Proyek Satelit Baru Milik RI Mulai Konstruksi, Investasi Rp8 Triliun
Total investasi SATRIA mencapai US$550 juta atau setara dengan Rp8 triliun.
JAKARTA – Perusahaan telekomunikasi berbasis satelit swasta pertama di Indonesia PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) berkomitmen melanjutkan proyek Satelit Multifungsi (SMF). Rencananya proyek ini akan segera memulai konstruksinya pada bulan September 2020.
Pengerjaan proyek SMF atau yang di kenal dengan Satelit Republik Indonesia (SATRIA) akan dikerjakan oleh anak usaha PSN, PT Satelit Nusantara Tiga (SNT) bersama dengan Konsorsium PSN. Selain itu, pihaknya juga akan bekerja sama dengan aerospace manufacturer asal Perancis, Thales Alenia Space (TAS).
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G. Plate mengatakan pandemi memberikan pengaruh sangat signifikan terhadap industri dirgantara, termasuk satelit. Seperti efek negatif pada penyelesaian proyek, terganggunya supply chain, dan perlambatan pengoperasian fasilitas untuk pabrikasi.
“Namun bagi Indonesia dan mitra-mitra kerja satelitnya justru sebaliknya terjadi. PWA Konsorsium PSN dan TAS menunjukkan bahwa iklim investasi dan pembangunan infrastruktur telekomunikasi Indonesia tidak sedang melambat, namun justru semakin melesat,” ujarnya di Jakarta, Kamis 3 September 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Direktur Utama PSN sekaligus Direktur Utama SNT Adi Rahman Adiwoso menjelaskan konstruksi akan segera dilakukan TAS setelah PWA dilakukan. Ia menegaskan bahwa konstruksi mulai dilakukan pada bulan ini.
“Indonesia bisa secepatnya menjadi digital society dengan mempermudah pendidikan, pemerintahan, kesehatan, perekonomian, dan sebagainya dengan akses internet. Kesetaraan digital ini menyiapkan seluruh bangsa menghadapi masa depan yang sebagian besar berdasarkan digital world,” jelas Adi Rahman.
Menurutnya, proyek SATRIA bagi kelompok usaha PSN merupakan bagian dari rangkaian Satelit Nusantara yang dimulai sejak 2019. Satelit multifungsi ini memiliki kapasitas 150 gigabyte per second (Gbps) dengan menggunakan teknologi very high throughput satellite (VHTS) dan memakai frekuensi Ka-Band.
Proyek SATRIA, kata dia, merupakan suatu keputusan strategis pemerintah yang sangat penting. Baginya proyek ini tidak kalah dengan keputusan pada saat pemerintah menggunakan Satelit Palapa A pada 1970 lalu.
“Dengan kapasitas sebesar 150 Gbps berarti lebih besar tiga kali lipat dari semua kapasitas satelit nasional yang saat ini masih digunakan. Kami yakin SATRIA dapat menjadi jawaban dari digital gap yang masih terjadi di Indonesia,” jelas Adi.
Nilai Proyek Rp8 Triliun
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa total investasi SATRIA mencapai US$550 juta atau setara dengan Rp8 triliun. Pembiayaannya melalui sindikasi perbankan bank-bank internasional yaitu The Hong Kong and Shanghai bank Corporation Limited (HSBC), Banco Santander, S.A (Santander) dan The Korean Development Bank (KDB).
Tidak hanya itu, proyek ini juga akan di dukung oleh bank penjamin yaitu Bpi France Assurance Export (Bpi) dari Perancis. Selain itu ada juga lembaga keuangan multilateral, Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang berbasis di Beijing, Tiongkok.
Persentase fasilitas pinjaman sekitar 77,27% dari seluruh total investasi dengan nilai US$425 juta atau sekitar Rp6,3 triliun. Sisanya sebanyak US$125 juta atau setara 22,73% dari total investasi SATRIA akan menggunakan modal konsorsium PSN.
Adi juga menjelaskan, dengan menerapkan teknologi VHTS, pemerintah melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dapat melakukan efisiensi biaya sewa SATRIA yaitu hanya akan berkisar 12-20% dari biaya sewa pemerintah saat ini.
Konsultan satelit terkemuka di dunia asal Amerika Serikat, Northern Sky Research, memprediksi harga 1 megabyte per second (Mbps) pada 2024 mendatang di pasar masih akan dua kali lebih mahal dari yang dibayarkan BAKTI untuk proyek SATRIA ini. Dengan itu, kata Adi, pemerintah sudah tepat menerapkan program ini karena memiliki biaya sewa kapasitas yang murah dan terjangkau yang membuat pemerintah dapat menghemat anggaran.
“Kami perlu menekankan bahwa ini proyek SATRIA bukan proyek yang sangat menguntungkan secara komersial bagi perusahaan. Namun, kami merasa terhormat dapat mengemban tanggung jawab dan dapat diikutsertakan dalam membangun Indonesia,” pungkasnya. (SKO)