<p>Puluhan pekerja outsourcing maskapai penerbangan Lion Air melakukan aksi unjuk rasa di Lion Air Tower, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Senin, 13 Juli 2020. Dalam aksinya mereka menuntut kepada manajemen Lion Air untuk segera membayarkan tiga bulan tunggakan iuran BPJS Kesehatan, sisa THR yang baru dibayarkan sebesar Rp1,5 juta dari Rp4,1 juta, dan meminta Lion Air membayarkan pesangon para pekerja yang diberhentikan secara sepihak disaat pandemi COVID-19. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

PSBB Jilid 2 di Ibu Kota Bikin Ancaman Gelombang PHK Kian Nyata

  • Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), hingga September 2020 ada lebih dari 3 juta orang telah kehilangan pekerjaan karena pandemi COVID-19 ini. Sedangkan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat 5 juta orang terkena PHK dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) merilis 6,4 juta orang telah di-PHK.

Industri

wahyudatun nisa

JAKARTA – Pandemi benar-benar memukul para pekerja di Ibu Kota. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tren karyawan dirumahkan makin menjadi-jadi.

Pria berusia 33 tahun bernama Andi, warga Jakarta Selatan, mengaku sudah sebulan terakhir tak lagi bekerja. Sejak pandemi virus corona melanda, dia dirumahkan oleh kantornya, kemudian kini resmi terkena PHK.

“Sudah sebulan enggak kerja. Pengalaman terakhir gue, area manager retail fashion,” kata dia saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com Selasa, 15 September 2020.

Terpisah, Deni Saputra, seorang karyawan ritel produk sepatu yang dijual di pusat-pusat perbelanjaan, mengaku khawatir dirinya terkena gelombang kedua PHK akibat pandemi. Rekan-rekan kerja pria berusia 27 tahun asal Tangerang Selatan ini sudah terkena PHK pada gelombang pertama saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) awal.

“Gara-gara PSBB, mal enggak boleh buka. Karyawan banyak yang dirumahin. Sekarang PSBB lagi, gue takut kena giliran (PHK),” tuturnya.

Suasana lengang akibat tenant yang tutup di area salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Pejaten, Jakarta, Jum’at (10/4/2020). Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar membuat sejumlah pusat perbelanjaan kembali memperpanjang masa penutupan sampai 19 April sebagai upaya mencegah penyebaran wabah COVID-19. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

PHK Massal Mengadang

Penerapan PSBB jilid kedua yang berkepanjangan berpotensi memunculkan kembali gelombang PHK massal. Pasalnya, sektor yang sulit merangkak bangkit dari keterpurukan, akan semakin terjerembab di dasar jurang hitam.

Pandemi COVID-19 telah memukul berat sektor pusat belanja dan perhotelan. Sejak Maret 2020, pengusaha mal, baik tenant maupun pengelola telah memikul beban berat. Pada masa awal merebaknya virus COVID-19, trafik pengujung mal tercatat anjlok.

Ketua Umum Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan trafik pengunjung mal mengalami penurunan tajam hingga 50% setelah pemerintah melaporkan kasus positif COVID-19 pertama pada awal Maret 2020. Akhirnya pendapatanpun terseret jeblok.

Salah satu perusahaan ritel yang diterjang badai pandemi adalah PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI). Peritel ini membukukan penurunan drastis laba bersih sepanjang kuartal I-2020. Laba emiten itu melorot hingga 94% (year on year/yoy) menjadi sebesar Rp8,08 miliar.

Hal serupa pun terjadi pada sektor perhotelan. Okupansi hotel terus merosot seiring dengan merabaknya virus tersebut. Berdasarkan data Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estat Indonesia (REI) DKI Jakarta, okupansi hotel terjungkal hingga 80% pada Maret 2020.

Akibatnya pengusaha mal maupun perhotelan harus memangkas biaya operasional, termasuk gaji karyawan. Hal ini dilakukan demi menjaga keberlangsungan bisnis perusahaan.

Sejumlah Driver Ojek Online menunggu orderan di Jakarta, Jumat (10/4/2020). Peraturan Gubernur DKI Jakarta dalam pelaksanaan PSBB mengatur angkutan roda dua seperti ojek online maupun ojek konvensional dilarang membawa penumpang. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Gelombang Awal

Beban itupun semakin berat karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberlakukan PSBB pertama kali pada 10 April 2020. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2020 yang resmi diterbitkan 9 April lalu.

Tak sedikit perusahaan melakukan PHK massal karena buruknya kinerja keuangan perusahaan. Sejumlah perusahaan tak sanggup memikul beban berat itu, akhirnya gelombang PHK banyak terjadi di sejumlah sektor. Misalnya bidang ritel, pusat perbelanjaan, perhotelan, dan sektor lainnya.

Pada April kemarin, perusahaan ritel PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) sempat bikin geger di dunia maya. Lantaran terjadinya PHK massal di salah outlet Ramayana di Depok, Jawa Barat. Sebanyak 87 karyawan dikenakan PHK oleh manajemen Ramayana City Plaza Depok.

Gelombang PHK massal juga terjadi di industri penerbangan. Perampingan karyawan pun dilakukan oleh sejumlah maskapai penerbangan. Misalnya, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Lion Mentari Airlines (Lion Air Group) yang terdiri dari Lion Air, Wings Air, dan Batik Air.

Pada awal Juni lalu, Garuda Indonesia memutuskan untuk melakukan PHK pada sebagian pilotnya per 1 Juni 2020. PHK tak hanya dilakukan pada pilot yang berstatus junior atau baru, namun juga menyasar para pilot senior maskapai pelat merah tersebut. Kabarnya, lebih dari 150 pilot yang terkena PHK.

Berbeda dengan Garuda, Corporate Communications Strategic Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro mengatakan perampingan dilakukan dengan cara tidak memperpanjang kontrak karyawan yang telah habis. Ada sekitar 2.600 karyawan Lion Air Group yang kontraknya habis dan tidak diperpanjang.

Sementara itu, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), hingga September 2020 ada lebih dari 3 juta orang telah kehilangan pekerjaan karena pandemi COVID-19 ini. Sedangkan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat 5 juta orang terkena PHK dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) merilis 6,4 juta orang telah di-PHK.

Puluhan pekerja outsourcing maskapai penerbangan Lion Air melakukan aksi unjuk rasa di Lion Air Tower, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Senin, 13 Juli 2020. Dalam aksinya mereka menuntut kepada manajemen Lion Air untuk segera membayarkan tiga bulan tunggakan iuran BPJS Kesehatan, sisa THR yang baru dibayarkan sebesar Rp1,5 juta dari Rp4,1 juta, dan meminta Lion Air membayarkan pesangon para pekerja yang diberhentikan secara sepihak disaat pandemi COVID-19. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Gelombang Kedua

Saat ini jumlah kasus positif COVID-19 di Ibu Kota kembali meningkat. Hal ini membuat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali memperketat PSBB di wilayah tersebut. Kebijakan itu diatur dalam Pergub Nomor 88 Tahun 2020.

Dengan kembali diperketatnya PSBB di Jakarta, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani menyebutkan bahwa PSBB jilid kedua akan berdampak lebih parah bagi dunia usaha.

“Hal ini mengingat modal kerja yang dimiliki sudah semakin tipis dan bisa menyebabkan PHK yang semakin besar,” ujar Haryadi di Jakarta, Senin, 14 September 2020.

Menurutnya, kondisi saat ini jauh lebih berat ketimbang penerapan PSBB di awal masa pandemi. Pasalnya, pada April sampai Juni rata-rata perusahaan masih bisa berdiri dari cashflow yang didapatkan sebelumnya.

Dengan menipisnya kas internal, banyak perusahaan melakukan pinjaman serta mengeluarkan cadangan kas untuk membiayai operasional hingga Agustus kemarin.

Menurut data Hippindo, saat ini kondisi cashflow pengusaha mal cukup memprihatinkan. Jumlahnya hanya tersisa 10%-20%. Sisa dana itu tidak akan bisa menutup biaya operasional jika kebijakan pembatasan ini berlangsung lebih lama.

Sejalan dengan ini, Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyebutkan PSBB jilid kedua dianggap bisa meningkatkan angka pengangguran atau kasus PHK.

“Dengan diberlakukannya PSBB lagi tentu akan terjadi lagi pengurangan karyawan, dan kalau dulu masih unpaid leave tapi sekarang consider-nya pasti akan terjadi PHK. Karena kondisinya sudah tidak menentu,” sebutnya.

Dia mengaku penerapan PSBB total akan berdampak besar bagi pengusaha hotel dengan tingkat okupansi yang sudah rendah. Pasalnya, kebijakan tersebut dapat semakin menekan biaya operasional hotel itu.

Untuk itu, Maulana berharap kebijakan ini tidak mempengaruhi pergerakan masyarakat di luar DKI Jakarta. Sebab, pada PSBB kali ini tidak sama seperti yang sebelumnya diterapkan. Perbedaannya yaitu surat izin keluar masuk (SIKM) tidak lagi berlaku.

“Untuk PSBB besok, SIKM tidak diberlakukan semoga tidak berdampak ke provinsi lain,” ujar Maulana.

Suasana ruas jalan ibu kota saat pemberlakuan kembali PSBB di Jalan Sudirman, Jakarta, Senin, 14 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Tangkal PHK

Menanggapi potensi gelombang PHK massal kedua, pengamat ekonomi pun mengaminkan hal tersebut. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, jika kebijakan PSBB total berpotensi munculkan gelombang PHK kedua jika dilakukan secara berkepanjangan.

“Menurut catatan saya, jika PSBB-nya lebih dari sebulan ya pasti akan ada (PHK) gelombang kedua. Kemarin kan sudah tercatat untuk pekerja formal di Apindo sudah ada enam juta (yang di PHK). Kalau yang informal kan tidak terdeteksi,” ungkap Tauhid saat dihubungi terpisah.

Tauhid menuturkan potensi itu akan ada seiring dengan pemberlakuan PSBB di Jakarta. “Kalau masih sekitar dua minggu menurut saya itu belum berpengaruh,” kata dia.

Dalam penjelasannya, apabila perusahaan pada akhirnya melakukan perampingan karyawan, hal itu akan dilakukan dengan karyawan yang kontrak kerjanya sudah habis sehingga tidak diperpanjang. Sebab, jika perusahaan melakukan PHK maka akan memunculkan kewajiban bayar pesangon. Biaya itu justru menambah beban perusahaan.

Kemungkinan kedua adalah perusahaan akan merumahkan karyawan tanpa membayar gaji. “Implikasinya paling aman memang mereka (pekerja) akhirnya dirumahkan dengan unpaidable atau tanpa digaji. Nanti kalau kondisi sudah normal, mereka akan dipanggil lagi,” ujarnya.

Presiden Joko Widodo bersama dengan Menteri Kooridnator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dan Menteri BUMN, Erick Thohir berbincang bersama penerima subsidi gaji pekerja dalam peluncurannya di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 27 Agustus 2020. / Tangkapan Layar TrenAsia.com

Subsidi Gaji

Tauhid menyebutkan pemerintah perlu mencontoh negara maju dalam mengantisipasi masalah ini. Berdasarkan pengalaman negara maju, pemerintahnya mensubsidi gaji pekerja terutama untuk industri yang paling terpukul kondisi pandemi ini.

“Hal ini kan sebenarnya sudah dilakukan pemerintah. Tetapi yang harus difokuskan adalah perusahaan-perusahaan yang memang terdampak paling besar. Misalnya, sektor pariwisata, hotel, makanan dan minuman. Mereka yang harusnya mendapatkan prioritas subsidi gaji,” jelas Tauhid.

Pasalnya, dia menilai subsidi gaji yang telah diberikan pemerintah itu masih belum tepat sasaran. “Syarat itu (subsidi gaji) minimum kan UMP (upah minimum provinsi) dengan gaji di bawah Rp5 juta. Orang yang punya UMP itu umumnya di atas garis kemiskinan. Harusnya, sebagian pekerja kita kan itu banyak yang di bawah UMP tapi tidak terdeteksi atau tidak terlaporkan ke Kementerian Ketenagakerjaan,” kata Tauhid.

Menurut dia, “Mereka-mereka inilah yang ada didaftar perusahaan baik kecil maupun menengah, mereka tidak dapatkan akses ke Kementerian Ketenagakerjaan. Kalau mereka yang dibantu itu pasti jauh lebih mendorong konsumsi. Kerena subsidi itu larinya untuk kebutuhan pokok,” sebut dia.

Sehingga dengan stimulus yang tepat sasaran itu dapat membantu perusahaan-perusahaan di industri paling terdampak. Beban gaji karyawan akan lebih ringan. Dengan demikian, gelombang PHK dapat dihindari.

Langkah antisipasi pemerintah untuk menghindari gelombang PHK juga dapat dilakukan dengan keringanan atau pembebasan pajak terutama bagi sektor terdampak. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan jaminan sosial ketenagakerjaan.

Warga melintas di lorong terowongan Kendal, Sudirman, Jakarta, Jum’at, 11 September 2020. Menurut Epidemiolog asal Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman Jakarta sudah mulai memasuki puncak pandemi virus corona dimana puncak Covid-19 di Jakarta bakal terjadi pada akhir bulan ini hingga pertengahan Oktober 2020 mendatang. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Disiplin Adalah Kunci

Di sisi lain, Ekonom Indef Eko Listyanto menyampaikan pentingnya kepatuhan dan kedisiplinan akan protokol kesehatan sangat berpengaruh besar bagi pergerakkan roda ekonomi.

Pasalnya, jika kesadaran akan pentingnya protokol kesehatan sangat rendah, maka kasus positif COVID-19 akan terus meningkat. Jika hal itu tidak terkendali maka ekonomi akan anjlok.

“Apalagi kita kan saat ini di-banned 59 negara, itu pasti akan ada dampak ekonominya. Misalnya, untuk importirnya atau eksportirnya. Sekarang belum ada dampaknya, nanti ke depan pasti akan ada,” kata Eko.

Eko menuturkan masyarakat harus terus tingkatkan kesadaran akan protokol kesehatan dalam masa PSBB yang berlaku mulai 14 September 2020 ini. Dengan kesadaran dan kepedulian akan kesehatan diri dan orang lain yang tinggi, maka hal ini akan menekan jumlah kasus positif COVID-19.

Sehingga Pemprov DKI Jakarta tidak perlu lagi melakukan pengetatan PSBB. Dengan begitu, roda ekonomi akan berputar dan gelombang PHK kedua akan terhindari.

“Kunci untuk menghindari ekonomi yang semakin memburuk, timbulnya gelombang PHK, hal itu balik lagi ke kesadaran masyarakat akan pentingnya protokol COVID-19 ini dan kepedulian akan sesama yang memiliki risiko terpapar lebih tinggi,” tegas Eko.

Dia juga mengaku pemberlakukan sanksi berjenjang yang ditetapkan Gubernur DKI Jakatrta Anies Baswedan cukup baik. Namun, regulasi yang diperketat tanpa pengawasan yang mumpuni, itu tidak akan efisien dan efektif.

“Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta perlu melakukan pengawasan lebih ketat lagi terkait penerapan protokol kesehatan. Tidak hanya di jalan raya, tapi ke tempat-tempat yang rentan terjadi kerumunan,” sebut Eko. (SKO)