Ilustrasi industrasi reasuransi.
IKNB

PSAK 117 Dapat Berdampak kepada Perusahaan Asuransi dengan Profitabilitas yang Rendah

  • Dampak dari implementasi PSAK 117 bervariasi di setiap perusahaan.

IKNB

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memantau dan mendorong kesiapan perusahaan asuransi dan reasuransi dalam menghadapi implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117. 

Aturan ini akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025, namun banyak pihak mempertanyakan apakah industri sudah benar-benar siap. Dalam hal ini, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, Ogi Prastomiyono, memberikan pandangannya.

Kesiapan Perusahaan Asuransi

Menurut Ogi, OJK telah memonitor dan mendorong perusahaan untuk melakukan persiapan melalui parallel run, yaitu simulasi untuk melihat dampak penerapan PSAK 117 terhadap laporan keuangan perusahaan. 

"Sebagian besar perusahaan asuransi telah melakukan parallel run untuk mengidentifikasi dampak pada laba rugi, ekuitas, dan pajak," jelas Ogi melalui jawaban tertulis, dikutip Jumat, 4 Oktober 2024. 

Dampak Keuangan yang Beragam

Ogi menambahkan bahwa dampak dari implementasi PSAK 117 bervariasi di setiap perusahaan. "Bagi perusahaan yang sudah memasarkan produk dengan profitabilitas memadai dan risiko yang dikelola dengan baik, dampaknya positif. Namun, bagi perusahaan yang memasarkan produk dengan profitabilitas rendah, akan berdampak negatif pada laba dan ekuitas mereka," ungkapnya.

Tantangan Modal

Terkait potensi penurunan perusahaan asuransi akibat kebutuhan modal yang besar untuk persiapan PSAK 117, Ogi tidak memberikan indikasi adanya kekhawatiran signifikan. Namun, persiapan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit dan perusahaan diharapkan melakukan langkah-langkah mitigasi untuk menyeimbangkan dampak tersebut.

PSAK 117 menjadi salah satu tantangan terbesar di industri asuransi menjelang 2025, dan OJK terus memastikan bahwa proses transisi berjalan dengan baik.

Tantangan Ganda: Implementasi PSAK 117 dan Kenaikan Modal Minimum di 2026

Pada tahun 2026 mendatang, industri asuransi umum di Indonesia akan menghadapi tantangan besar dengan diberlakukannya dua kebijakan penting. Selain penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117, perusahaan asuransi juga harus menaikkan modal minimum sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 23 Tahun 2023. Kedua kebijakan ini diyakini akan membawa dampak signifikan, khususnya bagi perusahaan asuransi yang memiliki kapasitas modal terbatas.

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Hermawan, menegaskan bahwa industri perlu bersiap dengan sangat hati-hati menghadapi penerapan dua regulasi tersebut. Menurutnya, penerapan kebijakan ini akan sangat mempengaruhi perusahaan asuransi umum, terutama yang berada di kategori menengah ke bawah.

Baca Juga: Prudential Umumkan Kesiapan Penerapan PSAK 117 untuk Transparansi Pelaporan Keuangan

Dampak Penerapan PSAK 117 Terhadap Perusahaan Asuransi

PSAK 117, yang akan berlaku efektif pada 2026, mengatur tentang pelaporan keuangan berbasis risiko. Regulasi ini menuntut perusahaan asuransi untuk mengadopsi pendekatan akuntansi yang lebih transparan dan mencerminkan risiko asuransi yang sebenarnya. Budi mengakui, penerapan PSAK 117 merupakan tantangan pertama yang akan dihadapi industri asuransi. Kebijakan ini, jika diterapkan bersamaan dengan kewajiban peningkatan modal, dapat membebani perusahaan asuransi yang belum memiliki modal yang cukup besar.

“Kami dari AAUI melihat adanya potensi kesulitan bagi beberapa perusahaan asuransi, khususnya di kelas menengah ke bawah. Dua kebijakan yang berjalan bersamaan ini tentu memberikan tekanan besar, terutama karena keduanya mengharuskan perusahaan asuransi untuk melakukan perubahan signifikan dalam operasional dan modal mereka,” kata Budi dalam pernyataannya pada Senin, 30 September 2024.

Peningkatan Modal Minimum dan Ekuitas Perusahaan Asuransi

Selain tantangan dari PSAK 117, perusahaan asuransi juga diwajibkan memenuhi modal minimum sesuai POJK No. 23 Tahun 2023. Dalam peraturan tersebut, modal minimum untuk perusahaan asuransi umum dan jiwa akan meningkat menjadi Rp250 miliar pada 2026. Selain itu, pada tahun 2028, modal ini akan dinaikkan lagi berdasarkan Kelompok Perusahaan Perasuransian Berdasarkan Ekuitas (KPPE), yang terbagi menjadi dua kelompok. KPPE 1 mengharuskan perusahaan asuransi umum dan jiwa memiliki modal minimum sebesar Rp500 miliar, sementara KPPE 2 mewajibkan modal minimum sebesar Rp1 triliun.

“Ini adalah hal baru dalam industri asuransi umum, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di kawasan Asia Tenggara. Sistem tiering yang serupa dengan modal inti perbankan ini tentunya membutuhkan penyesuaian yang tidak mudah bagi banyak perusahaan asuransi,” tambah Budi.

Potensi Dilusi dan Merger di Industri Asuransi

Budi juga tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa perusahaan asuransi umum akan mengalami dilusi akibat kebijakan ini. Hal ini terutama akan dialami oleh perusahaan yang memiliki kapasitas modal terbatas dan belum siap menghadapi tantangan regulasi baru.

“Kami memperkirakan akan ada beberapa perusahaan asuransi yang terdilusi, terutama yang berada di kelas menengah ke bawah. Jika ini terjadi, salah satu opsi yang dapat diambil adalah melakukan merger atau mencari holding company untuk membantu perusahaan-perusahaan tersebut bertahan,” jelas Budi.

Ia menegaskan bahwa AAUI akan berusaha keras untuk menjaga keberlanjutan industri asuransi umum. Langkah-langkah seperti merger atau pencarian mitra strategis akan menjadi solusi yang dipertimbangkan untuk membantu perusahaan yang tidak memenuhi modal minimum.

“Kami di AAUI memiliki semangat nasional yang kuat. Jika ada perusahaan yang terdilusi, kami akan berusaha membantu mereka melalui proses merger. Kami juga akan berupaya mencarikan holding company yang tepat untuk membantu mereka bertahan,” tegas Budi.

Kerja Sama Internasional dan Kajian Akademik untuk Mendukung Industri

AAUI tidak tinggal diam menghadapi tantangan ini. Budi menjelaskan bahwa asosiasi telah melakukan diskusi dengan beberapa asosiasi asuransi dari negara lain, seperti Filipina dan Hong Kong, guna mencari solusi terbaik dalam mengakomodir kebutuhan regulator. Diskusi tersebut, menurut Budi, telah berjalan dengan baik dan memberikan wawasan yang berharga bagi AAUI.

Selain itu, AAUI juga telah menyiapkan naskah akademik yang berisi kajian tentang tantangan-tantangan yang dihadapi industri asuransi umum di Indonesia. Naskah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi regulator dalam mengevaluasi kebijakan yang diterapkan, sehingga tidak memberikan dampak negatif yang terlalu besar terhadap perusahaan asuransi.

“Kami berharap, regulasi ini dapat diterapkan dengan baik tanpa harus mendilusi perusahaan asuransi lainnya. Industri asuransi umum harus tetap sehat dan kuat,” tutup Budi.