Proyeksi dan Fundamental Saham INAF, KAEF, dan PEHA Usai Tembus ARA
JAKARTA – Kedatangan 1,2 juta vaksin Sinavoc betul-betul telah memberi angin segar bagi pasar modal. Tercatat pada perdagangan Senin, 7 Desember 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan berhasil melesat 2,07% atau 12,27 basis poin ke level 5.930,75. Saham-saham di sektor farmasi menjadi pengerek laju indeks hingga bertebaran menembus auto rejection atas (ARA). Catatan TrenAsia.com, […]
Industri
JAKARTA – Kedatangan 1,2 juta vaksin Sinavoc betul-betul telah memberi angin segar bagi pasar modal. Tercatat pada perdagangan Senin, 7 Desember 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan berhasil melesat 2,07% atau 12,27 basis poin ke level 5.930,75.
Saham-saham di sektor farmasi menjadi pengerek laju indeks hingga bertebaran menembus auto rejection atas (ARA). Catatan TrenAsia.com, ada setidaknya delapan saham yang mampu tembus ARA pada perdagangan kemarin.
Saham-saham itu, antara lain; PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF), PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF), dan PT Phapros Tbk (PEHA). Kemudian, ada juga PT Itama Ronaraya Tbk (IRRA), PT Island Concepts Indonesia Tbk (ICON), dan PT Pool Advista Finance Tbk (POLA). Terakhir, PT Sidomulyo Selaras Tbk (SDMU), dan PT Neo Bank Commerce Tbk (BBYB).
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Saham INAF, KAEF, dan PEHA menjadi yang paling banyak dibicarakan lantaran ketiga emiten ini merupakan anak usaha dari holding farmasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Bio Farma (Persero).
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham INAF telah melesat 840 poin atau 24,78% ke level Rp4.230 per lembar. Saham KAEF meroket 24,79% atau 880 poin ke level Rp4.430 dan saham PEHA melejit 840 poin atau 24,78% ke posisi Rp2.090 per lembar.
Pertanyaannya, bagaimana dengan proyeksi saham ketiga emiten itu setelah tembus ARA kemarin? Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee memprediksi, dalam jangka pendek masih ada kemungkinan bagi ketiga saham ini untuk naik tipis.
Namun, kenaikan ini tetap dalam bayang-bayang aksi profit taking mengingat kini harga ketiga saham itu sudah terbilang cukup mahal. Prinsip kehati-hatian diperlukan dalam hal ini.
“Kita pelaku pasar harus hati-hati sedikit,” tutur Hans kepada TrenAsia.com, Selasa, 8 Desember 2020.
Valuasi
Jika dilihat dari sisi pergerakan valuasi, harga ketiga saham itu memang telah melonjak signifikan sejak awal tahun. Berdasarkan data Bloomberg, saham KAEF telah melesat 254,4% dari level Rp1.250 per lembar pada 2 Januari 2020 menjadi Rp4.430 per lembar pada perdagangan Senin, 7 Desember 2020.
Sementara dilihat dari laporan keuangannya, laba bersih KAEF pada kuartal III-2020 justru melorot 11,09% menjadi Rp37,19 miliar dari sebelumnya Rp41,83 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Sebab itu, price to earning ratio (PER) KAEF saat ini berada di level negatif 1.135,8 kali. Berbanding terbalik dengan rerata industri yang PER-nya berada di level 19,7 kali. Artinya, saham KAEF kini tidak cukup efektif mengingat bisnisnya yang cenderung kurang menguntungkan.
Namun jika dilihat dari sisi price to book value (PBV) KAEF yang positif 2.9 kali, harganya cenderung setara dengan rerata industri.
“Kalau labanya sudah naik 10 kali, baru 40 kali PER-nya (terpenuhi). Berarti (dengan harga sekarang)kita expect labanya harus naik 10 kali,” kata Hans.
Tidak jauh berbeda dengan saham INAF. Sejak awal tahun, saham INAF bahkan telah melesat 404,71% dari Rp955 menjadi Rp4.820 per lembar.
Padahal pada kuartal III lalu, emiten pelat merah ini masih membukukan rugi bersih senilai Rp18,88 miliar. Hal demikian ini membuat PER perseroan kini sudah mencapai 439,04 kali. Jauh lebih mahal dibandingkan PER rerata industri.
Demikian juga dengan PBV perseroan yang kini telah mencapai 21,6 kali berbanding dengan PBV rerata industri 2,9 kali.
“INAF kalau kita lihat mahal juga karena kan labanya masih merah juga,” beber Hans.
Sedangkan saham PEHA, hingga kini masih terhitung murah mengingat PBV dan PER-nya masih berada di bawah rerata industri. PBV perseroan saat ini masih 2 kali, berbanding PBV rerata indistri 2,9 kali.
Sementara PER perseroan saat ini hanya 15,4 kali berbanding dengan 19,7 kali rerata industri. Artinya, meski harga saham PEHA telah melesat 117,51% dari Rp1.085 ke level Rp2.360 per lembar, namun secara valuasi saham PEHA terbilang masih murah.
Apalagi, pada kuartal III lalu, PEHA juga masih membukukan laba Rp50,67 miliar dengan total pendapatan Rp700,27 miliar. “PEHA belum terlalu mahal,” pungkas Hans.