi saham PTBA itu berencana mengembangkan methanol untuk memproduksi dimethyl ether (DME). Rencananya, DME digunakan untuk menggantikan LPG yang diimpor Indonesia.

Namun Ghee Peh mengatakan, rencana menggantikan menggantikan LPG dengan DME justru tidak masuk akal secara ekonomi. Pasalnya, langkah ini malah berpotensi menggerus penghematan yang bisa didapatkan dari mengurangi impor LPG senilai Rp266,7 miliar.

Apalagi, sambung dia, biaya membangun fasilitas produksi DME lebih mahal dibandingkan dengan biaya impor LPG. Total biayanya diperkirakan bisa mencapai Rp6,5 juta per ton atau US$470 per ton.

“Perhitungan kami menunjukkan bahwa biaya produksi DME akan dua kali lipat dari biaya impor LPG,” ungkap Ghee Peh.

Sebab itu, Ghee Peh menilai bahwa permintaan perusahaan tambang agar pemerintah mendukung proyek hilirisasi batu bara merupakan langkah yang kurang bijak dilakukan. Terlebih, saat ini pemerintah sedang dibebani oleh biaya pemulihan ekonomi nasional akibat dampak pandemi COVID-19.

“Rasanya tidak bijak apabila beban tersebut ditambah dengan keharusan untuk mendukung proyek yang hanya akan menyebabkan kerugian,” pungkas dia. (SKO)